Sejarah HAMAS atau Gerakan Perlawanan Islam
Hamas merupakan kependekan dari Harakat al-Muqawama al-Islamiyya yang berarti “Pergerakan Perlawanan Islam” yang dalam bahasa Arabnya, hamas berarti “keberanian” atau “semangat”. Hamas menginterpretasikannya sebagai “Kekuatan dan Kegagahan”.
Hamas merupakan organisasi militan berbasis Fundamentalis Islam Sunni Palestina yang memerintah Jalur Gaza dari tahun 2007 serta bertempur dengan Israel dalam beberapa peperangan hingga hari ini.
Baca Juga: Mengenal Sayap Militer Hamas : Brigade Izzuddin al-Qassam
Hamas merupakan metamoforsis dari cabang Ikhwanul Muslimin (IM) di Palestina. Pada tahun 1935, Hasan Al-Banna—pemimpin IM—mengirim saudaranya, Abdurrahman Al-Banna dan Muhammad As’ad Al-Hakim, untuk mengunjungi Palestina dan melihat kemungkinan kegiatan di sana.
Pada tahun 1936, mereka mendirikan cabang di Haifa. Pada tahun 1948, anggota IM Palestina mencapai 10 sampai 20 ribu orang yang semuanya tunduk kepada IM pusat di Mesir.
Saat IM dibekukan di Mesir akibat penuduhan atas kasus pembunuhan Perdana Menteri Mesir—Muhammad Faqmi Naraqsyi—pada 8 November 1948, IM cabang Palestina mengubah namanya menjadi “Jam’iyah Al-Tauhid” dan merupakan garis depan dari kelompok non kompromi.
Mereka melihat bahwa perjuangan diplomasi oleh kaum moderat Palestina hanya membuat Israel semakin semena-mena dan memilih perjuangan bersenjata.
Sejak tahun 1968, organisasi ini berfokus kepada dakwah, sosial, dan pendidikan, demi menyiapkan kader-kader Palestina yang memiliki ketauhidan yang kuat.
Pada tahun 1970, Jam’iyah Al-Tauhid beraliansi dengan Fatah dalam bidang politik dan militer meski tidak bertahan lama akibat ketidakcocokan jalur perjuangan.
Kader-kader yang dididik oleh organisasi ini mulai menyebar ke berbagai universitas termasuk Al-Azhar di Mesir dan berhasil memberikan jasa besar bagi Palestina, seperti pembangunan Universitas Gaza pada tahun 1978.
Pada awal 1980, kepemimpinan senior Jam’iyah Al-Tauhid di Gaza Strip mulai diusik oleh kelompok kader muda yang berasal dari lulusan Universitas di Mesir.
Para senior Jam’iyah Al-Tauhid yang kebanyakan berasal dari IM mempercayai bahwa tugas utama mereka adalah pendidikan dan dakwah terutama kaum muda melalui komunitas-komunitas di Palestina.
Mereka mempertahankan tugas menyelamatkan Palestina dengan kekuatan luar. Kelompok kader muda yang dipimpin oleh Syekh Fatih Shqaki mengatakan bahwa Jam’iyah Al-Tauhid tidak boleh hanya berfokus kepada aktivitas sosial dan “akar rumput” semata, tetapi juga dengan perlawanan bersenjata melawan tentara Israel dan imigran Israel di Palestina.
Terinspirasi dari ideologi Revolusi Islam Iran, Syekh Shqaki dan sahabat dekatnya, Abdul Aziz Auda, yang diusir dari Ikhwanul Muslimin mulai membentuk kelompok baru, yaitu Jihad Islam dan memobilisasi anggota lain.
Banyak dari kader muda IM yang tertarik akan kelompok ini dan mendesak agar kelompok senior Jam’iyah Al-Tauhid segera menyiapkan aksi militer.
Untuk mempertahankan kesatuan organisasi IM di Palestina, IM Mesir menyetujui proporsal delegasi Palestina di konferensi Yordania pada tahun 1983 untuk membuat sebuah “komite spesial” yang bertugas menyediakan dukungan finansial dan logistik untuk melatih pejuang dari Gaza di Yordania.
Syekh Ahmad Yasin, pemimpin politik dan spiritual Hamas, mulai membentuk sayap Paramiliter Al-Majd dan Al-Mujahidin di Wilayah Okupasi Palestina (OPT) untuk memonitor dan membunuh kolaborator serta menyerang tentara Israel.
Pada tahun 1984, Israel menangkap Syekh Ahmad Yasin atas tuduhan menyuplai senjata untuk melawan tentara Israel dan rakyatnya. Ia dijatuhi hukuman penjara selama 13 tahun, tetapi 10 bulan kemudian ia dibebaskan sebagai penukaran tawanan dari Front Popular untuk Palestina (PFLP). Syekh Ahmad Yasin terus beroperasi secara rahasia sampai meletusnya Intifada (perlawanan) pertama.
Pada 14 Desember 1987, Syekh Ahmad Yasin beserta enam anggota dari IM di Palestina mendirikan Hamas sebagai pengganti IM dalam peran mendukung Intifada serta melawan penalukkan Israel. Meskipun baru resmi dipekenalkan, pada bulan Januari 1988 saat selebaran Hamas dibagikan kepada rakyat Palestina.
Dalam perkembangannya, terjadi berbagai macam fase Hamas, yakni:
Hamas dan Intifada Pertama (1987-1993)
Saat Intifada pertama meletus, Hamas mulai melancarkan berbagai macam acara dan aksi untuk mendemonstrasikan kekuatannya sebagai pergerakan melawan penalukkan Israel. Dalam sebuah piagam Hamas yang dipublikasikan pada 18 Agustus 1988, Hamas menyerukan perpaduan antara nasionalisme dan Islam di Palestina dengan menggambarkan bahwa Palestina akan diperintah berdasarkan hukum Syariah. Selain itu piagam tersebut juga menyerukan agar tidak menyerahkan tanah Palestina sedikitpun kepada Israel dan menekankan jihad untuk kemerdekaan Palestina adalah kewajiban setiap muslim.
Kebangkitan Hamas mengancam hegemoni Organisasi Pembebas Palestina (PLO)—yang menjadi satu-satunya lembaga resmi yang mewakili suara rakyat Palestina. Ironisnya, banyak petinggi militer Israel yang membiarkan perkembangan Hamas sebelum dan saat Intifada Pertama. Hal ini karena mereka berfokus kepada PLO yang berideologi Sekular-Nasionalis Kiri yang dianggap sebagai ancaman utama Israel.
Dengan adanya Hamas, mereka menganggap bisa dieksploitasi untuk melemahkan PLO yang nantinya mereka akan sadar bahwa Hamas lebih berbahaya perlawanannya daripada PLO sendiri.
Hamas dan Otoritas Palestina (PA)
Setelah persetujuan Oslo pada tahun 1994, PA resmi terbentuk dengan Yassir Arafat dari Fatah sebagai pemimpinnya. PLO, sebagai partai dominansi PA, memilih untuk menjalankan politik pragmatis dan diplomasi dengan Israel disertai Amerika Serikat sebagai penengah.
Hamas sebagai organisasi oposisi berhasil menambah anggota lebih banyak dari sebelum Intifada Pertama sebagai hasil dari koalisi dengan kelompok Islamis, Nasionalis, dan Sekuler di Damaskus yang menolak Otoritas Palestina serta masyarakat Palestina yang kecewa akan usaha PLO yang mengejar jalur diplomasi dengan mengorbankan sebagian besar wilayah Palestina.
Musa Abu Mazruk, Ketua Hamas bidang Politik menyatakan bahwa Intifada akan terus berlangsung karena persetujuan Oslo telah merugikan masyarakat Palestina dan Hamas di bidang Sosial-Politik. Kegigihan Hamas ini semakin diperkuat dengan pembantaian 29 Pendukung Palestina oleh penduduk Israel di Hebron, Palestina pada tahun 1994.
PA menganggap bahwa kebijakan Hamas yang menggunakan kekerasan dan bom bunuh diri bertentangan dengan kemauan Palestina. Mereka mulai melakukan tindakan keamanan dengan membekukan akun bank Hamas serta menangkap anggota penting Hamas untuk merusak pergerakan Hamas dalam bidang sosial dan Politik.
Saat PA mengadakan pemilihan presiden dan legislatif pertama di Palestina pada 20 Januari 1996, Hamas memboikot pemilu tersebut demi menurunkan legitimasi PA yang dianggap sebagai pion Israel melalui persetujuan Oslo. Namun pada tahun 1996-2000, Hamas mulai menjauhi konfrontasi senjata dan berfokus kepada sosial, pendidikan agama, dan dakwah, meskipun hal ini mereka lakukan secara rahasia demi melindungi diri dari kolaborasi PA dan Israel.
Hamas dan Intifada Kedua Palestina (2000-2004)
Baca Juga: Sorotan dari Pidato Juru Bicara Brigade Qassam Abu Ubeyde pada hari ke-38 Perang
Menyusul kegagalan perjanjian damai dan kunjungan Areel Sharon ke Harm Al-Sharif (Bukit Bait Suci), tensi antara Palestina dan Israel memuncak hingga terjadi Intifada kedua Palestina. Pada saat itu terjadi konflik antara militan Palestina dan tentara Israel yang berujung kepada korban jiwa di masyarakat sipil akibat tindakan tentara Israel yang merespon dengan tindakan ekstrim. Akibatnya Intifada ini naik tingkatannya menjadi konflik militer.
Hancurnya infrastruktur dan gedung pasukan keamanan PA akibat serangan Israel sebagai pembalasan atas dukungan PA atas militan Intifada. Kejadian itu membuat PA melemah dan Hamas naik menjadi gerakan perlawanan alternatif yang terkenal.
Donasi Islam kepada Hamas mulai mengalir melalui Sub Komite Hamas di seluruh dunia. Melemahnya ekonomi Palestina akibat konflik membuat Hamas sangat populer dalam bidang sosial dan kesejehtaraan. Hal ini disebabkan donasi Hamas kepada masyarakat yang kesusahan untuk mempertahankan dirinya sepanjang siklus kekerasan yang berkelanjutan.
Setelah meninggalnya Syekh Ahmad Yasin akibat diserang Helikopter Apache menjelang subuh serta Abdul Azis Al-Rantissi akibat serangan udara Israel, Khalid Masshal, Kepala Polit Biro Hamas, menjadi Ketua Hamas dan membawanya ke dalam pemilihan umum.
Pemilihan Presiden dan Legislatif Palestina 2006
Setelah kematian Yasir Arafat, PA dan PLO pimpinan Mahmud Abbas legitimasinya mulai melemah di Palestina. Hal ini disebabkan oleh korupsi yang menyebar di tubuh PA serta meningkatnya popularitas Hamas di masyarakat Palestina.
Pada pemilihan presiden dan legislatif, Hamas memenangkan 76 kursi dari 134 kursi. Ismail Haniyyah diangkat menjadi Perdana Menteri Palestina di kabinet Hamas.
Pada awal Februari 2006, Hamas menawarkan gencatan senjata selama 10 tahun kepada Israel sebagai ganti dari mundurnya tentara Israel secara penuh dari West Bank, Gaza Strip, dan Yerusalem Timur, tetapi menegaskan bahwa ini bukanlah akhir dari perlawanan senjata kepada Israel. Kelompok Quartet Timur Tengah (Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa, dan UN) menegaskan bahwa bantuan Palestina hanya akan terjadi bila Hamas menghentikan kekerasan, mengakui Israel, dan menyetujui perjanjian Oslo yang tentu saja Hamas menolaknya.
Kemudian kelompok ini membekukan semua bantuan Internasional ke Palestina. Setelah pemilihan umum Gaza, Hamas mengirimkan surat kepada George W. Bush yang berisi penawaran gencatan senjata serta pengakuan batas Palestina 1967 tetapi tidak ada respon sama sekali.
Konflik Fatah-Hamas (2006-2007)
Setelah pemilihan umum tahun 2006, tensi antara Fatah dan Hamas semakin meningkat. Kebanyakan dari komandan Fatah menolak perintah dari Kabinet Hamas dan PA melakukan aksi penculikan, demonstrasi, serta pembunuhan anggota Hamas. Hal ini menimbulkan reaksi dari Hamas dengan mengambil alih pemerintahan Gaza dari Fatah dan PA yang hampir hancur.
Menurut sumber Palestina yang dekat kepada Mahmud Abbas, Hamas menganggap bahwa Mahmud Abbas, pemimpin PA, dan Fatah adalah penghalang dari kontrol total atas PA dan memutuskan untuk membunuhnya.
Puncaknya adalah pada bulan Maret 2007 saat Dewan Legislatif Palestina mendirikan Pemerintahan Kesatuan Nasional dengan Mahmud Abbas melantik para Menteri-menterinya di Gaza dan Ramallah.
Sebelumnya Hamas mencoba mengajak partai di PLO untuk ikut dalam koalisi anti-Fatah tetapi mereka menolaknya. Bulan berikutnya, Mahmud Abbas langsung membubarkan pemerintahan kabinet Hamas serta melarang militan Hamas. Dalam konflik ini, sekitar 600 rakyat Palestina tewas akibat penyiksaan serta kejahatan perang dari kedua belah pihak.
Perang Gaza 2008-2009
Baca Juga: Zero Meter Strategy
Pada tanggal 17 Juni 2008, Mediator Mesir mengumumkan gencatan senjata informal selama 6 bulan antara Hamas dan Israel. Kesepakatannya adalah Hamas akan menghentikan serangan roket sebagai ganti diperbolehkannya kapal komersial ke Gaza secara terbatas.
Hamas juga mempertimbangkan untuk membebaskan Gilal Shalit, seorang tentara IDF, dan berkomitmen untuk menekankan gencatan senjata pada organisasi Palestina lainnya. Meski begitu, masih ada konflik kecil oleh kelompok lainnya tanpa sepengetahuan Hamas.
Setelah gencatan senjata selesai, Hamas langsung meluncurkan 50-70 roket kepada Israel selama tiga hari meski tidak ada korban jiwa.
Pada 21 Desember 2008, Hamas menyatakan bahwa mereka siap memperpanjang gencatan senjata jika Israel menghentikan serangan ke Gaza dan membuka perbatasan. Namun Israel malah meluncurkan operasi Cast Lead yang menewaskan sekitar 600 orang, termasuk Kepala Polisi Gaza—Taufiq Zabir, Kepala Keamanan Umum—Salah Abu Raskh, Staf Senior Keamanan dan Otoritas Agama—Nizar Rayyan, dan Menteri Dalam Negeri—Said Seyyam.
Israel kemudian menyatakan gencatan senjata secara sepihak pada 17 Januari 2009. Hamas membalasnya dengan mengumumkan gencatan senjata selama seminggu untuk memberikan waktu bagi Israel mundur dari Gaza.
Pada 16 Agustus 2009, Khaled Mashal mengumumkan bahwa mereka siap untuk berdialog dengan Presiden Obama karena kebijakannya yang lebih baik daripada Bush. Juli 2009, Khaled Mashal mengatakan kepada media bahwa mereka siap untuk mengadakan perjanjian damai antara Arab dan Israel, dan mengakui perbatasan Palestina pada tahun 1967.
Sebagai gantinya, jaminan pengungsi Palestina bisa kembali ke Israel serta Yerusalem Timur menjadi ibukota Palestina. Namun pada tahun 2013, perjanjian damai tiga jalur selama seminggu antara Israel, Hamas, dan PA menemui jalan buntu. Saat Presiden Obama mengunjungi Israel, Hamas meluncurkan lima roket kepada Israel.
Konflik Gaza 2014
Pada 8 Juli 2014, Israel meluncurkan Operasi Protective Edge untuk menghancurkan terowongan yang berisi amunisi Hamas serta melawan balik serangan roket Hamas ke Gaza. Konflik ini berakhir dengan gencatan senjata permanen selama 7 minggu, dengan korban jiwa sekitar 2.200 orang. Mahmud Abbas menyalahkan Hamas atas usahanya yang sia-sia untuk memperlama konflik di Gaza.
Rekonsilialisasi Hamas
Tahun 2016, Hamas bekerja sama dengan Mesir untuk menghancurkan serangan teroris di Sinai sebagai ganti dari bantuan ekonomi.
Mei 2017, Hamas menerbitkan piagam baru yang berisi haluan baru bagi Hamas. Piagam ini tidak lagi menyerukan kehancuran Israel, tapi masih memperjuangkan pembebasan Palestina dan konfrontasi dengan proyek Zionist.
Piagam ini juga mengakui perbatasan Palestina 1967 sembari tidak melanggar terlalu jauh dari Prinsip IM.
Lima bulan kemudian, Fatah dan Hamas menandatangani perjanjian rekonsilialisasi. Isinya adalah pengaturan hal adminstratif dan sipil berkaitan dengan Gaza dan West Bank, pemilihan nasional, reformasi PLO, dan kemungkinan demilitarisasi Hamas saat pertemuan bulan November 2017 dikarenakan cara baru Hamas dengan pendekatan satu per satu. (*)
Editor : Ahmadi