Minimalisasi Paparan Dan Kekhawatiran Dalam Menghadapi Dampak Polusi Udara

Reporter : -
Minimalisasi Paparan Dan Kekhawatiran Dalam Menghadapi Dampak Polusi Udara
Kebakaran hutan dan lahan
advertorial

Sebagai salah satu negara yang rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan, Indonesia diharapkan lebih sigap dan proaktif dalam menyiapkan manajemen penanganan yang proaktif. 

Isu kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tengah menjadi sorotan nasional saat ini. Hingga 2 Oktober 2023, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat sebanyak ribuan hektar areal terbakar dengan 6.659 titik panas, dimana 80 persen diantaranya berpeluang menjadi titik api (fire spot).

Baca Juga: Gakkum KLHK Segel 18 Lokasi Karhutla

Kondisi itu disebut cukup berisiko meluas pada titik-titik panas di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh fenomena EL Nino. Dua negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Indonesia, yakni Singapura dan Malaysia, menyampaikan langsung keprihatinan tentang kabut asap sebagai dampak karhutla yang memperburuk kualitas udara di sebagian wilayah kedaulatan mereka. 

Keprihatinan tersebut timbul dari dampak karhutla yang mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat luas, mulai dari penurunan produktivitas, risiko kesehatan, hingga beban biaya penanganan yang tinggi.

Sebagaimana dikutip dari sebuah penelitian bertajuk ‘Developing and validating a scale for anxiety over land and forest fire’, yang ditulis oleh tim riset pimpinan Juliana Sutanto, Professor at Department of Human-Centred Computing, Monash University, terdapat tiga kekhawatiran utama terkait karhutla, yakni kekhawatiran atas hilangnya habitat, kekhawatiran atas dampak ekonomi dan keuangan, serta kekhawatiran terhadap risiko kesehatan. 

“Sebagai salah satu negara yang rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan, Indonesia harus lebih sigap dan proaktif dalam menangani isu terkait. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan evaluasi langsung secara berkala terhadap tiga kekhawatiran utama terkait dampak karhutla, terutama bagi mereka yang tempat tinggalnya dilintasi atau dekat dengan jalur titik panas yang berisiko memicu titik api. Evaluasi tersebut bermanfaat untuk mendorong pembahasan berkelanjutan di antara rumah tangga, komunitas, dan pemerintah tentang mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap risiko karhutla, termasuk meminimalisir dampak terkait ke luar wilayah kedaulatan Indonesia,” jelas Profesor Juliana. 

Baca Juga: Gakkum KLHK Beri Peringatan kepada 90 Perusahaan

Sejalan dengan apa yang disampaikan di atas, sebuah penelitian lain yang dilakukan oleh Yuming Guo dari School of Public Health and Preventive Medicine, Monash University, menemukan korelasi antara populasi dan risiko terdampak karhutla.

Penelitian bertajuk ‘Global population exposure to landscape fire air pollution from 2000 to 2019’ itu menyebut bahwa dalam kurun waktu 2010 hingga 2019, Indonesia berada di tengah-tengah daftar lima besar negara dengan jumlah potensi terbesar masyarakat yang terpapar karhutla, yakni sebesar 154,7 juta orang.

Paparan tersebut umumnya berupa polusi udara dalam jangka pendek yang berdampak buruk bagi kesehatan, termasuk diantaranya memicu peningkatan eksaserbasi penyakit kardiorespirasi, atau anomali distribusi oksigen pada jaringan otot, serta risiko kematian akibat gangguan saluran pernapasan. 

Baca Juga: PT Kalista Alam Setor ke Negara Rp 114 Miliar untuk Ganti Kerugian Lingkungan

“Tren paparan populasi terhadap polusi udara yang bersumber dari karhutla (SFPA) cenderung meningkat dari tahun ke tahun, terutama di Asia Tenggara, wilayah Afrika Tengah, serta Brazil. Keprihatinan ini mendesak hadirnya upaya multisektoral untuk mengurangi potensi karhutla demi meminimalisir dampak kesehatan yang merugikan dari polusi udara. Adapun lanskap karhutla sendiri dapat segera dikurangi sebagian melalui manajemen kebakaran berbasis bukti yang efektif, yang dibarengi oleh tinjauan ulang terhadap perencanaan desain tata kelola alam dan urban agar lebih tepat sasaran,” ujar Yuming Guo menambahkan. 

Karhutla menjadi salah satu topik penelitian berkelanjutan oleh para akademisi Monash University di seluruh dunia, tidak terkecuali pada Monash University, Indonesia, dimana sebagian besar fokus menanggapi kekhawatiran terhadap dampaknya ke berbagai sektor di kehidupan masyarakat. Berbagai penelitian terkait juga bertujuan untuk mengukur dan mengembangkan skala valid pada manajemen kekhawatiran terkait karhutla, termasuk pada kasus-kasus kebakaran lahan yang masih kerap terjadi di Sumatra dan Kalimantan. (dit)

Editor : Ahmadi