Opini
Kedaruratan Sampah dan Narasi Keberlimpahan
Kalau dari perspektif Ilmu Ekonomi, sampah dilihat sebagai eksternalitas negatif. Disebut eksternalitas karena yang terkena dampak sampah bisa jadi orang yang tidak menikmati isi kemasan yang jadi sampah tadi. Cara mengatasinya adalah dengan menginternalisasi eksternalitas negatif tersebut, salah satunya disebut Pigouvian tax yang dipaparkan sejak tahun 1920 (lihat: taxfoundation.org/taxedu/glossar…).
Mengapa perlu internalisasi eksternalitas? Nah di sini letak perubahan mindset-nya, yaitu kita mengakui kelangkaan sumberdaya. Kalau sampah tidak dianggap sebagai eksternalitas, maka polanya ya seperti yang terjadi saat ini, sampah hanya dipindahkan, tapi tidak diolah.
Baca Juga: Forum Kali Brantas Minta Bupati Kediri Terbitkan Perbup Pembatasan Penggunaan Plastik Sekali Pakai
Mengapa tidak ada yg mau mengolah sampah? Lha biaya memindah sampah jauh lebih murah daripada mengolah sampah. Lha bukankah ini menyebabkan TPA Piyungan penuh dan mencari lahan baru ternyata sulit? Lho itu kan baru kejadian sekarang, kita baru menyadari bahwa lahan itu LANGKA. Artinya selama ini, sejak kita merdeka sampai sebelum kedaruratan sampah terjadi, kita punya mindset yang keliru: lahan itu melimpah.
Ternyata kita baru terbangun dari kesalahan mindset tadi bahwa faktanya lahan itu LANGKA.
Narasi “keberlimpahan” ini terjadi di Indonesia, anehnya di negara lain, apalagi di negara maju, mereka faham sumberdaya itu langka. Mengapa di Jepang sampah rumah tangga dipilah 4 kantung?
Baca Juga: Laut Bukan Tempat Sampah Raksasa
Mengapa di Singapura dan negara-negara OECD rumah tangga juga harus memilah sampah?
Ya karena mereka sadar "Nguwuh Niku Awis" (sampah itu mahal). Mindset ini didasarkan pada pemahaman sumberdaya itu LANGKA.
Baca Juga: Brantas Community Menggelar Aksi Action Day untuk Pulihkan Kualitas Air Sungai Brantas
Sekarang semua kembali ke kita. Apakah kita tetap menganggap sumberdaya itu berkelimpahan? Ataukah kita 1M:MAU mengubah mindset bahwa sumberdaya itu LANGKA dan "Nguwuh Niku Awis"?
*) Penulis : Rimawan Pradiptyo (Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Gajah Mada)
Editor : Syaiful Anwar