Rawan Manipulasi Nilai Pada Tes Wawancara dan Microteaching Seleksi Dosen Kemendikbudristek 2023

Reporter : -
Rawan Manipulasi Nilai Pada Tes Wawancara dan Microteaching Seleksi Dosen Kemendikbudristek 2023
Seleksi Dosen Kemendikbudristek 2023
advertorial

Tahapan seleksi dosen CPNS Kemendikbudristek tahun 2023 telah memasuki tahap akhir, yaitu menunggu pengumuman kelulusan setelah masa sanggah. Namun, di tengah proses tersebut justru muncul sejumlah indikasi maniplasi. Kebanyakan peserta merasa dieliminasi dalam tes wawancara dan microteaching yang merupakan bagian tes Seleksi Kompetensi Bidang (SKB), dan tanggung jawabnya diserahkan pada masing-masing perguruan tinggi.

Salah satu peserta seleksi, Satrio merasa keberatan terhadap hasil penilaian microteaching yang dijalaninya. Kejanggalan ini terjadi karena adanya kesenjangan penilaian antar penguji.

Baca Juga: 24 Dosen Universitas Wijaya Putra Raih Dana Hibah Penelitian dan Pengabdian dari Kemdikbudristek

"Kedua penguji adalah dosen saya sewaktu menempuh studi sarjana. Total nilai microteaching saya 15,5. Saya diberitahu bahwa satu penguji memberikan nilai saya 19. Dan penguji lainnya memberikan nilai di bawah ambang batas atau kurang, karena beliau beranggapan saya tidak menjawab pertanyaanya dengan benar," terang Satrio dalam diskusi virtual Forum Komunikasi Peserta CPNS Kemendikbudristek 2023 pada Sabtu petang (20/1/2024).

Satrio menambahkan bahwa dirinya telah menjawab dengan baik pertanyaan tersebut dan menyelesaikan tes microteaching sampai akhir.

"Saya merasa ada kesenjangan penilaian. Salah satu penguji berpandangan bahwa penampilan dan jawaban saya baik-baik saja. Disparitas nilai antar penguji membuat saya bertanya-tanya apa motivasinya?” ungkap lulusan Sarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ) tersebut.

Satrio menjelaskan bahwa pemilihan materi atau mata kuliah dalam microteaching berdasarkan pada kompetensi yang dia miliki.

"Saya mengambil mata kuliah Pengantar Ilmu Sejarah karena pada masa studi sarjana mendapatkan nilai sangat memuaskan di mata kuliah tersebut. Nilai yang sama juga didapatkan pada mata kuliah yang beririsan yaitu Metodologi Sejarah saat studi master," terang Satrio.

Dia juga menjelaskan bahwa kompetensinya ini juga telah ditunjukkan dalam berbagai pengalaman yang diakui melalui sertifikat dari berbagai instansi baik di dalam maupun di luar negeri. 

Di tahun 2021, Satrio diakui sebagai Overseas Researcher untuk National University of Singapore (NUS) oleh Associate Professor Masuda Hajimu. Di tahun yang sama, Lembaga Sertifikat Profesi Kebudayaan Kemendikbud mengakui bahwa Satrio berkompeten dalam bidang sejarah.

Selain itu, dia juga dipercaya melakukan penelitian dan penulisan untuk berbagai instansi seperi Pusat Sejarah Kepolisian Negera Republik Indonesia, Kemendikbud dan lainnya.  

Atas dasar itu, dia kemudian melakukan sanggah atas perolehan nilai 15,5 pada saat microteaching.

Sebelumnya, dari tiga peserta di formasinya, Satrio menduduki peringkat kedua dalam perolehan nilai SKD CAT, begitupun dengan tes wawancara dan SKB CAT dirinya selalu menduduki peringkat kedua dari jumlah kebutuhan dua formasi pada perolehan seluruh tes kecuali microteaching. Satrio juga menambahkan disparitas nilai terjadi juga pada perolehan antar nilai.

“Saya menjalani sanggah baik melalui akun SSCASN dan bersurat bukan ingin diluluskan. Tapi berharap transparansi, keadilan, dan objektifitas dalam pelaksanaan pengadaan PNS ini berjalan sebagaimana amanat Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang saya tulis dalam surat sanggah,” ujar Satrio yang melamar dosen di kampus almamaternya itu.

Baca Juga: Siswa SMAN 8 Surabaya Harumkan Jawa Timur di Kancah Nasional

Salah satu peserta lainnya, Vina, bahkan sudah melaporkan dugaan upaya manipulasi nilai dalam tes non-komputer ke Ombudsman RI.

Ia mengaku, mendapatkan nilai di bawah ambang batas dalam microteaching. Vina bercerita saat mempermasalahkan hal itu kepada penguji, dirinya tidak diberikan ruang untuk menyanggah ataupun menyampaikan kritik. Padahal Vina merasa penilaian penguji terasa subjektif dan membutuhkan penjelasan.

Meski telah melakukan pelaporan ke Ombudsman RI, Vina hanya mendapatkan penjelasan bahwasannya pihak kampus memang tidak diharuskan memberikan penjelasan kepada peserta.

Saat itu dirinya, menyanggah bahwa laporan yang masuk bukan hanya darinya, namun ada juga dari peserta lainnya. Tapi lagi-lagi, Ombudsman RI kembali menegaskan bahwa indikator penilaian sepenuhnya merupakan hak kampus. 

"Sudah ada laporan dari beberapa orang tentang kampus yang saya tuju. Kembali lagi itu mereka (Ombudsman RI) tidak menjelaskan indikator apa. Nilai yang diberikan itu hak dari mereka (perguruan tinggi)," ujar Vina.

Peserta lainnya, Yuni, juga merasa terdapat indikasi manipulasi dalam proses tes praktik mengajar di perguruan tinggi. Padahal dirinya sudah memperoleh sertifikasi dosen, sehingga, ia berpendapat seharusnya jika hal itu sudah didapatkan secara otomatis nilai SKB langsung 100 serupa dengan sistem seleksi formasi guru.

Baca Juga: Dosen FEB Universitas Wijaya Putra Menciptakan Alat Opak Jepit yang Mampu Meningkatkan Kapasitas Produksi 2 Kali Lipat

"Sertifikat dosen itu supaya jadi nilai plus. Itu kita tidak gampang dapatnya. Jadi itu kalau saran saya sebagaimana guru pada formasi guru, kalau sudah ada sertifikasi itu SKB-nya langsung 100," ucap Yuni. 

Adanya indikasi kecurangan ini juga direspon peserta seleksi dosen CPNS Kemendikbudristek 2023 dengan membuat petisi. Petisi tersebut ditujukan untuk mengkritik pelaksanaan tes SKB non-CAT yang menggugurkan peserta potensial.

Dalam salah satu pernyataan di petisi itu, pelaksanaan seleksi tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, dimana setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PNS dengan penilaian secara objektif. Hingga berita ini ditulis, petisi tersebut sudah diisi oleh 1422 orang. 

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim, menyebut informasi tentang indikasi kecurangan dalam seleksi CPNS (dosen) memang kurang diangkat oleh media.

Sasmito menyebut proses seleksi yang menggunakan dana APBN seharusnya bisa menjadi perhatian dari kawan-kawan media karena menggunakan dana publik. Selain itu, Sasmito mengaku, bahwa memang saat ini belum banyak media berfokus pada isu pendidikan.

"Sistem CPNS yang menggunakan APBN mungkin seharusnya juga menjadi perhatian, sebab ada penggunaan dana publik. Kemudian, terkait kecurangan itu harus dirincikan, seperti pola dan bentuk kecurangannya. Tidak banyak kawan-kawan media yang fokus ke isu pendidikan. Tapi kalau memang bukti-bukti itu bisa dikumpulkan dan diakses ke publik sehingga bisa lebih terbuka ke lapangan, dan dugaan ini harus dilaporkan serta ditanggapi instansi pengawas atau penindakan untuk melakukan investigasi pengumpulan bukti-bukti," tutup Sasmito. (Dry)

Editor : Syaiful Anwar