Jasad Jenderal S Parman ditemukan di dalam Lubang Buaya tanpa bola mata. Tak hanya itu, ditemukan luka-luka tak beraturan di kepala. Rahang dalam kondisi patah, cidera di tulang tengkorak dan tungkai bawah kiri. Dari luka-luka tersebut bisa dibayangkan yg dialami malam itu.
Sebelum merekonstruksi kejadian yang dialami oleh Mayjen S Parman malam itu, perlu diketahui bahwa Asisten 1 Kepala Staf TNI AD tersebut diculik oleh gerombolan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) di kediamannya dan dibawa ke Lubang Buaya dalam kondisi hidup dengan menggunakan pakaian dinas lengkap.
Baca juga: Kisah Pilu Yayu Ruliah Sutodiwiryo Usai G 30 S PKI
Pasukan penculik Mayjen S Parman dipimipin oleh Serma Satar, anggota korps Tjakrabirawa, pasukan kawal pribadi Presiden Soekarno. Sambil menodongkan senjata AK-47, regu penculik menggiring Mayjen S Parman keluar dari rumahnya lalu memaksanya untuk menaiki truk militer.
Dini hari itu, Mayjen S Parman dibawa ke suatu tempat bernama Lubang Buaya, berlokasi tak jauh dari Landasan Udara (Lanud) Halim Perdanakusumah. Setibanya di lokasi, Mayjen S Parman diturunkan dari truk dalam keadaan mata ditutup kain merah.
Dia dibawa ke sebuah rumah yang berfungsi sebagai tempat interogasi dan penyekapan, di rumah itu pula Letjen R Soeprapto dan Mayjen Soetoyo disekap. Lalu tak lama datang segerombolan pasukan yang membawa Lettu Pierre Tendean, para penculik mengira Pierre adalah Jend Nasution.
Sampai di sini, kita mulai fokus merekonstruksi kejadian yang dialami oleh Mayjen S Parman berdasarkan luka di jasadnya. Pertama, luka tak beraturan di area kepala. Luka tak beraturan disebabkan oleh benturan dengan benda tumpul maupun tajam. Juga patah tulang rahang.
Dilihat dari luka yang dialami, jelas itu bukan luka akibat melihat kekasih jalan dengan selingkuhannya. Tapi luka akibat kekerasan fisik berupa siksaan dengan benda tumpul dan benda tajam. Besar kemungkinan Mayjen S Parman dipaksa untuk mengakui sesuatu yang tak dilakukan.
Bisa diduga Mayjen S Parman disiksa oleh pelaku dengan cara dipukuli dengan tangan kosong dan benda tumpul demi memuaskan hasrat dan dendam pelakunya. Sedemikian keras siksaan yang dialami, hingga menyebabkan tulang rahang Mayjen S Parman patah.
Tak hanya menyasar area kepala, pelaku juga menghantam bagian kaki sehingga menyebabkan tungkai kiri Mayjen S Parman patah. Namun belum puas dengan perilaku biadabnya, pelaku masih melanjutkan siksaannya dengan menginjak-injak Mayjen S Parman di bagian perut dan wajah.
Tindakan brutal pelaku tak hanya sampai di situ. Dalam keadaan telungkup tak berdaya, Mayjen S Parman kemudian ditembak bagian bokongnya menggunakan AK-47. Kontan peluru melesat hingga tembus ke paha depan. Ini mengisyaratkan bahwa pelaku hendak membunuh korbannya secara perlahan.
Membunuh korban secara perlahan merupakan perilaku keji yang hanya dilakukan oleh seorang psikopat, dimana perbuatan pelaku didasari oleh mengambil keputusan demi memuaskan hasratnya tanpa mempedulikan akibatnya di masa mendatang. Sehingga perbuatannya menjurus pada kesadisan.
Setelah puas melihat korbannya meringis kesakitan dalam waktu yang lama, barulah pelaku menembak ke arah kepala Mayjen S Parman. Tembakan ini yang diduga menjadi penyebab kematian Mayjen S Parman. Sebuah fakta yang tak bisa terbantahkan, bahwa anggota PKI ini memiliki kelainan jiwa.
Kekejian para gerombolan G30S/PKI menggambarkan betapa mengerikan doktrinasi yang diterapkan dalam organisasi PKI. Doktrinasi yang berhasil menciptakan para psikopat dengan level kekejian diatas rata-rata. Apalagi jika kita melihat fakta terakhir, membuat bulu kuduk berdiri.
Baca juga: Munculnya Ideologi Komunisme di Indonesia
Fakta yang dimaksud adalah kondisi jasad Mayjen S Parman ketika diangkat dari sumur tua Lubang Buaya dalam keadaan tanpa bola mata. Dokter visum saat itu berargumen bahwa bola mata Mayjen S Parman bisa jadi copot akibat proses pembusukan jasad yg terendam air.
Berdasarkan asumsi tersebut, dokter pun tidak mencantumkan hilangnya bola mata Mayjen S Parman sebagai luka pada dokumen visum. Namun yang menarik justru jika kita melihat kondisi jenazah korban lainnya, dimana bola mata masih menempel lengkap di area wajahnya.
Dan kita fahami semua korban dimasukkan dalam sumur tua yang sama dan dalam waktu yang bersamaan. Jika memang hilangnya bola mata Mayjen S Parman akibat pembusukan alami, tentunya jasad korban lainnya juga didapati kondisi yg serupa.
Berdasarkan analisa tersebut, sulit dibantah jika kemungkinan besar hilangnya bola mata Mayjen S Parman akibat dicungkil secara paksa saat disiksa hidup-hidup. Dan hilangnya bola mata Mayjen S Parman bisa dikatakan sebagai puncak sadisme yg dilakukan oleh anggota PKI.
Terlebih lagi jika melihat posisi jasad Mayjen S Parman setelah dimasukkan ke dalam sumur maut, dimana posisi jasadnya berada di tumpukan atas. Jika menggunakan asumsi dokter visum, seharusnya jasad D.I. Panjaitan yang mengalami kerusakan paling parah, karena berada di bawah.
Namun faktanya, hanya jasad Mayjen S Parman yang mengalami kerusakan paling parah. Tentunya hal ini secara otomatis menganulir keterangan anak cucu PKI yang mengklaim bahwa tak ada proses penyiksaan terhadap para korban. Dan sejarah akan tetap menggugat perilaku keji anggota PKI. (*)
Baca juga: Panglima Besar Jenderal Soedirman Vs Pemberontakan Komunis
Referensi :
Benedict Anderson, & Ruth McVey, (2009)
A Preliminary Analysis of The October 1, 1965.
- John Rossa (2008), Dalih Pembunuhan Massal.
- Harsya Bachtiar (1989) Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD?.
*) Source : Pecinta Sejarah Tanah Air
Editor : Bambang Harianto