Analisa Kenapa Pemerintah Tidak Tetapkan Bencana Nasional di Aceh dan Sumatera
Ketika banjir bandang dan longsor menelan wilayah-wilayah di Provinsi Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar), publik dikejutkan bukan hanya oleh skala kehancuran, tetapi juga oleh keheningan fiskal Pemerintah. Negara gagap bukan karena kurang data, bukan karena kurang peringatan, tetapi karena satu hal yang jauh lebih menakutkan: Kas negara tidak cukup likuid untuk membiayai keadaan darurat sebesar ini. Dan penyebabnya tidak berdiri di ruang kosong. Ini harus kita maklumi.
Pemerintah sebenarnya memiliki instrumen bernama Saldo Anggaran Lebih (SAL). Dalam teori, SAL adalah buffer, bantalan fiskal untuk kondisi darurat. Namun dalam praktiknya, Pemerintah menarik sebagian SAL dari Bank Indonesia dan menempatkannya ke dalam sistem perbankan melalui deposito Pemerintah, giro Pemerintah, dan instrumen likuid bank-bank di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tujuannya mulia: menopang likuiditas perbankan dan mendorong kredit.
Tapi ada satu konsekuensi besar yang kini terasa. Bahwa dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang sudah masuk ke sistem perbankan tidak lagi tersedia secara instan ketika negara menghadapi pembiayaan force majeur.
Untuk menarik kembali dana itu, pemerintah harus melewati prosedur panjang, potensi penalti likuiditas, hingga konsekuensi stabilitas moneter. Dengan kata lain: Saldo Anggaran Lebih (SAL) ada di neraca, tapi tidak siap di kas. Saat bencana datang, negara seperti mencari payung yang dititipkan ke orang lain.
Jadi mengapa Pemerintah berhati-hati, bahkan terkesan enggan menetapkan status bencana nasional, yang secara hukum akan mewajibkan APBN menanggung seluruh biaya pemulihan. Karena memang bokek. Saldo Anggaran Lebih (SAL) tidak likuid. Defisit APBN melebar akibat penerimaan pajak drop. Konsekuensi nya menambah hutang baru. Sementara beban pembayaran bunga dan utang mencapai lebih 50�ri penerimaan pajak.
Di tengah tekanan itu, kita melihat gestur politik: Presiden berangkat ke Brasil, bukan sekadar kunjungan diplomatik, tetapi untuk belajar bagaimana negeri Amazon menggalang Dana Donor Internasional untuk restorasi hutan.
Brasil sukses.
Mereka memulihkan hutan, sekaligus menarik puluhan miliar dolar dari skema global climate funds.
Indonesia justru menghadapi situasi sebaliknya :
deforestasi meningkat,
devisa melemah,
kas fiskal kering,
dan kredibilitas tata kelola lingkungan dipertanyakan dunia.
Dalam kondisi demikian, kita bisa sedikit memahami kegugupan Presiden. Beliau mewarisi mesin negara yang sudah rusak struktural, bukan hanya salah urus, tetapi salah arah selama bertahun-tahun.
Masyarakat dunia begitu baca kabar Presiden Prabowo menyumbang 16 Triliun untuk program hutan tropis dunia langsung mikir bahwa pemerintah Indonesia peduli banget dengan hutan. Padahal nggak perlu nyumbang segitu, cukup nahan diri untuk tidak memberikan izin alih fungsi hutan saja dampaknya malah lebih besar. Mereka nggak tahu ada proyek jutaan hektar di Papua sedang digarap. (*)
*) Source : Ikhsan Putera Agoes (Director Global Projects & Industry Solutions DB Schenker)
Editor : S. Anwar