Kisah Almagfurlah Gus Dur dan Almaghfurlah Yai Shonhaji Kebumen

Suatu saat saya diajak oleh sahabat saya yang akan menyelesaikan tesis magisternya (S2) di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta jurusan Sosiologi, bernama Khoirul Rosyadi, untuk sowan ke Almagfurlah Mbah Yai Shonhaji di Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Cak Ros (sapaan Khoirul Rosyadi) hendak mencari data ke beliau.
Tujuannya, atas dasar yang beredar di media massa dewasa itu bahwa Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) selalu bicara tentang keberhasilannya menjadi Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang tidak disukai Pemerintah Orde Baru dan terpilihnya beliau sebagai Presiden adalah berkat "kehadiran" Yai Shonhaji di dekat beliau saat itu.
Baca Juga: Ustadz Harus Punya Pekerjaan di Luar Mengajar?
Gus Dur yakin betul akan "kehadiran" Mbah Shonhaji di dekat beliau untuk menyemangati sekaligus mendoakan. Dari satu podium ke podium lain, Gus Dur cerita seperti itu.
Cak Ros mau menulis tentang Mistifikasi seputar pemilihan Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia (RI). Dan hal itu sudah ditulis dalam buku yang berjudul "Mistik Politik Gus Dur" yang diterbitkan oleh Penerbit Jendela Yogyakarta.
Cak Ros satu kampung dengan saya dari Desa Kemudi, Kecamatan Duduk Sampeyan, Kabupaten Gresik. Semasa di Yogyakarta, Cak Ros pernah jadi Ketua Ikatan keluarga Gresik (IKG). Cak Ros, selepas dari UGM, beliau mengajar di Universitas Airlangga (Unair), selanjutnya mengambil beasiswa studi doktoral di Rusia. Saat ini, Cak Ros menjadi tenaga pengajar di Universitas Trunojoyo Madura (UTM). Cak Ros juga aktif di Lakpesdam Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama.(PWNU) Jawa Timur.
Alhamdulillah, Cak Rosyadi sekarang sudah profesor. Dan Insya Alloh setelah Hari Raya akan bertugas menjadi atas e pendidikan di Rusia. Semoga dilancarkan dan dimudahkan Gusti Allah SWT. Aamiiin ya Robbal aalamiin.
Romo Yai Shonhaji
Romo Yai Shonhaji tinggal di daerah Dukuh Jimbun, Desa Giriwetno, Kecamatan Sruweng, Kabupaten Kebumen Provinsi, Provinsi Jawa tengah.
Saat sowan ke sana, kami mencari Mbah Shonhaji, namun tak seorang pun kenal nama itu. Ternyata, beliau lebih dikenal sebagai "Mbah Jimbun". Nama kecil beliau adalah Zainal Abidin. Sewaktu nyantri di Bendo, beliau diganti namanya menjadi Maqsud. Sepulang dari melakukan ibadah haji, beliau berganti nama menjadi Shonhaji.
Mbah Shon merupakan putra dari seorang Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah-Khalidiyah, Almagfurlah Mbah Hasbullah Bin Mbah Abdurrahman.
Mbah Shon Mondok di beberapa pesantren. Di antaranya Pesantren Jetis (yang didirikan oleh kakeknya sendiri, almagfurlah Mbah Abdurrahman), Pesantren Lirap Kebumen, Pesantren Somolangu Kebumen, Pesantren Watu Congol Muntilan asuhan almagfurlah Mbah Nahrowi Dalhar, Pesantren Pabelan Muntilan, Pesantren Kasugihan, Pesantren Bendo Pare Kabupaten Kediri, Pesantren Bangkalan, dan lain lain.
Saat Mbah Shon Mondok di Kabupaten Bangkalan, pengasuhnya adalah almagfurlah KH Muntasyar, menantu almagfurlah KH Imron Cholil. KH Muntasyar malah meminta beliau untuk mengajar di pondok dan juga di masyarakat sekitar Bangkalan.
Saat itu, ada seorang haji yang sangat kaya, almagfurlah Haji Burhanuddin yang meminta agar Mbah memilih wanita di Bangkalan untuk dijadikan istri. Atas jaminan haji Burhanuddin, Mbah Shon memilih perempuan sebagai istrinya.
Meski sudah beristri, Mbah Shon tetap haus ilmu pengetahuan. Mbah Shon kemudian bertemu dengan almagfurlah Romo KH Usman Al Ishaqi, yang merupakan seorang Mursyid Tarekat Qadiriyah wan-Naqsyabandiyah di Surabaya. Beliau berdua sangat intensif sebagai guru-Murid, sampai-sampai Romo Yai Usman mengangkat Mbah Shon sebagai salah satu Khalifahnya.
Dengan demikian, Mbah Shon benar-benar beralih dari tarekat Naqsyabandiyah-Khalidiyah ke tarekat Qadiriyah wan-Naqsyabandiyah. Meski dengan dasar dasar tarekat Khalidiyah tetap sangat penting bagi kemursidan beliau di Tareke Qadiriyah wan-Naqsyabandiyah selanjutnya.
Setelah beberapa tahun tinggal di Surabaya, Mbah Shon kemudian kembali di tempat tinggal asalnya di Jimbun Sruweng, Kabupaten Kebumen. Di daerah asalnya, tarekat tidak berkembang sedemikian masif sebagaimana di Surabaya atau Jawa timur pada umumnya. Saat itu, tahun 1999, di ndalemnya sedikit sekali yang nderek tarekatan.
Kata Mbah Shon saat itu, "Di daerah orang ikut tarekat kadang kadang saja. Jika musim tanam, mereka ke sawah semuanya. Jika sudah selesai tanam, maka mereka ikut tarekatan."
Alhamdulillah saya dan cak Rosyadi dibarengi ijazah oleh Mbah Shonhaji yang dibaca tiap bakda sholat shubuh.
Gus Dur Mencari Guru Spiritual
Baca Juga: Mengenal Mbah Salamun, Santri Generasi Pertama Kiai Bisri Syansuri
Suatu hari, Gus Dur ada acara selametan di Gresik. Sehabis acara itu, Gus Dur bertanya pada orang sekitar bahwa beliau hendak sowan pada almaghfurlah Romo Yai Usman Al Ishaqi. Saat itu dijawab bahwa Yai Usman sudah wafat.

Gus Dur Sangat yakin bahwa pasti Yai Usman memilih Khalifah, pengganti. Akhirnya ada yang jawab bahwa Khalifahnya ada di Kebumen, yaitu Mbah Shonhaji.
Selanjutnya, Gus Dur Sowan ke Mbah Shonhaji di Kebumen. Bagi Gus Dur, sowan ke kyai-kyai adalah hal biasa sebagai Ketua PBNU. Namun, yang dirasakan Gus Dur, sangat berbeda saat sowan dengan Mbah Shon. Beberapa kali kemudian, Gus Dur sangat intensif sowan ke Mbah Shon.
Sampai suatu saat kemudian, saat pemilihan Ketua PBNU saat itu Pemerintah Orde Baru menganggap Gus Dur ini orang yang sangat membahayakan Pemerintah jika tetap terpilih menjadi Ketua PBNU lagi.
Di arena muktamar Cipasung, Pemerintah sudah memasang tandingan bagi Gus Dur agar Gus Dur tidak terpilih lagi. Saat pemungutan suara itulah, Gus Dur "MERASA" ditemani, didampingi, dan disemangati oleh Mbah Shonhaji yang tidak bisa dilupakan oleh Gus Dur. Dan akhirnya, Gus Dur benar-benar terpilih lagi menjadi Ketua PBNU lagi.
Demikian pula, saat pemilihan Presiden RI. Saat pemungutan suara, Gus Dur sekali lagi "MERASA" ditemani, didampingi, dan disemangati oleh Mbah Shonhaji. Karena itu, Gus Dur selalu bilang tidak dimanapun juga, bahwa Mbah Shon selalu menemaninya.
Makna Peristiwa
Atas dasar Cak Ros sowan ke Mbah Shon untuk menanyakan keberadaan beliau saat pemilihan Presiden RI. Mbah Shon ngendikan bahwa beliau tidak kemana-mana, tetap di ndalemnya, di Kebumen. Namun beliau saat itu memfokuskan pikiran dan hatinya pada Gus Dur yang sedang pemilihan Presiden di gedung DPR".
Mbah Shon tetap fokus pada Gus Dur yang sudah dianggap sebagai anak sendiri.
"Gus Dur niku Yugo Kulo," kata yang sering diulang-ulang oleh Mbah Shon.
Baca Juga: Sinergi Ulama dan Polisi Jaga Keamanan Dapat Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi
Dalam bahasa tarekat, ada yang namanya "RABITHAH", yaitu hubungan rohani yang terjalin antara guru dan murid , antara Mursyid dan murid. Mbah Shon sebagai Mursyid dan Gus Dur sebagai Murid. Dengan Rabithah ini seseorang bisa ditemui gurunya tanpa si Murid menyadarinya seolah olah sang Guru-Mursyid benar-benar hadir di hadapannya.
Pendiri tarekat Qadiriyah, Syekh Abdul Qadir Jailani suatu hari diundang berbuka puasa oleh 40 orang muridnya. Semua murid mengakui bahwa sang Guru-Mursyid hadir di jamuannya.
Di Gresik yang nderek baiat tarekat Qadiriyah wan-Naqsyabandiyah almagfurlah Mbah Shonhaji adalah Romo yai Masbuhin Faqih, Pengasuh Pondok Pesantren Mambaus Sholihan, Desa Suci, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik. Mbah Shonhaji sering mampir di Desa Suci.
Penutup
Di Akhir hidupnya, Mbah Mbah Shonhaji menikahi istri dari almagfurlah Mbah Mangli dari Kabupaten Magelang, sepeninggal Mbah Mangli. KH Nurul Kholidiyyah asal Purwodadi, Jawa Tengah. Waktu itu, sang istri berumur 35 tahun, sedangkan Mbah Shon sudah berumur 80 tahun lebih. Saat kami sowan, beliau sedang berbahagia karena memiliki putra yang sudah berumur 2 tahun. Mbah Shonhaji "tilar dunyo" dalam usia 92 tahun. Tanggal 17 Maret 2008.
Mbah Shonhaji cerita bahwa beliau menikah 3 kali dan memiliki 13 putra-putri.
Saat Mbah Shonhaji ditanya oleh Cak Ros, apa doa yang panjenengan waos saat itu, Mbah Shonhaji memberi kami ijazah.
Mugi Mugi almaghfurlah Romo Yai Shonhaji dan Romo Yai Abdurrahman Wahid dan juga seluruh ulama dan juga semua orangtua kita yang sampun wafat pinaringan Rahmat-Nya dan maghfirah-Nya dan mendapatkan ridho-Nya dan surga firdaus-Nya.
*) Penulis : Basith Junaidy (UIN Sunan Ampel Surabaya)
Editor : Zainuddin Qodir