Cerita Seorang Dokter tentang Tradisi "Uang Jemputan" Tradisi Pariaman

Reporter : -
Cerita Seorang Dokter tentang Tradisi "Uang Jemputan" Tradisi Pariaman
Eva Sri Diana Chaniago
advertorial

Ramai tentang "Uang Jemputan"yang merupakan ada Pariaman, mendapat tanggapan dari dr. Eva Sri Diana Chaniago. Berikut cerita dr. Eva Sri Diana Chaniago yang ditulis melalui akun X (Twitter) pribadinya.

Saya dan suami asli dari Pariman, salah satu kota di Sumatera Barat, walau saya sendiri bukan lahir dan besar disana. Namun kami menikah disana dan menggunakan budaya asli pariaman. Daerah kami mengenal salah satu istilah budaya "Bajapuik" atau dibahasakan "Uang jemputan" dalam sebuah upacara adat pernikahan.

Dalam budaya ini pihak keluarga calon mempelai perempuan memberikan sesuatu kepada pihak calon mempelai laki-laki, bisa berupa emas, hewan ternak dan uang sebagai "Uang jemputan" untuk melengkapi upacara pernikahan.

Pemberian ini sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak saat dilaksanakan adat lamaran. Saat membuat kesepakatan ini, bisa dilakukan negosiasi antara kedua belah pihak sehingga dihasilkan kesepakatan yang disetujui kedua belah pihak.

Saat waktu lamaran ini juga ditentukan tanggal pernikahan. Biasanya antara waktu lamaran dan pernikahan memang ada jarak waktu demi mempersiapkan ini semua. Juga untuk memberi kesempatan bagi keluarga yang berada jauh di rantau untuk mempersiapkan diri pulang menghadiri acara pernikahan.

Untuk saat ini, budaya ini lebih sering hanya sebagai simbol saja. Walau tetap ada istilah "Uang Jemputan", itu hanya disebutkan saja dalam upacara pernikahan, atau uangnya tetap ditampilkan dalam acara, namun uang atau barang yang diserahkan itu sebenarnya berasal dari pihak laki-laki, seperti yang dilaksanakan dalam pernikahan saya dan adik- adik saya. Tapi jika pihak calon mempelai perempuan tetap ingin memberikan "Uang jemputan" terhadap calon mempelai laki-laki dan semua pihak setuju, ya tidak jadi masalah juga, biasa saja.

"Uang jemputan" biasanya menjadi menjadi hal yang harus ada ketika calon mempelai laki-laki dan keluarganya tidak ada hubungan sebelumnya dengan calon mempelai perempuan.

Calon mempelai laki-laki juga belum menyukai calon mempelai perempuan. Disini biasanya pihak keluarga calon perempuan yang lebih dahulu ingin menjodohkan anak mereka dengan calon mempelai laki-laki. Jumlah "Uang jemputan" yang diminta, suai standar yang sudah ada di masyarakat pariaman. Urusan menjadi lancar jika memang kedua belah pihak sepakat, calon mempelai saling suka dan memang suai dengan standar yang ada.

"Uang jemputan" menjadi masalah biasanya, bila ada pihak yang tidak setuju, misal si calon mempelai pria tidak begitu suka atau bahkan tidak suka dengan calon mempelai perempuan, atau pihak orang tua mempelai laki-laki yang tidak suka dengan calon mempelai perempuan atau keluarganya sehingga dicarikan alasan memberikan "Uang jemputan" yang tidak biasa, diatas standar dengan tujuan agar pihak calon mempelai perempuan tidak sanggup dan membatalkan niatnya.

"Uang jemputan" ini nanti digunakan pihak laki-laki untuk membiayai pesta pernikahan, memberikan emas dan hadiah untuk calon mempelai perempuan. Untuk para perantau, jika "Uang jemputan" ini masih bersisa, bisa digunakan untuk modal usaha dan sewa rumah dirantau bersama istrinya setelah menikah.

Masyarakat Pariaman mereka bergotong royong dalam mengadakan pesta pernikahan. Jadi sebelum hari pernikahan, pada malam harinya diadakan acara adat "Badantam", semua orang kampung dan undangan hadir, semua keluarga baik dari pihak ayah maupun ibu calon mempelai perempuan hadir, termasuk perwakilan keluarga di rantau juga hadir.

Mereka mengumpulkan uang bersama-sama untuk diberikan ke keluarga calon mempelai perempuan, untuk biaya pesta pernikahan dan "Uang jemputan". Dan ini dilakukan berganti-gantian seperti arisan. Makanya jangan heran jika masyarakat pariaman, walau hidup sederhana, mereka masih bisa menjalankan budaya "Uang jemputan" bahkan tidak jarang pesta pernikahan mereka tetap meriah pakai "Orgen tunggal".

Mantap kan ? Itulah gunanya hidup gotong royong. Tapi tidak menutup mata juga, walau sudah jarang adanya, bahwa ada orang yang memang menganggap "Uang Jemputan" sebagai kesempatan mereka memperoleh uang sebagai pengganti jerih payah membesarkan anak laki-lakinya selama ini atau terkesan malah sedang jual anak saking mahalnya "Uang jemputan".

Orang seperti ini sudah ada sejak dahulu kala, sering akhirnya nanti anak mantunya menjauh darinya karena keserakahannya ini. Orang minang mayoritas muslim, jika memang menjalankan agamanya dengan benar maka tidak akan menjadikan "Uang jemputan" sebagai penghambat sebuah pernikahan.

"Uang jemputan" tidak sama dengan mahar pernikahan ( mas kawin), mas kawin dan yang melamar suai ajaran agama islam tetap dari calon mempelai laki-laki. Budaya setiap daerah berbeda, budaya lahir karena nenek moyang kita berasal dari tempat yang berbeda-beda sehingga tentunya itu sudah mengakar walau akan terus diimbangi dengan ilmu pengetahuan, dikontrol dengan ilmu agama Jadi jangan saling menghujat, karena apapun suku dan bangsanya, ada budaya dan keunikan tersendiri, tidak ada yang sempurna, MARI SALING MENGHARGAI Untuk diketahui, masyarakat Pariaman paling kompak dalam melawan penjajah dan pengkhianat.

Dulu pernah ada pengkhianat dari bangsa lain yang memata-matai perjuangan para pejuang, padahal mereka ini dah diterima jadi masyarakat pariaman, namun diam-diam lapor ke penjajah semua pergerakan para pejuang, akibatnya mereka para pengkhianat ini langsung ditebas lehernya dan digantung di alun-alun, semua keluarga mereka langsung diusir dari pariaman.

Sejak saat itu sampai saat ini, alhamdulillah tidak ada orang asing yang berani masuk apalagi menjajah pribumi. Silahkan baca sejarahnya. (*)

*) Penulis : dr. Eva Sri Diana Chaniago

Editor : Ahmadi