Bahayanya Petugas Partai
Banyak yang menganggap sebutan Petugas Partai untuk Presiden itu wajar. Biasanya yang menyatakan ini adalah pendukung PDIP karena sering sekali menyebut Jokowi (Joko Widodo) sebagai Petugas Partai. Padahal ini jelas sangat berpengaruh terhadap independensi Presiden.
Jika seorang Presiden atau Kepala Negara disebut sebagai “kader” partai, itu tak ada masalah. Di saat ada di dalam internal partai, dia seorang kader partai. Namun ketika dia kembali ke posisinya sebagai Presiden, dia kembali sebagai pribadi merdeka yang mempunyai pemikirian sendiri.
Baca Juga: Sah ! PDIP Umumkan Gus Yani dan dr Alif Jadi Calon Bupati dan Wakil Bupati Gresik
Itu tak ubahnya seperti pernyataan bahwa Presiden itu anggota Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah. Boleh saja Ketua NU atau Muhammadiyah mengklaim Presiden sebagai anggota atau kadernya. Tapi kalau menyebut sebagai Petugas NU atau Petugas Muhammadiyah, jelas itu tidak pantas.
Status Petugas Partai yang disematkan seorang Ketua Umum parpol kepada seorang Kepala Negara adalah sebuah bentuk arogansi yang menempatkan Kepala Negara di bawah kendali partai, khususnya di bawah Sang Ketum (Ketua Umum).
Dari manapun asal muasal Sang Presiden, sudah selayaknya menanggalkan baju identitasnya. Baik itu parpolnya, ormasnya, sukunya, agamanya, semua harus ditanggalkan. Tak ada lagi yang bisa mengaturnya karena PRIBADI-nya telah dipilih oleh rakyat.
Dan faktanya, hanya PDIP yang menyatakan kadernya sebagai petugas partai ketika dicalonkan sebagai capres/cawapres. Jelas itu sebuah arogansi. Jokowi disebut petugas partai, Ganjar pun yang sekarang maju capres dari PDIP juga disebut petugas partai.
Bagaimana dengan Prabowo atau Muhaimin yang seorang Ketum Parpol? Sama saja, mereka WAJIB menanggalkan peran Ketumnya ketika mereka terpilih sebagai capres/cawapres. Posisi sebagai Kepala Negara harus jauh lebih di atas posisinya sebagai Ketum Parpol.
Baca Juga: Daftar Nama 21 Tersangka Suap Dana Hibah Pokmas APBD Provinsi Jawa Timur
Tapi yang jelas, andai Prabowo atau Muhaimin terpilih, jabatan mereka sebagai Presiden atau Wakil Presiden akan dibatasi 2 periode. Sedangkan Petugas Partai yang “dikendalikan” oleh Megawati, jabatannya Sang Ketum tidak dibatasi Undang Undang. Akan sangat bahaya jika negara ini terus dikendalikan seseorang tanpa ada batasan masa jabatan.
Megawati mempengaruhi Presiden Jokowi selama 10 tahun terakhir? Itu jelas. Nggak usah naif bilang Megawati tak ikut campur dalam keputusan Jokowi. Sedikit banyak pasti Jokowi harus “mendengarkan” apa kata Megawati. Namanya saja “petugas”.
Itulah yang menurut saya akan jadi masalah jika Ganjar terpilih menjadi Presiden. Saya tak yakin Ganjar bisa meredeka 100% dari kendali Megawati. Dan akan banyak yang membela Megawati dengan kata-kata: “Apa salahnya Megawati mengendalikan presiden, kan dia yang mengusung menjadi capres?”
Baca Juga: 4 Pimpinan DPRD Jawa Timur Jadi Tersangka Dugaan Suap Dana Hibah
Selama memang Megawati menunjukkan kekuasaannya dengan menyatakan bahwa presiden adalah petugas partai-nya, maka itu akan menjadi alasan yang cukup kuat bagi kita untuk tidak memilih PDIP.
Presiden tak sepatutnya disebut Petugas Partai. Presiden adalah pribadi merdeka yang terpilih dan dipercaya rakyat untuk memimpin negara ini. Tak ada yang boleh mengaku lebih berkuasa dari seorang Presiden di negara ini. (*)
*) Penulis : Hasyim Muhammad
Editor : Ahmadi