Pemerintah Ancam Kebebasan Pers Saat Liputan Bencana

avatar M Ruslan
  • URL berhasil dicopy
Wartawan saat liputan di lokasi bencana di Aceh
Wartawan saat liputan di lokasi bencana di Aceh
grosir-buah-surabaya

Pada bencana banjir di tiga provinsi, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD), Jenderal Maruli Simanjuntak mengeluarkan pernyataan agar media tidak memberitakan kekurangan Pemerintah.

Sementara itu, Sekretaris Kabinet (Seskab), Teddy Indra Wijaya meminta media fokus pada berita positif dan tidak menggiring opini seolah pemerintah tidak bekerja.

"Kalau ada hal kekurangan pasti banyak kekurangan. Tolong informasikan kami kekurangan itu, jangan diekspose lewat media," kata Jenderal Maruli di Landasan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Jumat, 19 Desember 2025.

Seskab, Letkol Teddy mengatakan pada hari yang sama, pada Jumat, 19 Desember 2025, "Sampaikan pernyataan dan pertanyaan yang bijak. Jangan menggiring-giring seolah pemerintah tidak kerja, petugas-petugas di lapangan tidak kerja. Di sini semua butuh kerja sama, kekompakan, energi positif."

Hal tersebut disampaikan Letkol Teddy di kanal YouTube BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sunudyantoro menilai, pernyataan seperti itu menekan media dalam norma pengekangan terhadap peran pers sebagai watchdog, terutama dalam konteks yang sensitif seperti bencana besar.

Padahal, memberitakan upaya pemerintah tidak berarti menutup ruang untuk kritik. Sebaliknya, kritik media yang berbasis fakta justru mendukung akuntabilitas dan perbaikan kebijakan.

“Sensor dan kontrol narasi media oleh Pemerintah—terutama di wilayah bencana—selalu berangkat dari dalih yang terdengar mulia: menjaga ketertiban, mencegah kepanikan, dan melindungi korban. Namun dalam praktiknya, pembatasan informasi justru sering mengaburkan realitas di lapangan,” katanya dalam rilis yang diterima Redaksi pada Selasa, 23 Desember 2025.

Katanya, ketika akses Jurnalis dibatasi, data dikontrol sepihak, dan narasi “resmi” dipaksakan, publik kehilangan hak untuk mengetahui situasi sebenarnya: skala kerusakan, lambannya distribusi bantuan, atau kegagalan mitigasi yang seharusnya bisa menjadi pelajaran bersama.

Praktik intimidasi, penghalangan liputan, hingga pelabelan “berita negatif” menunjukkan bahwa pengontrolan narasi masih dilakukan demi citra Pemerintah. Padahal, di tengah krisis, kerja jurnalistik yang bebas dan akurat justru membantu negara: melawan disinformasi, mempercepat respons publik, dan memastikan bantuan tepat sasaran.

“Pernyataan dua perwira TNI AD tersebut, juga bisa memicu terjadinya praktik swasensor, seperti yang terjadi belakangan ini. Media akan takut menyampaikan kritik, bahkan menarik pemberitaan yang kritis terkait penanganan pascabencana. Akibatnya, publik tidak akan mendapat informasi yang sebenarnya. Studi yang sedang dijalankan AJI Indonesia juga menunjukkan praktik swasensor di media di Indonesia semakin meningkat,” tegas Sunudyantoro. 

Jika represi terselubung terhadap media ini berlanjut, maka kebebasan pers di Indonesia bakal menghadapi tantangan serius, bahkan kembali ke praktik otorianisme. Di sinilah Undang Undang Pers menjadi pondasi penting.

Undang Undang Pers ini menegaskan bahwa pers nasional memiliki fungsi informasi, kontrol sosial, dan pendidikan publik—termasuk dalam situasi darurat. Peran Jurnalis bukan memperburuk keadaan, melainkan memastikan akuntabilitas tetap berjalan ketika kekuasaan berada dalam tekanan krisis.

Para Jurnalis bekerja dengan prinsip jurnalisme. Mereka melakukan reportase lapangan, konfirmasi, cek dan re-check dan informasi yang keluar bukan sembarangan, melainkan hasil verifikasi nyata.

Karena itu, AJI mendesak kepada KASAD, Jenderal Maruli Simanjuntak dan Sekretaris Kabinet, Letkol Teddy Indra Wijaya untuk menarik kembali pernyataannya dan meminta maaf kepada public.

“Pemerintah harus memberi akses seluas-luas dan memberi pelindungan keamanan bagi Jurnalis maupun media untuk melakukan liputan di wilayah bencana Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat. Dewan Pers untuk bersikap dan membela serta melindungi para Jurnalis dan media dari ancaman dan intimidasi. Dan para Pemimpin Redaksi media untuk mempertahankan independensi ruang redaksi dan berpihak kepada kepentingan publik,” demikian desakan dari AJI. (*)