Fenomena Pantai Plastik Imbas Air Laut Surut

Reporter : -
Fenomena Pantai Plastik Imbas Air Laut Surut
Audit sampah di kawasan pesisir pantai utara Kota Surabaya
advertorial

Bertepatan dengan momen kegiatan Clean Up yang dilakukan oleh Organisasi TCC (Trash Contol Community), tiga orang peneliti sampah plastik Badan Riset Urusan Sungai Nusantara – BRUIN, berkesempatan melakukan audit sampah di kawasan pesisir pantai utara Kota Surabaya. Dengan berbekal karung, beberapa sarung tangan dan alat penjapit sampah peneliti sampah plastik BRUIN mengumpulkan sedikit demi sedikit sampah kemasan yang diambil dari celah batu dan timbunan pasir pantai Kenjeran Surabaya.

Sampah yang terkumpul kemudian dilakukan identifikasi karakteristik sampah nya untuk dibedakan merek, asal produsen, tipe produk, tipe material dan jenis lapisan penyusun plastinya.

Baca Juga: Pemuda Bok Brombong Mengajak Para Pengiat Lingkungan Bersih Sungai

“Fenomena surutnya pesisir pantai utara Surabaya menjadi hal menarik bagi kami. Fenomena surutnya air laut juga memunculkan fenomena sampah kemasan makanan, minuman dan sabun berserakan di celah batu dan terkubur pasir di pantai. Kemudian kami mengumpulkan beberapa karung sampah sachet dan botol minuman produsen lokal dan multinasional seperti Wings, Indofood, Unilever, Santos Jaya Abadi dan Mayora. Kemudian kami lakukan identifikasi karakteristik sampahnya dengan menggunakan bebrapa metode untuk dapat dilihat sampah produsen mana yang paling banyak mencemari kawasan pesisir utara Surabaya,” ujar Dhito Maulana, Peneliti Plastik BRUIN.

Alumni Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura yang juga sedang fokus mengkaji kondisi Kualitas Air Muara Kali Surabaya itu menambahkan, “Fenomena sampah plastik di dasar dan celah – celah batu kawasan pesisir utara Surabaya, memberikan fakta bahwasannya sampah plastik yang dibuang sembarangan akan bocor ke lingkungan dan kemudian berakhir ke lautan. Dalam berjalannya waktu, sampah – sampah tersebut akan penyebab rusaknya eksosistem dan biota laut selat madura dan sekitarnya ”.

 “Selama 4 tahun berkuliah di Madura, saya familiar dengan nelayan yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut di Selat Madura dan pesisir pantai utara Surabaya. Jika polusi plastik terus mencemari kawasan laut, tidak dipungkiri bahwa selain merusak estetika kawasan wisata pantai, hasil tangkapan nelayan yang selama ini menjadi konsumsi masyarakat juga berpotensi terkontaminasi mikroplastik dan senyawa kimia berbahaya. Jika dibiarkan hal tersebut akan berbahaya bagi kesehatan,” ujar Reza Mudawam, Peneliti Mangrove dan Biota Air Hilir Bengawan Solo.

Dikutip dari Jurnal Ilmiah Program Magister Kesmas Universitas Airlangga, Ayu Aulia menjelaskan, bahwa sampah plastik di lautan yang kemudian berpotensi menjadi mikroplastik lewat degradasi alam memberikan beberapa dampak negatif diantaranya :

- Kontaminasi mikroplastik pada biota laut, air laut, sedimen dan lingkungan pesisir, dan hal ini juga berpotensi mengkontaminasi manusia lewat rantai makanan;

- Gangguan fisiologis, pada biota laut dan menganggu reproduksi dan pertumbuhan biota laut;

- Kematian dan cedera pada satwa laut, Berdasarkan riset sekitar 1 juta burung laut, 100.000 mamalian laut dan jutaan ikan mati nakibat sampah plastik;

- Gangguan Fotosintesis, plastik yang mengapung dipermukaan laut menghalangi sinar matahari masuk ke dalam air yang akhirnya menganggu fotosintesis tanaman air dan alga yang penting untuk ekosistem laut;

Pertanggung jawaban perusahaan untuk mengelola sampah kemasan yang sulit terurai oleh alam diatur dalam Undang Undang (UU) nomor 18 tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah yang kemudian dijelaskan secara rinci lewat aturan turunan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 75 Tahun 2019 Tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah Oleh Produsen.

“Fakta temuan dalam riset sensus plastik selama 3 jam lebih di kawasan pesisir utara Surabaya membeberkan fakta dimana Permen LHK nomor 75 tahun 2019 tidak menjadi perhatian para Produsen. Dari beberapa sampah plastik yang kami kumpulkan, tidak sedikit kemasan sachet produk baru tercecer di kawasan pantai. Temuan tersebut menjadi bukti bahwa sachet akan masif diproduksi tanpa adanya upaya meredesain kemasan yang lebih ramah lingkungan sesuai amanat dalam permen LH. Tahun 2029, target 30 % pengurangan plastik akan mustahil dicapai jika produsen tidak segera merubah desain kemasannya menjadi ramah lingkungan dan juga segera merubah rantai pasok distribusinya lewat sistem guna ulang/refill,” imbuh Muhammad Kholid Basyaiban, Legal dan Koordinator Sensus Sampah Plastik BRUIN.

Beberapa fakta temuan sensus sampah plastik di kawasan pesisir utara Surabaya diantarannya :

Identifikasi 510 pieces sampah plastik untuk tentukan 10 polluter kawasan Pesisir utara Surabaya :

Baca Juga: Pemuda Bok Brombong Mengajak Para Pengiat Lingkungan Bersih Sungai

Selain kemasan produk baru, Tim Sensus Sampah Plastik BRUIN juga menemukan sampah sachet yang diproduksi antara tahun 90 – an. Hal tersebut membuktikan bahwasannya membutuhka  waktu jutaan tahun untuk dapat mengurai plastik kemasan tersebut.

Terdapat beberapa timbulan sampah liar di Kawasan pesisir utara kota Surabaya khusunya di wilayah bibir pantai kenjeran, selain timbulan sampah liar aktifitas membakar sampah juga masif terjadi dikawasan tersebut.

Kawasan padat penduduk pesisir utara kota Surabaya belum mendapat akses pembuangan sampah yang memadai. Minim fasilitas pembuangan sampah di kawasan wisata kenjeran dan pemukiman padat penduduk menjadi problem Pemkot Surabaya.

Bahaya Mikroplastik Bagi Kehidupan serta Point Penting Penanganan Plastik dalam konteks Sustainable Development Goals (SDGs) 

Dalam bukunya berjudul Jejak Mikroplastik, Rafika Aprilianti selaku Kepala Lab ECOTON membeberkan bahaya mikroplastik bagi kesehatan manusia dan lingkungan sudah seharusnya menjadi isu utama yang diselesaikan oleh negara.

Rafika berpendapat bahwa, “Sudah banyak penelitian dari ilmuan berbagai negara termasuk skala nasional menjelaskan bahwa mikroplastik sudah ditemukan dalam janin, dan organ tubuh manusia. Selain itu jika melihat rekam jejak penelitian mikrolastik di Indonesia, baik dikutip dalam jurnal kami ‘Environmental Pollution Journal ECOTON’ dan beberapa jurnal kampus di Indonesia, menyebutkan bahwa mikroplastik banyak ditemukan dalam biota air, udara, tanah dan air sungai. Segelintir masalah tentang mikroplastik harus segera diputus benang merahnya, karena jika dibiarkan ancaman kanker dan penyakit kronis akan mengancam kesehatan masyarakat”.

Baca Juga: Pemuda Bok Brombong Mengajak Para Pengiat Lingkungan Bersih Sungai

Penanganan isu polusi plastik sangat penting dalam konteks Suistainable Development Goals (SDGs), karena plastik membawa dampak merugikan yang luas dan mendalam terhadap lingkungan dan kesejahteraan manusia. Beberapa alasan mengapa isu polusi plastik menjadi isu prioritas dalam SDGs yaitu :

Perlindungan Eksositem Laut : plastik dapat merusak habitat laut, membunuh satwa laut dan menganggu rantai makanan yang penring bagi ekosistem.

Kesehatan manusia : polusi plastik dapat mencemari makanan manusia, menyebabkan masalah Kesehatan seperti kanker, gangguan endoktrin, dan gangguan pencernaan.

Pengurangan Sampah : menggurangi konsumsi plastik sekali pakai (PSP) dan menggantinya dengan produk guna ulang menjadi sangat penting agar capaian SDGs dapat maksimal.

Kebijakan dan Kerangka Hukum : perlu menciptakan dan kebijakan dalam isu penanganan polusi plastik. Memperketat penegakan hukum bagi produsen lalai terhadap upaya EPRnya, kebijakan pembatasan PSP di setiap daerah di Indonesia, dan Penerbitan bakumutu mikroplastik di Indonesia harapannya dapat terlaksana, sebagaimana hal tersebut dapat mempercepat tujuan penangana isu polusi plastik dalam SDGs.

Dalam kegiatan yang dilaksanakan Dosen Antropologi Universitas Airlangga, Ibu Lintang Nirmala menambahkan bahwa konservasi dan kampanye lingkungan, perlu peran maksimal pada anak muda gen Z. Gen Z punya potensi yang besar buat menginfluens lewat kampanye dan aksi – aksi kekinian dengan harapan semua masyarakat dapat meniru dan sadar bahwa isu polusi plastik harus segera dihentikan demi keberlangsungan alam. (*)

Editor : Bambang Harianto