OOT: Teknologi Intelijen dan Human Intelligence, Case Study Konflik Gaza-Israel Oktober 2023
Israel terkenal sebagai tempat lahirnya perangkat lunak pengawasan paling canggih di dunia. Mereka mengawasi dan memblokade Gaza, yang panjangnya hanya 42 km. Di Gaza, dua hal yang konstan adalah kamera surveillance dan drone observasi Israel di langit. Tapi tidak ada yang melihat ini akan terjadi.
Ironisnya, Mesir sudah memberi tahu Israel berkali-kali bahwa Hamas sedang merencanakan "sesuatu yang besar", namun Israel tidak mengindahkan peringatan Mesir, karena Israel lebih fokus kepada Tepi Barat dan bukan Gaza karena pendukung pemerintahan Benjamin Netanyahu terdiri banyak dari pemukim Tepi Barat yang menuntut tindakan keras keamanan di sana dalam menghadapi gelombang kekerasan yang meningkat selama 18 bulan terakhir. Ini mengakibatkan Israel kehilangan situational awareness mengenai Gaza.
Baca Juga: Ribuan Massa Gelar Aksi Damai, Mars "Viva Palestina" Menggema di Madiun Raya
Ketergantungan Israel pada teknologi intelijen mengakibatkan kurangnya fokus pada human intelligence. Padahal, reputasi kemampian human intelligence Israel menjadi acuan dunia intelijen. Badan-badan intelijen Israel telah memperoleh aura yang tak terkalahkan selama beberapa dekade karena serangkaian pencapaiannya. Bahkan, reputasi lembaga-lembaga seperti Mossad, Shin Bet dan intelijen militer tetap bertahan meskipun dalam kegagalan misi.
Namun serangan akhir pekan lalu adalah pertama kalinya reputasi intelijen Israel diragukan dan menimbulkan pertanyaan tentang kesiapan negara dalam menghadapi musuh yang lebih lemah namun memiliki tekad yang kuat. Lebih dari 48 jam setelah dimulainya serangan, Hamas terus memerangi pasukan Israel di wilayah Israel, dan lebih dari 100 warga Israel ditahan Hamas di Gaza.
Mata Israel seperti tertutup menjelang serangan mendadak yang dilakukan oleh kelompok Hamas, yang menerobos penghalang perbatasan Israel dan mengirim ratusan pasukan ke Israel untuk melakukan serangan kurang ajar yang menewaskan lebih dari 700 orang dan melukai lebih dari 2000 orang.
Sejak Israel menarik pasukan dan pemukimnya dari Jalur Gaza pada tahun 2005, Israel tidak bisa mengendalikan langsung apa yang terjadi di wilayah tersebut. Namun bahkan setelah Hamas menguasai Gaza pada tahun 2007, Israel tampaknya tetap mempertahankan keunggulannya dengan fokus kepada menggunakan teknologi untuk kebutuhan intelijen dibanding human intelligence. Kemampuan teknologi intelijen Israel memang bukan main-main dimana mereka bisa mengetahui secara presisi lokasi target dan bisa mengeliminir target dengan surgical strike, atau mengentahui terowongan mana di perbatasan Gaza yang digunakan oleh Hamas untuk mengangkut para pejuang dan senjata, namun ketergantungan pada teknologi punya batasnya dan disitulah human intelligence tidak bisa digantikan.
Meskipun teknologi intelijen yang digunakan Israel sudah yang tercanggih, Hamas mampu menyembunyikan rencananya, dan bisa menyembunyikannya selama berbulan-bulan, sampai tidak terdeteksi sama sekali. Mengetahui ketergantungan Israel kepada teknologi intelijen, Hamas sepertinya menemukan cara untuk menghindari pengumpulan intelijen teknologi.
Mereka kembali ke Zaman Batu, mereka tidak menggunakan telepon atau komputer dan melakukan urusan sensitif mereka di ruangan yang dilindungi khusus dari spionase teknologi atau melakukan gerakan bawah tanah.
Namun kegagalan tersebut lebih dari sekadar pengumpulan intelijen dan badan keamanan Israel gagal memberikan gambaran akurat dari informasi intelijen yang mereka terima, berdasarkan apa yang disebutnya sebagai kesalahpahaman seputar niat Hamas.
Baca Juga: Insiden Black September, 1972
Badan keamanan Israel dalam beberapa tahun terakhir semakin melihat Hamas sebagai aktor yang tertarik untuk memerintah, berupaya mengembangkan perekonomian Gaza dan meningkatkan standar hidup penduduk Gaza. Sepertinya Israel lupa, bahwa Hamas sebenarnya tetap memandang penghancuran Israel sebagai prioritasnya.
Terlena dalam asumsi Hamas ingin memerintah Gaza, beberapa tahun terakhir Israel mengizinkan sekitar 18.000 pekerja Palestina dari Gaza untuk bekerja di Israel di mana mereka bisa mendapatkan gaji sekitar 10 kali lebih tinggi dibandingkan di Gaza.
Lembaga-lembaga keamanan Israel berasumsi bahwa membereskan urusan kantong dan perut cukup untuk menjaga ketenangan. Nyatanya, ratusan bahkan ribuan anggota Hamas sedang mempersiapkan serangan mendadak selama berbulan-bulan, tanpa ada kebocoran informasi, dan kita bisa lihat hasilnya.
Meskipun masih terlalu dini untuk menyalahkan kegagalan intelijen semata karena Israel sedang mengalami masalah internal, dari peningkatan kekerasan tingkat rendah di Tepi Barat yang mengharuskan pengalihan sejumlah sumber daya militer di sana dan kekacauan politik yang mengguncang Israel terkait langkah-langkah pemerintah sayap kanan Netanyahu untuk merombak sistem peradilan dimana rencana kontroversial tersebut telah mengancam kohesi IDF yang dipandang sebagai tentara rakyat Israel.
Baca Juga: IDI Dan Universitas Syiah Kuala Berikan Beasiswa Pendidikan untuk Mahasiswa Palestina
Dengan Israel disibukkan dan terkoyak oleh rencana perombakan peradilan Netanyahu, pimpinan pertahanan Israel telah memberikan peringatan kepada Netanyahu serta beberapa mantan pemimpin badan intelijen negara tersebut, bahwa rencana yang memecah belah tersebut akan merusak kohesi badan keamanan negara tersebut dan membawa resiko yang besar dimana perpecahan internal mengenai perubahan hukum merupakan faktor yang memberatkan yang membuat Israel lengah.
Terlepas dari permusuhan di antara pihak-pihak yang berkonflik, pada akhirnya, pertanyaan akan timbul mengenai siapa yang bertanggung jawab di pihak Israel karena gagal mempersiapkan serangan Hamas tersebut, yang merupakan serangan dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Meskipun akan ada upaya untuk menyalahkan intelijen Israel karena tidak melihat serangan itu terjadi, tanggung jawab utama terletak pada pemerintah Israel dan perdana menteri.
Ini adalah kegagalan intelijen Israel dalam skala besar yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sayangnya, warga Israel dan ujung-ujungnya warga Palestina sama-sama harus menanggung akibatnya. (*)
*) Gerry Soejatman (Pengamat dan Konsultan Penerbangan)
Editor : Ahmadi