Sejarah mencatat fakta bahwa Indonesia selalu diwarnai oleh aksi teror para tokoh komunis. Kaum kiri begitu ambisius untuk merebut tampuk kekuasaan negeri ini dengan cita-cita ingin menjadikan negara komunis. Peristiwa pengkhianatan Partai Komunis Indonesia (PKI) ini juga dialami oleh Jenderal Soedirman.
Saat tragedi itu terjadi, Jenderal Soedirman menjabat sebagai Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI). Saat bangsa Indonesia tengah tertatih usai menghadapi agresi militer Belanda I, PKI melancarkan pemberontakan militer berdarah.
Baca juga: Panglima TNI Rotasi dan Mutasi 76 Perwira Tinggi TNI
Ada beberapa tokoh PKI yang memimpin pemberontakan tersebut, antara lain Amir Syarifuddin, Muso, Tan Malaka. Meskipun memiliki cita-cita ideologi yang sama, para tokoh PKI itu memiliki ambisi yang berbeda. Tan Malaka dan Amir sama-sama merasa lebih pantas untuk menjadi pemimpin Indonesia.
Ambisi tersebut membuat PKI terpecah menjadi 2 faksi, yakni Faksi Amir-Muso dan di sisi lain ada kelompok Tan Malaka. Namun mereka memiliki lawan yang sama, yakni Soekarno - Hatta dan Jenderal Soedirman. Perbedaan jalan, membuat Tan Malaka memisahkan diri dari PKI.
Tan Malaka mendirikan Partai Murba, yang juga berideologi komunis. Dan tabiat PKI maupun Murba 11-12, sebagai komunis sejati mereka melakukan pemberontakan yang disertai teror pembunuhan, perampokan, serta penculikan terhadap tokoh yang dianggap sebagai lawan politiknya.
Alasan Tan Malaka melancarkan pemberontakan adalah akibat Soekarno yang 'keceplosan' berbicara soal peralihan kekuasaan apabila dirinya kembali ditawan oleh Belanda. Saat itu Soekarno menyebutkan bahwa Tan Malaka akan menggantikan dirinya jika kembali ditawan Belanda.
Padahal sejatinya, ucapan Soekarno itu hanya pemanis saja. Tujuannya adalah merangkul agar seluruh pihak agar menyetujui kebijakan Soekarno yang mengedepankan perundingan dalam menghadapi invasi dari sekutu. Semua tokoh diyakinkan oleh Soekarno, bahwa Belanda tidak akan menyerang.
Padahal seluruh tokoh bangsa saat itu tak pernah lagi mau percaya terhadap Belanda dan mendesak agar Soekarno selaku presiden mengambil langkah militer untuk mengusir tentara Belanda dari Indonesia. Tapi mulut manis Soekarno kembali bisa meluluhkan sikap para founding fathers kita.
Bagi Tan Malaka, statemen Soekarno merupakan bagian dari kebijakan resmi pemerintah. Dan tak lama berselang, apa yang dikhawatirkan oleh para tokoh nasional saat itu pun terjadi, Belanda kembali melakukan agresi Militer dan menawan Soekarno-Hatta beserta seluruh menteri kabinetnya.
Sebelum Agresi Militer Belanda II terjadi, Amir Sjarifuddin yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri mewakili Soekarno-Hatta dalam proses perundingan lanjutan pasca Agresi Militer Belanda I. Perjanjian yang dihasilkan dalam perundingan Renville itu sangat merugikan Republik Indonesia (RI).
Gegara Perjanjian Renville ini, seluruh kekuatan militer TNI harus ditarik mundur dari wilayah yang dikuasai oleh Belanda. Belanda hanya mengakui kedaulatan Indonesia atas wilayah Sumatera, Jateng dan Jogja. Perjanjian Renville mengundang murka para tokoh Masyumi dan Partai Nasionalis Indonesia (PNI).
Akibatnya, Soekarno meminta Amir Sjarifuddin meletakkan jabatan sebagai Perdana Menteri. Jatuhnya kabinet Amir Sjarifuddin, membuat para tokoh komunis murka. Peristiwa itu oleh PKI dijadikan alasan untuk melakukan pemberontakan berdarah di Madiun dibawah pimpinan Muso dan Amir.
Sebelum lengser, Amir Sjarifuddin melakukan beberapa kebijakan politik untuk mengamankan posisinya di kabinet. Salah satunya, merubah sistem pemerintahan presidensial ke parlementer. Tentunya secara politik itu mempreteli kewenangan Soekarno.
Sesuai dengan doktrin politik komunis, Tan Malaka maupun Amir Sjarifuddin menganggap bahwa pimpinan negara tidak boleh dipegang oleh figur yang bukan komunis. Oleh sebab itu Amir Sjarifuddin menggunakan jabatan dan kuasanya semaksimal mungkin untuk bisa terus berkuasa. Juga menyebarkan isu agar rakyat mendukungnya.
Isu yang diangkat oleh Amir Sjarifuddin adalah membersihkan pemerintahan dari orang-orang yang anti komunis, dimana tokoh tersebut dicap sebagai 'Kolaborator Jepang'. Amir mengungkapkan kepada publik bahwa Soekarno adalah mandor romusha, meskipun itu adalah fakta, tapi dibalik itu. Ada ambisi terselubung Amir Sjarifuddin, yaitu merusak legitimasi Soekarno di mata masyarakat. Juga mengajak masyarakat dan para laskar perjuangan untuk tidak mengakui kepemimpinan Jenderal Soedirman dalam tubuh TNI, dengan alasan Soedirman juga termasuk Kolaborator Jepang.
Latar belakang Jenderal Soedirman yang merupakan perwira Pembela Tanah Air (PETA), membuat Amir Sjarifuddin berhak menuding Jenderal Soedirman sebagai bagian dari Kolaborator Jepang yang musti disingkirkan. Namun upaya Amir Sjarifuddin gagal meraih simpati Rakyat, sehingga rakyat justru melawannya.
Manuver Amir yang tak populer kecuali di mata kaum komunis, membuat pemerintahannya jatuh. Kabinet Amir Sjarifuddin jatuh dan posisinya digantikan oleh Mohammad Hatta. Kecewa dengan pemecatan dirinya dari jabatan Perdana Menteri, membuat Amir dirasuki dendam terhadap Soekarno dan Soedirman.
Setelah lengser, Amir mendirikan organisasi bernama Front Demokrasi Rakyat (FDR). FDR merupakan gabungan dari seluruh organisasi politik kaum komunis di Indonesia, kecuali Partai Murba pimpinan Tan Malaka. Setelah itu Amir bersama tokoh PKI bernama Muso, merencanakan kudeta.
Dengan bantuan tokoh muda PKI, seperti DN Aidit, Soebandrio dan Njoto, dan sebagainya. Amir memproklamirkan berdirinya Negara Soviet Indonesia, dengan Amir menunjuk dirinya sebagai Perdana Menteri. Sementara itu Muso diangkat sebagai Presiden. Awalnya tak banyak orang yang mau ikut FDR.
Namun kabinet Hatta meluncurkan program Rera, Reorganisasi dan Rasionalisasi. Program yang bertujuan untuk mengeliminasi kaum komunis dari tubuh TNI, dan program ini dijadikan senjata oleh PKI/FDR dalam menghasut para lasykar dan beberapa kelompok militer sehingga bergabung dengan FDR.
Setelah bergabungnya beberapa lasykar dan batalion TNI dalam barisan FDR, maka Muso pun memerintahkan pasukannya untuk melancarkan proses pembersihan terhadap tokoh politik maupun tokoh masyarakat yang terindikasi anti-komunis. Teror pembunuhan pun pecah di Madiun.
Pasukan PKI/FDR membunuhi para polisi, menyerang pos TNI dan menculik para pejabat daerah yang tak mau mengakui pemerintahan Muso. Untuk membiayai operasi militernya, Muso dan pasukannya melakukan perampokan terhadap masyarakat. Pondok pesantren juga diserang oleh PKI.
Selain merampas harta dan stok makanan milik pondok pesantren, kaum komunis juga membantai para santri, memperkosa para santriwati dan membunuhi ustadz juga kiyai. Tak cukup sampai disitu, pasar dan toko juga menjadi sasaran para pemberontak komunis FDR.
Para lurah dipaksa mengakui pemerintahan PKI, jika tidak maka lurah tersebut akan dieksekusi beserta putranya. Bahkan anak gadis maupun istrinya digilir sebagai pemuas nafsu para tentara komunis. Teror dan agitasi PKI ini kemudian terdengar oleh Jenderal Soedirman.
Melihat sepak terjang Muso beserta para pengikutnya, membuat Panglima Besar Jenderal Soedirman segera melaporkan kepada M Hatta selaku Perdana Menteri. Selanjutnya laporan tersebut diteruskan kepada Soekarno, sehingga terbitlah perintah kepada Jenderal Soedirman untuk menumpas Muso CS
Rencana operasi militer penumpasan pemberontakan PKI segera dipersiapkan oleh Jenderal Soedirman. Kolonel Gatot Subroto sebagai komandan divisi Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono komandan divisi Jawa Timur segera diperintahkan untuk menumpas habis Muso beserta pengikutnya.
Baca juga: Panglima TNI dan Ketua Komnas HAM Tanda Tangani MoU
Ya, begitu mendengar pemberontakan yang disertai dengan penculikan, penyanderaan serta pembunuhan, langkah yg diambil oleh Jenderal Soedirman adalah menyiapkan operasi penumpasan. Bukan meyebut para pemberontak sebagai saudaranya. Karena Jenderal Soedirman bukan pengkhianat.
Jenderal Soedirman segera mengerahkan pasukannya dari Divisi Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk mengepung Madiun dan sekitarnya. Operasi penumpasan itu sendiri dipimipin langsung oleh Kolonel AH Nasution. Dalam waktu 10 hari, pemberontakan Muso dan Amir Sjarifuddin dapat ditumpas. Nasib Muso berakhir di sebuah jamban, setelah diberikan hadiah berupa proyektil peluru ke tubuh gempalnya.
Sementara Amir Sjarifuddin tertangkap kemudian dieksekusi mati oleh pasukan Kolonel Sungkono. Sedangkan sisa pasukan PKI melarikan diri ke Kediri, disanalah para gerombolan PKI dimobilisasi oleh Tan Malaka. Sehingga dapat dipastikan secara mutlak Kediri dikuasai PKI saat itu.
Kolonel AH Nasution kemudian mempersiapkan rencana operasi pembebasan Kota Kediri dari cengkeraman sisa-sisa gerombolan Muso. Namun belum sempat operasi penumpasan itu terealisasi, datang serangan Agresi Militer II. Jogja diserang, Presiden Soekarno beserta para menteri ditawan.
Otomatis, Jenderal Soedirman memprioritaskan untuk menghadapi Belanda. Segera perintah disampaikan ke seluruh komandan divisi baik Jawa maupun Sumatera dan wilayah lainnya. Pesan dikirim dalam bentuk sandi morse melalui mesin telegraf di berbagai stasiun pemancar radio.
Jadi saat itu Jenderal Soedirman menghadapi 2 musuh sekaligus. Yaitu PKI yang memberontak, di sisi lain datang pula serangan dari Belanda. Dengan mempertimbangkan segala aspek, maka Jenderal Soedirman memerintahkan seluruh jajaran TNI untuk melancarkan perang gerilya.
Bertubi-tubi serangan bom meluluhlantakkan Jogja. Sasaran utama pengeboman yang dilakukan oleh pesawat Belanda adalah untuk menewaskan Jenderal Soedirman dan pasukannya. Dengan dikawal satu kompi utama, Jenderal Soedirman masuk hutan untuk melakukan serangan gerilya terhadap Belanda.
Hingga suatu saat, Jenderal Soedirman tiba di kaki Gunung Wilis, wilayah yang dekat dengan Kediri. Sangat tertegun pasukan TNI saat itu begitu melihat fakta bahwa kondisi Kediri aman dari serangan Belanda. Regu pengintai segera diterjunkan oleh Jenderal Soedirman ke Kediri.
Regu pengintai mengamati situasi Kota Kediri yang nampak normal, jauh dari hingar bingar pertempuran. Hanya ada sekelompok besar tentara yang sedang menyaksikan Tan Malaka berpidato. Sementara ada juga yang tengah terlibat cekcok dengan pedagang soto, warga memilih berdiam di rumah.
Percekcokan itu ternyata dipicu oleh segerombolan pasukan PKI yang makan soto tapi enggan membayar. Ada pula yg membayar, tapi tidak sesuai dengan jumlah menu yang disantap. Misalnya makan ayam 3 potong, tapi ngakunya cuma makan 2 potong. Itulah ciri khas PKI.
Iba melihat kondisi si Ibu penjual soto yang dirugikan oleh PKI, regu pengintai memberikan sejumlah uang kepada si Ibu sambil menyarankan untuk mengungsi keluar dari Kota Kediri. Setelah itu tim pengintai berfokus kepada Tan Malaka yang tengah bercuap-cuap mengumbar omong kosongnya.
Berdasarkan ocehan ngawur dari Tan Malaka, dapat disimpulkan bahwa Tan Malaka mengklaim dirinya sebagai pewaris jabatan dari Soekarno yang saat itu kembali ditawan oleh Belanda. Ya, Tan Malaka menobatkan dirinya sebagai Presiden RI menggantikan Soekarno tanpa ada mandat resmi.
Semua hasil observasi dari Tim Pengintai atau intelijen langsung dilaporkan kepada Jenderal Soedirman. Kesimpulan Jenderal Soedirman yang merupakan pelaksana tugas pemerintahan darurat perang, bahwa Tan Malaka tengah menghasut masyarakat untuk ikut melakukan kudeta.
Baca juga: Panglima TNI Terima Alpalhankam dari Kementerian Pertahanan
Diperkuat dengan terkonsentrasinya sisa-sisa kombatan PKI dari Madiun, yang tidak ikut berperang menghadapi Agresi Militer Belanda II, serta kondisi Kota Kediri yang tak tersentuh oleh serangan Belanda, maka ditarik kesimpulan bahwa Tan Malaka memberontak melawan pemerintah.
Tak hanya itu, disimpulkan bahwa selama ini Belanda ikut mensponsori gerakan sparatis dan pemberontakan di wilayah Madiun dan sekitarnya. Ditengarai ada deal khusus antara Tan Malaka serta Belanda, sehingga posisi Tan Malaka aman di Kota Kediri. Itulah fakta yang tak bisa dipungkiri.
Namun Belanda tak sepenuhnya mempercayai PKI, mata-mata Belanda di tubuh juga terus mengawasi. Menurut informasi yang didapat oleh tentara Belanda yang tengah melakukan pengejaran terhadap Jenderal Soedirman, bahwa kuat dugaan beliau berada di Kediri
Mendapatkan informasi seperti itu, membuat petinggi pasukan Belanda meradang kepada Tan Malaka. Jaminan keamanan kota Kediri yang diberikan dari Belanda kepada Tan Malaka segera dicabut. Karena Belanda menilai bahwa Tan Malaka ikut melindungi Jenderal Soedirman.
Alhasil, Kota Kediri pun dibombardir. Pasukan PKI yang terkonsentrasi di dalam kota, mulai bergerak ke pinggiran kota untuk mencari dan menangkap Jenderal Soedirman. Dan sempat satu kompi tentara komunis berjumpa dengan rombongan Jenderal Soedirman, tapi tak terjadi kontak senjata.
Bukan karena kedua belah pihak berdamai, tapi karena pasukan PKI tidak mengenali wajah Jenderal Soedirman, sehingga Jenderal Soedirman lolos dari upaya penangkapan oleh anggota PKI. Melihat fakta tersebut, Jenderal Soedirman memerintahkan agar gerombolan PKI ditumpas.
Operasi penumpasan gerombolan komunis Tan Malaka disusun berbarengan dengan penyusunan rencana penyerangan Kota Jogja. Dari sini sangat jelas kepiawaian Jenderal Soedirman dalam bidang kemiliteran, mampu memimpin operasi militer secara simultan.
Setelah mencapai wilayah Bajulan, sekitar Nganjuk, Jenderal Soedirman membangun Markas komando perang pusat. Di tempat inilah, Jenderal Soedirman memberikan komando operasi militer yang mencakup seluruh wilayah Indonesia. Dan pada suatu hari, Kolonel Sungkono melapor ke Markas.
Dalam laporannya, Kolonel Sungkono menyampaikan bahwa Tan Malaka sudah menerima secara langsung jackpot, hadiah pun sudah dikirimkan melalui kurir tanpa aplikasi. 4 Proyektil kaliber 6,5 x 50mm mendarat mulus di tubuh Tan Malaka tanpa mengalami stall.
Dengan diberangkatkannya Tan Malaka menyusul Muso dan Amir Sjarifuddin ke alam baka, maka tuntas sudah operasi penumpasan PKI di Madiun. Operasi yang dijalankan seraya menghadapi serangan dari Belanda. Itu karena leadership Jenderal Soedirman yang cerdas, shalih dan profesional. (*)
Source : @RevolusiAkhlaq2
Editor : Syaiful Anwar