Kisah Pilu Yayu Ruliah Sutodiwiryo Usai G 30 S PKI
Duka yang mendalam dialami oleh Ny. Yayu, yang tidak lain adalah istri dari pahlawan Revolusi Jenderal Anumerta Ahmad Yani. Berusaha tegar menghadapi kenyataan, kehilangan suami yang sangat dicintainya.
Rasa sedih yang sangat mendalam karena tak bisa mendampingi suaminya saat malam keji itu terjadi. Menyisakan penyesalan yang berujung rasa trauma, terlebih lagi setelah melihat foto kondisi jenazah suaminya saat ditemukan di sebuah sumur tua, Lubang Buaya.
Baca Juga: Bukti Penyiksaan di Lubang Buaya, Jenazah Jenderal S Parman Tanpa Bola Mata
Semakin dalam penyesalan itu hadir, tatkala mengetahui bahwa anak-anaknya justru melihat kejadian kelam, dini hari 1 Oktober 1965. Bisa dibayangkan, bagaimana dampak psikologis yang dialami oleh anak-anak kecil yang melihat ayahnya ditembak lalu jasadnya diseret bak hewan.
Genangan darah segar yang mengucur deras dari tubuh Menpangad Jenderal Ahmad Yani usai diterjang 7 butir proyetil senapan mesin ringan Thompson milik prajurit Cakrabhirawa, membasahi lantai rumah hingga ke tepi jalan. Di situlah mayat Jenderal Yani dicampakkan.
Tak lama kemudian para pasukan pemberontak itu menyeret jasad tersebut dan melemparkan ke atas truk sambil diiringi teriakan bernada hujatan terhadap tubuh yang sudah tergeletak tak berdaya.
Semua disaksikan oleh 8 anak Jenderal Ahmad Yani.
Amelia Yani, puteri Jenderal Ahmad Yani mengisahkan, bahwa di pagi itu dirinya mendengar rentetan tembakan dari kamarnya. Lalu sang adik bungsu bernama Edy menceritakan bahwa ayahnya telah ditembak. Mendengar itu, semua anak-anak mencoba berlari untuk menolong ayahnya.
Namun langkah mereka dihadang oleh anggota regu pasukan penculik, anak-anak tersebut diancam akan dihabisi juga jika masih berusaha untuk keluar rumah. Dengan ketakutan, mereka pun kembali ke dalam rumah sambil melihat jasad ayahnya yang tergeletak di pinggir jalan depan rumah.
Sambil berpelukan, mereka menangis sejadi-jadinya. Tak percaya bahwa mereka harus melihat kejadian kelam itu dengan mata kepala mereka sendiri.
Sambil tak bisa berbuat banyak, selain menangis dan berharap itu hanya mimpi.
20 menit kemudian, Ny. Yayu tiba bersama rombongan dan pengawal dari rumah yang terletak di Taman Suropati.
Beliau terkejut melihat anaknya berlarian, lalu menanyakan, "Kenapa masih subuh kok sudah pada bangun?"
Pertanyaan yang dijawab dengan tangisan.
Butuh waktu beberapa menit menenangkan anak-anaknya, sehingga mereka bisa menceritakan kejadian yang baru saja mereka alami.
Setelah mendengar cerita dari anak-anaknya, Ny. Yayu mengecek ke dalam rumah dan menyaksikan darah segar suami yang menggenang di lantai.
Sontak Ny. Yayu lemas dan tak sadarkan diri, sampai sekitar pukul 6 pagi beliau baru tersadar. Kemudian beliau memerintahkan para pengawal dan ajudannya untuk mencari dimana keberadaan suaminya.
Sekitar pukul 07.30 WIB, datang pasukan dari Kodam Jaya yang mengecek lokasi.
Setelah mengamankan rumah berikut penghuninya, pasukan tersebut diperintahkan untuk mengevakuasi seluruh penghuni ke suatu tempat dekat Mabes Angkatan Darat (AD).
Disana anak-anak Jenderal Ahmad Yani yang masih kecil hanya bisa pasrah, sambil menunggu ibunya yang tengah mengunci diri di dalam kamarnya.
Sampai tanggal 3 Oktober 1965, ibunya baru mau keluar dari kamar, lalu minta disiapkan kebaya hitam untuk menghadiri pemakaman suaminya. Ternyata sang ibunda mengatakan bahwa suaminya telah menemui dirinya di alam mimpi.
Dalam mimpi tersebut, menyiratkan bahwa Jenderal Ahmad Yani telah tiada.
Beberapa saat kemudian datanglah Pangdam Jaya, Brigjen Umar Wirahadikusumah. Beliau masuk dan meminta izin untuk bertemu dengan Ny. Yayu. Dalam perbincangan 4 mata tersebut Pangdam Jaya menyampaikan bahwa dirinya telah 'bertemu' dengan Jenderal Ahmad Yani yang saat ini dalam keadaan wafat.
Baca Juga: Munculnya Ideologi Komunisme di Indonesia
Tangisan tak dapat dibendung lagi, sambil menahan kesedihan Pangdam Jaya menjelaskan bahwa sebentar lagi keluarga akan dibawa ke Mabes AD untuk menyaksikan persemayaman jenazah para korban kebiadaban G30S/PKI. Ny. Yayu lalu memanggil semua anaknya ke dalam kamar.
Dengan hati yang hancur, Ny. Yayu berusaha tegar menyampaikan kepada anak-anaknya tentang kenyataan yang telah dialami oleh Jenderal Ahmad Yani.
Mereka saling berangkulan dalam isak tangis seolah tak percaya dengan semua yang telah terjadi.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Ny. Yayu mempersiapkan diri dan anak-anaknya, lalu berangkat ke Mabes AD untuk melihat jenazah suaminya untuk yang terakhir kali. Namun apakah daya, beliau dan anak-anak hanya bisa melihat peti jenazah berselimutkan bendera merah putih, dengan foto Jenderal Ahmad Yani
tepat tanggal 5 Oktober 1965, jenazah para korban kebiadaban G30S/PKI dibawa dari Mabes AD menuju TMP Kalibata.
Diiringi pidato dari Jenderal AH. Nasution, serta kehadiran masyarakat yang hadir saat itu. Tak hanya di Mabes AD, tapi juga sepanjang jalan yang dilalui oleh iring-iringan.
Nampak di wajah masyarakat yang hadir di sepanjang jalan, dari Mabes AD hingga TMP Kalibata, rona kesedihan dan kemarahan yang bercampur menjadi satu. Sedih akan kepergian para Pahlawan Revolusi, dan marah akan kekejian dan kebiadaban komplotan G30S/PKI.
Setibanya di TMP Kalibata, jenazah para Pahlawan Revolusi dilepas dengan upacara militer. Tembakan salvo meriam, mewarnai upacara yang dipenuhi oleh berbagai kalangan.
Tak hanya unsur ABRI, tapi masyarakat ibukota tumpah ruah melepas Pahlawan Revolusi menuju peristirahatan terakhir.
Yang konyolnya, upacara pemakaman dipimpin oleh Dr. Soebandrio, Kepala Badan Pusat Intelijen yang merupakan aktor intelektual penyebaran fitnah tentang adanya 'Dewan Jenderal'.
Isu inilah yang dipergunakan oleh G30S/PKI untuk melakukan kudeta berdarah ini.
Baca Juga: Munculnya Ideologi Komunisme di Indonesia
Sepeninggal suaminya, Ny. Yayu harus menghidupi kedelapan anak-anaknya yang mengalami trauma berat.
Terlebih lagi putera bungsu beliau yang bernama Eddy, mengalami trauma yang begitu mendalam karena melihat langsung peristiwa pembunuhan terhadap ayahnya, Jenderal Ahmad Yani.
Jatuh bangun, Ny.Yayu berjuang membesarkan anak-anaknya seorang diri, dalam kondisi trauma psikis yang cukup berat.
Tak pernah beliau merengek meminta kompensasi kepada pemerintah, meskipun pernah suatu hari beliau kehabisan uang dan terpaksa harus menjual beberapa perabotan.
Karena beliau mengerti, bahwa wafatnya Jenderal Ahmad Yani merupakan konsekuensi dari sebuah perjuangan.
Perjuangan suci dalam menjaga Pancasila dari rongrongan PKI.
Sebagai patriot sejati, Jenderal Ahmad Yani menuntaskan pengabdian kepada agama dan bangsa hingga tetes dari terakhir.
Maka tak pantas rasanya jika Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) dan Instruksi Presiden (Inpres) yang berisi permintaan maaf kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) dan keturunannya, apalagi jika sampai memberikan kompensasi berupa kucuran dana. Karena PKI adalah pemberontak yang sudah berkali-kali mengkhianati Pancasila.
Permohonan maaf terhadap PKI tentunya melukai perasaan para korban kebiadaban PKI, terutama anak-anak Jenderal Ahmad Yani.
Dan dengan segala keterbatasan, Amelia Yani, yang merupakan putri Jenderal Ahmad Yani menggugat keputusan Presiden Jokowi yang meminta maaf pada PKI. (*)
*) Source : pecintasejarah2
Editor : Ahmadi