Esai
Ketika Danantara Diawasi oleh Penjahat

Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), sovereign wealth fund Indonesia yang resmi diluncurkan pada Februari 2025 lalu, hadir dengan janji megah untuk mengubah wajah ekonomi bangsa. Mengelola aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bernilai lebih dari $ 900 miliar, Danantara menargetkan ambisi besar berupa pertumbuhan ekonomi sebesar 8% pada tahun 2029.
Nah untuk mewujudkan visi tersebut, lembaga ini tidak main-main dalam menggaet tokoh-tokoh internasional ternama sebagai pengawas dan penasihat, mulai dari mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, eks pemimpin Thailand Thaksin Shinawatra, ekonom Jeffrey Sachs, hingga investor kelas dunia seperti Helman Sitohang dan Ray Dalio.
Baca Juga: Daftar Direksi dan Pengelola Danantara
Nama-nama di atas, pada pandangan pertama, seolah menjadi jaminan kredibilitas dan kepercayaan global terhadap masa depan Danantara. Namun, kilau gemerlap ambisi tersebut mulai memudar ketika sorotan beralih pada bayang-bayang kelam yang mengiringi para figur tersebut.
Di balik reputasi internasional mereka, tersimpan catatan kontroversial yang sulit diabaikan seperti dugaan keterlibatan dalam kejahatan kemanusiaan, skandal korupsi yang mengguncang negara, kebijakan ekonomi yang gagal, hingga tuduhan manipulasi finansial yang merugikan banyak pihak.
Ketika sebuah lembaga yang digadang-gadang sebagai benteng kesejahteraan rakyat, justru berada di bawah pengawasan tokoh-tokoh dengan rekam jejak penuh tanda tanya, muncul keraguan yang menggelitik sekaligus mengkhawatirkan.
Apakah Danantara, yang seharusnya menjadi harapan baru bagi Indonesia, malah berpotensi menjadi panggung bagi "penjahat" global untuk memperluas jaringan pengaruh mereka? Pertanyaan tadi bukan sekadar retorika, melainkan panggilan untuk menelisik lebih dalam, sebelum janji manis berubah menjadi ilusi yang mahal harganya.
Tony Blair dan Bayang-Bayang Irak
Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris yang terkenal dengan kharisma dan kepemimpinannya, kini duduk sebagai anggota Dewan Pengawas Danantara, sovereign wealth fund Indonesia. Ia dikenal luas sebagai pendiri Tony Blair Institute dan pernah memimpin Inggris selama satu dekade.
Namun, di balik prestasinya, ada noda besar yang sulit dilupakan dari ingatan dunia, yaitu tentang perannya sebagai kunci dalam invasi Irak pada tahun 2003.
Laporan Chilcot, yang dirilis pada 2016, menunjukkan bahwa Blair meyakinkan publik dan sekutunya tentang adanya senjata pemusnah massal di Irak, padahal bukti intelijen yang dimilikinya rapuh dan tidak solid. Keputusan itu memicu perang yang merenggut ratusan ribu nyawa, menghancurkan stabilitas Irak, dan meninggalkan luka panjang hingga hari ini.
Meski tidak pernah diadili sebagai penjahat perang, banyak orang, terutama mereka yang menjadi korban konflik, menilai bahwa Blair bertanggung jawab atas penderitaan besar yang sebenarnya bisa dihindari. Kehadiran Blair di Danantara pun langsung menuai kritik keras, banyak yang bertanya-tanya tentang bagaimana seseorang yang pernah mengambil keputusan kontroversial hingga mengorbankan stabilitas sebuah negara, bisa dipercaya untuk mengawasi aset strategis Indonesia yang bernilai ratusan miliar dolar?
Danantara, yang dibentuk untuk mengelola kekayaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) demi kesejahteraan rakyat Indonesia, seharusnya menjadi simbol harapan. Namun, keterlibatan Blair justru menimbulkan kekhawatiran moral. Pengalamannya di panggung internasional memang bisa menjadi aset untuk diplomasi atau jaringan global, tapi rekam jejaknya menunjukkan bahwa ia kurang peka terhadap dampak sosial dari keputusan besar yang akan diambil.
Bagi Indonesia, negara dengan budaya yang beragam dan tantangan ekonomi yang rumit, kepekaan semacam itu sangat penting. Jika salah langkah, keputusan di Danantara bisa berdampak buruk bagi jutaan rakyat, dan itulah yang membuat kehadiran Blair terasa seperti pertaruhan yang berisiko tinggi.
Thaksin Shinawatra dan Korupsi
Thaksin Shinawatra, yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Thailand, resmi menjadi anggota Dewan Penasihat Danantara pada Maret 2025. Nama Thaksin sendiri tidak asing dengan kontroversi, karena banyak yang menyebutnya sebagai sosok yang sulit dibela, baik dari sisi hukum maupun moral, karena jejak masa lalunya yang penuh dengan skandal.
Kisahnya dimulai ketika ia digulingkan dari kekuasaan melalui kudeta militer pada 2006, salah satu tuduhan besar yang menjeratnya adalah kasus penjualan Shin Corporation, perusahaan milik keluarganya, seharga 73 miliar baht. Penjualan ini diduga bermasalah, ada dugaan penggelapan pajak dan penyalahgunaan jabatan untuk keuntungan pribadi.
Selain itu, kebijakannya yang terkenal, yaitu "perang melawan narkoba" pada 2003-2004, juga menuai kecaman keras. Kebijakan ini menyebabkan lebih dari 2.500 orang tewas, banyak di antaranya akibat eksekusi tanpa pengadilan yang sah. Maka dari itu, dunia internasional menilai tindakan ini sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang serius.
Lalu, mengapa penunjukannya di Danantara terasa janggal? Danantara seharusnya menjadi simbol tata kelola yang bersih dan bertanggung jawab. Namun, dengan menggandeng Thaksin, organisasi ini justru mengundang pertanyaan.
Memang, Thaksin pernah membawa Thailand ke puncak kemajuan ekonomi di awal 2000-an. Tapi, di balik itu, ada cerita gelap tentang korupsi yang menguntungkan dirinya sendiri, dan kekerasan yang merenggut nyawa ribuan orang.
Fakta ini menunjukkan bahwa Thaksin lebih peduli pada kekuasaan dan kepentingan pribadi, daripada kesejahteraan rakyatnya. Bagi Indonesia, yang masih berjuang membersihkan korupsi dari sektor publik, kehadiran Thaksin bisa jadi pertanda buruk.
Bayangkan jika seseorang dengan rekam jejak seperti ini diterima di posisi penting? Bisa jadi itu memberi kesan bahwa integritas tidak lagi dianggap serius. Penunjukan ini bukan sekadar ironi, tetapi juga peringatan bahwa, masa lalu seseorang bisa mencerminkan apa yang akan mereka bawa ke masa depan.
Jeffrey Sachs dan Liberalisasi yang Membawa Bencana
Jeffrey Sachs, seorang ekonom terkenal asal Amerika Serikat, juga menjadi anggota Dewan Penasihat Danantara. Ia dikenal dengan pendekatan "shock therapy", yang pernah diterapkan di negara-negara bekas komunis setelah runtuhnya Uni Soviet. Pendekatan ini ibarat obat keras yang bersifat cepat, drastis, dan penuh risiko.
Hasilnya pun tidak selalu sama, seperti misalnya di Polandia, ide Sachs berhasil membantu ekonomi bangkit. Tapi di Rusia, ceritanya jauh berbeda, yang mana malah berakhir dengan kekacauan.
Pada awal 1990-an, Sachs menjadi penasihat Presiden Rusia saat itu, Boris Yeltsin. Ia mendorong tiga langkah besar seperti membebaskan harga barang dari kontrol pemerintah, menjual aset-aset negara ke pihak swasta (privatisasi), dan menstabilkan ekonomi yang sedang goyah.
Harapannya, kebijakan ini akan membawa Rusia menjadi negara yang modern dengan cepat. Tapi kenyataannya? Harga barang melonjak tak terkendali, kalian bisa bayangkan inflasi di sana saat itu mencapai 2.500% dalam setahun!
Banyak orang kehilangan pekerjaan, kemiskinan merajalela, dan kekayaan negara justru berpindah ke segelintir orang kaya yang dikenal sebagai oligarki. Sachs, berkata bahwa kegagalan ini karena Barat tidak cukup membantu Rusia. Namun banyak kritikus menilai Sachs terlalu gegabah, di mana pendekatannya terlalu ekstrem dan tidak memikirkan kondisi sosial serta politik Rusia yang rumit.
Lalu, apa hubungannya dengan Indonesia? Sachs mempunyai visi tentang liberalisasi ekonomi, termasuk membiarkan harga barang ditentukan oleh pasar bebas. Visi ini bisa menjadi masalah besar di Indonesia. Selama ini, pemerintah melalui perusahaan seperti Pertamina atau PLN mengatur harga barang penting seperti BBM dan listrik, agar tetap terjangkau untuk rakyat.
Bayangkan jika kontrol itu dilepas? harga BBM, listrik, bahkan beras bisa melambung tinggi karena ditentukan oleh perusahaan swasta. Nah yang untung? Bukan rakyat kecil, tapi perusahaan besar atau monopoli swasta. Yang rugi? Tentu masyarakat biasa yang daya belinya tergerus.
Pengalaman Sachs di Rusia menjadi pelajaran berharga, di mana kebijakan yang terlihat cerdas di atas kertas bisa berantakan jika tidak dibarengi dengan pemahaman keadaan lokal. Indonesia punya cara sendiri dalam menjaga stabilitas ekonomi dan melindungi rakyatnya, jika pendekatan Sachs yang radikal dipaksakan di sini, risikonya besar, bukan kemajuan yang didapat, tapi malah kerugian yang menumpuk.
Baca Juga: Daftar Direksi dan Pengelola Danantara
Helman Sitohang dan Pengawasan yang Lemah di Tengah Skandal Finansial
Helman Sitohang, seorang profesional keuangan asal Indonesia, pernah menjabat sebagai CEO Credit Suisse untuk wilayah Asia-Pasifik hingga tahun 2022. Setelah meninggalkan posisi tersebut, ia diangkat menjadi anggota Dewan Penasihat Danantara, sebuah lembaga yang mengelola aset bernilai triliunan rupiah. Meskipun berakar dari Indonesia, Sitohang lebih dikenal sebagai tokoh internasional, karena ia telah lama berkarier di Singapura dan membangun reputasinya di dunia keuangan global. Namun, selama masa kepemimpinannya di Credit Suisse tidak selalu berjalan mulus.
Saat ia memimpin, bank tersebut menghadapi masalah besar, salah satunya adalah kerugian sebesar $ 5,5 miliar yang disebabkan oleh kehancuran Archegos Capital pada tahun 2021. Kejadian ini, mengungkap kelemahan serius dalam pengawasan risiko di Credit Suisse di bawah komando Sitohang.
Selain itu, bank ini juga terlibat dalam skandal lain, seperti kasus pencucian uang dan pelanggaran aturan kepatuhan, yang membuatnya harus membayar denda dengan total $ 2 miliar kepada otoritas global antara tahun 2014 hingga 2022. Walaupun Sitohang tidak secara pribadi dituduh melakukan tindakan kriminal, sebagai pimpinan tertinggi, ia tetap bertanggung jawab atas kegagalan-kegagalan ini.
Hal tadi menimbulkan keraguan tentang kemampuannya untuk mengelola institusi keuangan dengan baik, karena bagi Danantara, yang membutuhkan sosok dengan reputasi kuat dan rekam jejak stabil untuk menjaga kepercayaan publik, pengalaman Sitohang justru bisa menjadi masalah. Di Indonesia, di mana stabilitas ekonomi sangat bergantung pada kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga penting, latar belakang Sitohang yang penuh kontroversi ini berpotensi menjadi beban, bukan keunggulan.
Ray Dalio dan Kapitalisme Tanpa Hati
Ray Dalio, pendiri Bridgewater Associates, hedge fund terbesar di dunia, juga bergabung sebagai anggota Dewan Penasihat di Danantara. Dalio dikenal karena pendekatan investasinya yang sukses dan bukunya Principles, namun ada sisi gelap dalam kariernya.
Manajemennya di Bridgewater dikritik sebagai "kultus" oleh mantan karyawan, dengan budaya kerja yang menekankan pengawasan ekstrem dan tekanan psikologis. Selain itu, investasi Bridgewater di pasar global, termasuk eksposur ke China sering dianggap mendukung rezim yang otoriter secara tidak langsung demi keuntungan finansial.
Dalio mewakili kapitalisme tanpa hati yang bertentangan dengan semangat Danantara untuk mensejahterakan rakyat, pendekatannya yang murni berorientasi pada profit bisa mendorong Danantara mengejar keuntungan jangka pendek, misalnya melalui divestasi aset BUMN strategis, tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang bisa saja terjadi.
Di Indonesia, di mana BUMN seperti Pertamina atau Telkom memiliki peran ganda sebagai penyedia layanan publik dan penopang ekonomi, strategi Dalio berisiko mengorbankan rakyat demi angka di laporan keuangan.
Risiko yang Lebih Besar dari Manfaat
Pemilihan Blair, Thaksin, Sachs, Sitohang, dan Dalio tampaknya didorong oleh keinginan Danantara, di bawah CEO, Rosan Roeslani dan dukungan Presiden Prabowo Subianto, untuk menampilkan "dream team" internasional yang menarik investor global.
Blair membawa reputasi diplomasi, Thaksin pengalaman bisnis Asia, Sachs keahlian ekonomi, Sitohang koneksi keuangan, dan Dalio strategi investasi. Namun, manfaat ini terbayang oleh risiko besar di mana mereka membawa bagasi moral, kompetensi, dan visi yang meragukan.
Blair dan Thaksin terlibat dalam kejahatan HAM dan korupsi, yang mencoreng integritas Danantara. Sachs menawarkan resep ekonomi yang gagal, Sitohang gagal mengawasi stabilitas, dan Dalio memprioritaskan profit di atas kemanusiaan.
Struktur pengawasan asing ini juga memunculkan pertanyaan tentang kedaulatan, “Mengapa Indonesia, dengan talenta lokal yang melimpah, harus bergantung pada figur asing yang bermasalah?”
Baca Juga: Figur Kuat Dalam Tumpang Tindih Lahan Technopark
Keputusan ini mencerminkan prioritas simbolis, legitimasi internasional di atas substansi. Dalam jangka panjang, kehadiran mereka bisa merusak kepercayaan publik terhadap Danantara, terutama jika kebijakan mereka memicu ketimpangan atau krisis seperti di masa lalu.
Kesimpulan
Danantara yang seharusnya menjadi benteng kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, bukan panggung bagi penjahat dan eksperimentator gagal. Tony Blair, dengan darah Irak di tangannya, Thaksin Shinawatra, dengan korupsi dan kekerasannya, Jeffrey Sachs, dengan liberalisasi yang menghancurkan, Helman Sitohang, dengan skandal finansialnya, dan Ray Dalio, dengan kapitalisme dinginnya, adalah pilihan yang salah untuk mengawasi visi besar ini.
Indonesia membutuhkan pengawas yang tidak hanya kompeten, tetapi juga memiliki integritas dan pemahaman mendalam tentang kebutuhan rakyatnya, bukan tokoh asing yang lebih dikenal karena kehancuran yang mereka tinggalkan. Jika Danantara ingin berhasil, ia harus membersihkan kursi pengawasnya dari bayang-bayang penjahat, baik yang nyata maupun yang terselubung dalam kegagalan. (*)
*) Ditulis oleh : Hara Nirankara
Daftar Pustaka:
Chilcot, J. (2016). The Report of the Iraq Inquiry. London: UK Government.
Dalio, R. (2017). Principles: Life and Work. New York: Simon & Schuster.
Human Rights Watch. (2004). "Thailand: Not Enough Graves: The War on Drugs, HIV/AIDS, and Violations of Human Rights."
Phongpaichit, P., & Baker, C. (2009). Thaksin: The Business of Politics in Thailand. Chiang Mai: Silkworm Books.
Sachs, J. D. (2005). The End of Poverty: Economic Possibilities for Our Time. New York: Penguin Books.
Stiglitz, J. E. (2002). Globalization and Its Discontents. New York: W.W. Norton & Company.
The Guardian. (2021). "Credit Suisse Takes $4.7bn Hit from Archegos Collapse."
The New York Times. (1993). "Dr. Jeffrey Sachs, Shock Therapist."
Editor : Zainuddin Qodir