Tajuk

Ustadz Harus Punya Pekerjaan di Luar Mengajar?

Reporter : -
Ustadz Harus Punya Pekerjaan di Luar Mengajar?
Ustad Muhammad Abduh Negara

Ada sekian orang yang menarasikan bahwa seorang ustadz atau thalib, harus punya pekerjaan di luar belajar mengajar, dan di luar dunia kajian ilmu syar'i, dan menyebutkan contoh para ulama dulu yang mencari uang dengan berdagang, menjual jasa, berkebun, dan lain-lain. Kemudian menarasikan, seakan yang hanya punya penghasilan dari dunia keilmuan ilmu syar'i itu suatu aib.

Tentang hal ini, ada beberapa poin yang ingin saya sampaikan:

Baca Juga: Mengenal Mbah Salamun, Santri Generasi Pertama Kiai Bisri Syansuri

1. Seandainya ada yang mampu di zaman sekarang, memadukan ketekunan dalam ilmu agama, baik ta'lim, ta'allum, muraja'ah, bahts, dan lain-lain, dengan kesibukan mencari uang di luar dunia keilmuan tersebut, maka ini sangat baik. Mengingat memang ada sebagian ulama salaf yang mengharamkan mendapatkan uang dari mengajarkan ilmu syar'i, dari menjual kitab ilmu syar'i dan semisalnya.

Namun kebanyakan orang, akan kesulitan melakukan hal ini, karena situasi dan kondisi yang sudah jauh berubah di zaman sekarang. Dulu kerja serabutan, hari ini kerja ini, besok kerja itu, merupakan hal yang biasa. Sekarang? Sulit sekali. Belum lagi kesiapan mendengar omongan nyinyir dari tetangga, mertua, keluarga besar, dan seterusnya.

Kalau kerja dengan jam kerja reguler? Atau menjadi pengusaha? Ini jelas perlu waktu yang tidak sedikit. Masih yakin, sanggup memenuhi hak ilmu dengan kesibukan mencari uang seperti ini? Kalau tinggal menjalankan usaha keluarga yang sudah mapan, dan hanya bertindak sebagai pengawas atau komisaris sih, tidak terlalu repot.

2. Mendapatkan upah atau bayaran dari mengajarkan ilmu syar'i, menurut ulama mutaakhkhirin secara umum hukumnya boleh, dengan perincian tertentu. Apalagi jika ada hajat untuk itu. Dan jelas, salah satu hajat terpenting adalah, kebutuhan para ustadz dan thalib ini untuk memenuhi hak ilmu, dengan terus mempelajari dan mengajarkannya.

Kita tentu tidak ingin kan, ada ustadz yang mengajarkan rukun wudhu itu hanya ada dua, karena tidak sempat murajaah lagi bab fiqih thaharah dasar? Berapa orang jamaah yang akan "tersesat" dalam bab fiqih wudhu, karena mengikuti penjelasan ustadz tersebut.

3. Saya tetap membedakan ceramah panggilan yang sifatnya sekadar taushiyah dan semisalnya, dengan pengajaran ilmu syar'i secara runtut dan sistematis. Seharusnya, penghargaan lebih diberikan pada yang kedua, bukan yang pertama, karena manfaat yang kedua jauh lebih banyak dari yang pertama. Beda halnya, kalau taushiyahnya disertai pendampingan rutin ke jamaah, seperti yang dilakukan sebagian kalangan. Namun kalau sekadar ceramah, setelah itu hilang, ya manfaatnya kecil sekali, meski mungkin saat ceramah, jamaah yang hadir membludak.

Baca Juga: Sinergi Ulama dan Polisi Jaga Keamanan Dapat Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi

Pengajaran ilmu syar'i secara runtut dan sistematis ini, baik di masjid, majelis taklim, pesantren, dan lain-lain, sebaiknya diberi bayaran dengan akad yang jelas, dan nominal yang cukup untuk kehidupan sang ustadz dan keluarganya. Jangan sampai si ustadz tidak sempat murajaah dan menyampaikan materi asal-asalan, karena waktunya banyak tersita menjadi ojek online, dan semisalnya.

4. Umat sangat membutuhkan para guru agama yang mumpuni ilmunya, dan bisa mengajari mereka agama secara benar. Nah untuk mewujudkan hal ini, perlu ta'awun.

Ta'awunnya dalam bentuk, sang guru agama, benar-benar serius dalam penyampaian ilmu, dan umat memberikan kecukupan untuk kehidupan sang ustadz dan keluarganya, agar keseriusan dalam penyampaian ilmu itu bisa terwujud.

5. Tulisan ini untuk yang benar-benar mau fokus dalam dunia keilmuan, dan dimudahkan jalannya oleh Allah ta'ala ke arah itu. Usahakan mencari sumber penghidupan yang tetap ada hubungannya dengan dunia keilmuan dan mendukung peningkatan penguasaan kita terhadap ilmu syar'i.

Baca Juga: Jalur Santri Salah Satu Program Prioritas di Rekrutmen Polri

Tidak perlu memperhatikan nyinyiran orang, yang inginnya begitu ideal, tapi tidak mampu berempati pada kondisi orang lain.

Mungkin orang yang nyinyir itu ingin, seorang ustadz itu harus update terus ilmunya, bisa menyampaikan materi apa saja, baik aqidah, fiqih, tafsir, Hadits, dll, dengan baik, dan mampu menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Namun sekaligus, dia meminta sang ustadz berbagi ilmu secara gratis, bahkan mengajar di pondok dan masjid tiap hari, jangan berharap gaji. Penghasilan cari dengan cara menjadi programmer, atau bikin start up bisnis, atau buka usaha kuliner, atau jadi kuli bangunan saja.

Dia lupa, sang ustadz juga manusia biasa, yang waktunya tiap hari sama-sama hanya 24 jam, sama seperti yang lain. Dan sang ustadz juga sama-sama hidup di abad 21, yang keberkahan waktu semakin sulit dicari. Sedangkan kebutuhan hidup semakin banyak. (*)

*) Penulis : Ustad Muhammad Abduh Negara

Editor : Zainuddin Qodir