Berjubel Kepentingan Seputar Nikel, Kejar Hilirisasi Nyatanya Berbuah Korupsi

lintasperkoro.com
Tambang nikel

Kasus korupsi tambang nikel ilegal di Blok Mandiodo, Sulawesi Tenggara, yang menjerat sejumlah pengusaha hingga pejabat negara, menunjukkan masih terbukanya celah kongkalikong seputar tambang nikel. Hal ini menegaskan tata kelola industri nikel yang karut-marut.

Dalam perkembangan penyidikan pada Rabu (9/8/2023), Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan eks Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin sebagai tersangka. Ridwan disebut membuat keputusan yang berkontribusi memuluskan praktik pertambangan ilegal di lahan konsesi milik PT Antam Tbk. Akibatnya, negara dirugikan hingga Rp5,7 triliun. (BBC Indonesia, 11-8-2023).

Baca juga: Kasatreskrim Polres Solok Selatan Ditembak Kepalanya oleh Kabag Ops, Diduga Karena Tambang

Negara ditipu

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar meminta pemerintah mengevaluasi seluruh izin dan praktik pertambangan nikel di Indonesia. Pasalnya, menurut Melky, kasus Ridwan ini hanya puncak gunung es yang sudah lama terjadi, tetapi tidak pernah ada penegakan hukum yang tegas. Hendaknya, lanjut Melky, kasus Mandiodo ini menjadi pintu masuk untuk mengusut praktik korupsi serupa di sektor tambang nikel.

Juru bicara Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana mengatakan Ridwan berperan memimpin rapat terbatas pada 14-12-2021 dan menyederhanakan persyaratan dokumen rencana kerja anggaran biaya (RKAB) untuk perusahaan pertambangan. Lewat penyederhanaan itu, PT Kabaena Komit Pratama berhasil mendapatkan kuota pertambangan ore nikel sebesar 1,5 juta ton pada 2022.

Penerbitan RKAB perusahaan ini diproses oleh tersangka pejabat lainnya tanpa evaluasi dan verifikasi sesuai ketentuan, padahal PT Kabaena tidak memiliki cadangan nikel di wilayah tersebut (Mandiodo). RKAB tersebut dijual oleh PT Kabaena dan beberapa perusahaan lainnya kepada PT Lawu Agung untuk melegalkan pertambangan ore nikel di lahan milik PT Antam.

Dokumen RKAB inilah yang kemudian juga dimanfaatkan untuk menjual hasil tambang ilegal agar menjadi seolah-olah legal. Dengan kata lain, yang terjadi di lapangan adalah pencurian nikel secara terus-menerus. Tidak pelak, kronologi ini menunjukkan bahwa negara telah ditipu oleh oknum nakal pengusaha dan penguasa.

Ambisi demi liberalisasi

Di tengah tingginya permintaan global terhadap nikel, Indonesia berambisi menjadi produsen baterai terbesar di dunia. Pertumbuhan industri nikel terus digenjot dan yang paling masif terlihat di Sulawesi.

Pada tahun 2021, pemerintah menerbitkan 293 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Sulawesi. Namun, ambisi itu tidak dibarengi pengawasan dan penegakan hukum yang ketat. Akibatnya, praktik penambangan nikel ilegal malah muncul dengan leluasa sebagaimana yang legal, bahkan berdampak pada kerusakan lingkungan.

Kehadiran tambang nikel ilegal di Blok Mandiodo juga menyebabkan laut di sekitar wilayah operasi tambang tercemar sehingga berwarna kecokelatan. Nelayan setempat pun mengeluhkan hasil laut yang minim.

Selain itu, warga juga kehilangan sumber mata air yang terletak di kawasan pertambangan akibat pencemaran sehingga kesehatan mereka terganggu. Belum lagi dampak deforestasi akibat ekspansi pertambangan nikel—termasuk di kawasan hutan—yang terjadi secara ilegal. Menurut data, pertambangan nikel menyebabkan hilangnya 24.811 hektare hutan dalam 20 tahun terakhir.

Sayangnya, aktivitas tambang nikel di Blok Mandiodo yang sebenarnya sudah sering diprotes oleh warga, nyaris tidak pernah direspons oleh pemerintah maupun aparat penegak hukum. Lebih parahnya lagi, pertumbuhan tambang nikel ternyata berbanding terbalik dengan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Mengacu pada laporan kemiskinan BPS pada Maret 2023, hampir semua provinsi tempat berdirinya tambang nikel justru mengalami peningkatan kemiskinan.

Ini jelas berbanding terbalik dengan naiknya pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah tersebut. Masyarakat di sekitar smelter mungkin bisa buka usaha, tetapi yang di perdesaan terancam kehilangan lahan karena ekspansi tambang ilegal. Warga pun kesulitan melakukan usaha pertanian dan melaut karena lingkungannya tercemar.

Kondisi ini seharusnya menampar ambisi perihal capaian pertumbuhan nikel yang terlalu tinggi karena ternyata ambisi itu tidak mempertimbangkan masyarakat setempat berikut dampak lingkungannya. Hal yang justru makin tampak nyata adalah liberalisasi tambang itu sendiri.

Kejar hilirisasi, berbuah korupsi

Lezatnya bisnis tambang nikel jelas berimplikasi pada iklim kendaraan berbasis listrik. Ini sejalan dengan ambisi pemerintah tadi. Tidak heran, beragam kesepakatan transaksional seputar hilirisasi juga turut mengiringi. Hilirisasi sendiri adalah strategi untuk meningkatkan nilai tambah suatu komoditas yang dengannya komoditas ekspor Indonesia nanti bukan lagi berupa bahan baku, melainkan berupa barang setengah jadi atau barang jadi.

Baca juga: Pekerjaan Urugan Dinas PUTR di Desa Sidoraharjo Tak Kunjung Direalisasikan

Di Indonesia, hilirisasi telah dicanangkan sejak 2010. Target besarnya tentu saja untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya hilirisasi industri, sumber daya alam yang diekspor keluar negeri akan memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Hilirisasi menjadi sesuatu yang wajib dilakukan untuk meminimalkan dampak dari penurunan harga komoditas.

Jika Indonesia terus bergantung pada ekspor komoditas mentah, Indonesia akan mudah terpuruk ketika nilai jual komoditas tersebut menurun. Sebaliknya, jika Indonesia mengekspor barang setengah jadi atau barang jadi, nilai jualnya pun makin tinggi. Selain itu, harga barang setengah jadi maupun barang jadi cenderung lebih stabil daripada harga bahan baku negeri.

Untuk mewujudkan sekaligus memperkuat hilirisasi industri di Indonesia, pemerintah mendorong lebih banyak investasi ke dalam negeri. Namun, investasi dan investor pastilah berasal dari pihak swasta, baik lokal maupun asing. Artinya, hilirisasi hanya akan tersisa sebatas wacana bagi rakyat, sedangkan penikmatnya adalah swasta, khususnya oligarki di sekeliling penguasa.

Lebih dari itu, hilirisasi juga menyuburkan kepentingan sejumlah kapitalis, baik yang legal maupun ilegal, yang kian berjubel sampai-sampai rombongan pejabat turut terlibat. Ekses lainnya, praktik korupsi pejabat terkait justru mustahil dihindari. Ironis!

Pengelolaan SDA dan pencegahan korupsi yang efektif

Kapitalisme tidak akan pernah lepas dari keserakahan. Konsep menghalalkan segala cara demi meraih keuntungan sebesar-besarnya juga akan selalu terjadi. Para kapitalis tidak akan pernah peduli dengan dampak liberalisasi bagi masyarakat, alih-alih mempertimbangkan kerusakan lingkungan.

Sejatinya, SDA adalah harta kepemilikan umum. Peran negara dalam mengelolanya semestinya memperhitungkan amanah tersebut demi sebaik-baik kepentingan rakyat selaku pemiliknya. Sangat tidak patut negara mengambil keuntungan meski sepeser, apalagi sampai ada pejabat yang mengorupsinya. Ini bukan hanya menyalahi amanah pengelolaan itu sendiri, tetapi sungguh telah mengkhianati rakyat.

Islam mengatur SDA tambang (minerba, migas) sebagaimana sabda Rasulullah , “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Oleh sebab itu, tambang tidak boleh dimiliki/dikelola atas nama individu, apalagi oleh oligarki maupun swasta lokal/asing. Negara, menurut Islam, hanya diperkenankan mengelola tambang untuk dikembalikan dalam kemanfaatan yang besar bagi rakyat, bukan melalui prinsip bisnis, alih-alih demi aliran profit. Peran negara pun semata-mata karena menjalankan mandat. Rasulullah bersabda, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Baca juga: Tragedi Berdarah di Muara Kate, 1 Orang Meninggal Dunia

Berdasarkan kedua hadis ini, Islam menutup ruang bagi adanya privatisasi tambang, maupun SDA lain yang semuanya berstatus kepemilikan umum. Para pejabat di negara Islam juga tulus mengurusi urusan umat, bukan untuk kemanfaatan diri sendiri. Mereka sadar sepenuhnya bahwa menjabat adalah memegang amanah besar sekaligus bagian dari tanggung jawab keimanan.

Di sisi lain, hukuman korupsi produk sistem sekuler tidak membuat jera pejabat pelaku kejahatan. Hukuman korupsi justru berpeluang dikompromikan demi mengurangi masa hukuman, bahkan pelakunya bisa bebas dari jerat hukum. Kondisi tentu sangat berbeda dengan sistem peradilan dan sanksi Islam.

Ketegasan sistem Islam dalam memberantas korupsi tidak terlepas dari sifat sistem persanksian dalam Islam, yakni sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Maknanya agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama; dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, sanksi tersebut dapat menebus dosanya. Demikianlah pemberantasan korupsi yang efektif.

Di samping itu, sistem Islam meniscayakan ketakwaan dalam diri setiap individu yang jelas akan memudahkan proses hukum pada pelaku. Dengan ketakwaan yang dimiliki, pelaku tindak kriminal tidak akan tahan berlama-lama menyimpan kesalahan. Dirinya meyakini bahwa hukuman di akhirat akan lebih dahsyat. Oleh karenanya, pelaku akan menyerahkan diri pada pihak berwenang dan mengakui kesalahannya. Dirinya pun rida dengan sanksi yang menjadi konsekuensi untuk ia terima.

Namun, coba kita lihat para koruptor saat ini. Alih-alih tobat nasuhah, begitu dirinya bebas dan ada kesempatan lagi, dirinya malah tidak segan mengulangi tindak korupsi, yang kalau bisa dengan jumlah yang lebih fantastis. Astagfirullah!

Allah Taala berfirman, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah [5]: 50). Wallahualam bissawab. (*)

*) Sumber : Muslimah Sriwijaya

Penulis: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si

Editor : Syaiful Anwar

Peristiwa
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru