Opini

Berdiri di Tengah Badai Global

Reporter : -
Berdiri di Tengah Badai Global
Heppy Trenggono

Ketika negara-negara besar di dunia semakin agresif melindungi ekonominya lewat proteksionisme dan kebijakan antidumping, Indonesia belum beranjak dan masih membuka diri terlalu lebar, hingga pasar dalam negeri dikuasai produk impor.

Hari ini Amerika Serikat terang-terangan bicara tentang proteksionisme dengan menetapkan tarif hingga 100% demi melindungi industri dan pasar dalam negeri. Uni Eropa, India, dan Kanada membangun benteng ekonominya dengan berbagai regulasi antidumping dan kampanye nasionalisme ekonomi. Di Jepang, masyarakat secara sukarela menolak membeli produk asing sebagai bentuk loyalitas ekonomi nasional.

Baca Juga: Ketika Danantara Diawasi oleh Penjahat

Bagaimana dengan Indonesia?

Keterbukaan yang terlalu lebar, membuat kita harus menyaksikan kejatuhan demi kejatuhan di sektor industri strategis pada hari ini. Lebih dari 60 perusahaan tekstil tutup, 14.000 tenaga kerja kehilangan pekerjaan, pabrik baja nasional gulung tikar karena kalah bersaing dengan baja murah dari luar. Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) pun megap-megap, omzet turun hingga 60%, pasar diserbu produk impor bahkan pakaian bekas ilegal yang melenggang bebas di pasar.

Inilah ironi besar negeri yang memiliki lebih dari 280 juta penduduk—pasar domestik terbesar keempat di dunia—namun belum menyadari bagaimana memanfaatkan kekuatannya sendiri.

Kehidupan ekonomi masih banyak bergantung pada kekuatan luar. Absennya pembangunan karakter bangsa membuat masyarakat terbiasa tidak peduli apakah yang dibeli produk anak bangsa atau produk asing. Bahkan, juga tidak peduli kalaupun produk asing itu payah dalam kualitas, atau berasal dari praktik curang seperti undervaluation atau dumping yang meruntuhkan pelaku ekonomi dalam negeri.

Masih ingatkah bagaimana sekaliber Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Merpati memborong pesawat MA 60 dari China? Yang akhirnya jatuh satu per satu. Padahal tahu kita memiliki Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang mampu membuat pesawat jauh lebih hebat dari China. Kasus pesawat ini menceritakan bagaimana tidak pedulinya bangsa ini, sekaligus menunjukkan begitu susahnya produk anak bangsa hidup di negeri sendiri.

Dunia politik yang dipenuhi gimmick, menjadikan produk nasional hanya sebagai konten. Kasus mobil nadional misalnya, begitu hingar bingar di awal namun ternyata nol dalam praktek. Menunjukkan bahwa pembelaan terhadap produk anak bangsa belum menjadi kesadaran dalam pembangunan ekonomi nasional.

Gerakan Beli Indonesia, Menyalakan Kembali Nasionalisme Ekonomi

Sejak tahun 2011, Gerakan Beli Indonesia hadir sebagai respons terhadap persoalan tersebut. Sebuah gerakan moral dan ekonomi, yang mengajak rakyat Indonesia untuk membeli produk anak bangsa, untuk membela bangsa sendiri.

Baca Juga: Figur Kuat Dalam Tumpang Tindih Lahan Technopark

Dalam senyap, gerakan ini dijalankan di berbagai organisasi masyarakat (ormas), berbagai komunitas, kampus, pesantren, bahkan di beberapa Pemerintahan Daerah. Banyak diantaranya membuahkan hasil yang terukur.

Di Kabupaten Kulon Progo, misalnya, implementasi Gerakan Beli dan Bela Kulon Progo terbukti mampu menurunkan angka kemiskinan hingga 6,25% dalam satu tahun.

Saatnya Presiden Memimpin, Rakyat Menggerakkan

Gerakan Beli Indonesia bukan sekadar kampanye belanja. Ia adalah sebuah gerakan kebangsaan, gerakan pembangunan karakter bangsa. Dengan membangkitkan nasionalisme, menghidupkan rasa bangga dan percaya diri sebagai sebuah bangsa yang bermartabat. Gerakan dengan pesan "Jualan kemana saja, beli kepada bangsa sendiri".

Gerakan Beli Indonesia perlu dilakukan sebagai salah satu strategi nasional untuk menavigasi arah pembangunan. Dengan Presiden sebagai pemimpin moral, dan seluruh elemen bangsa sebagai penggeraknya, kita akan membangun benteng ekonomi dari dalam.

Baca Juga: Bagi Saham BUMN ke Rakyat

Gerakan Beli Indonesia dilakukan sebagai bentuk kesadaran pentingnya membangun karakter bangsa, membangkitkan kecintaan terhadap tanah air, menumbuhkan semangat voluntarisme dan keikhlasan, melalu keteladanan dan kesungguhan para pemimpinnya.

Jika Buy American, Buy British, Swadeshi bisa mengubah arah sejarah Amerika, Inggris dan India, maka Gerakan Beli Indonesia pun bisa menjadi tonggak kemandirian ekonomi Indonesia.

Dalam dunia yang kian tak ramah, dengan ekonomi global yang tak pasti, kita harus berani berdiri di atas kaki sendiri—dengan mengkonsolidasikan kekuatan konsumsi nasional.

Sebagai sebuah bangsa dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, dengan populasi terbesar ke empat di dunia, Kita harus mampu memilih jalan sendiri—jalan menuju cita cita menjadi sebuah bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. (*)

*) Penulis : Dr (HC) Heppy Trenggono, M.Kom.

Editor : Syaiful Anwar