Histori Munculnya Keadilan Restoratif Jaksa

Reporter : -
Histori Munculnya Keadilan Restoratif Jaksa
Restorative justice
advertorial

Kendati diterbitkan belum cukup lama, "restorative justice" oleh Jaksa berdampak signifikan. Apa itu? 

Sistem peradilan pidana konvensional, atau umum dikenal "criminal justice system", dipandang sudah tidak lagi bisa menawarkan keadilan dan perlindungan untuk korban.

Baca Juga: Kasus Tom Lembong Menurut Pandangan Ahli

Sistem tersebut dinilai belum mampu mendorong terdakwa untuk mendapat balasan setimpal atas tindakannya. Begitu terdakwa dinyatakan bersalah, Hakim langsung mengirimnya ke penjara. Dan hanya itu.

Pada saat yang sama, jarang keluarga korban mendapat imbalan dalam bentuk apa pun akibat tindakan tercela pelaku. Seringkali terdakwa sebatas meminta maaf, itu pun cuma protokoler.

Dengan kata lain, sistem ini tidak memberikan lagi manfaat bagi masyarakat. Demikian ini dijelaskan kriminolog Universitas Indonesia (UI), Eva Achjani Zulfa, melalui tulisannya berjudul "Restorative Justice in Indonesia: Traditional Value".

"Oleh karena itu, hal ini memicu pemikiran untuk mencari alternatif lain penanganan tindak pidana di banyak negara," catat perempuan yang sempat menjadi saksi ahli di persidangan Teddy Minahasa itu.

Kemudian pada era 1960-an, gagasan "restorative justice", salah satu model pendekatan yang muncul dalam upaya penyelesaian kasus pidana, muncul dan memenuhi ruang-ruang diskusi akademik.

Berbeda dengan yang digunakan dalam sistem peradilan pidana konvensional, "keadilan restoratif" menitikberatkan partisipasi pelaku, korban dan masyarakat secara langsung dalam proses penyelesaian kasus-kasus kriminal.

Di dalam "restorative justice" juga terdapat prinsip dasar, yakni pemulihan kepada korban yang menderita akibat kejahatan berupa memberikan ganti rugi kepadanya maupun kesepakatan lain.

Persatun Bangsa Bangsa (PBB), tulis Eva, masih dalam risalahnya itu, lalu ikut membahas isu tersebut dalam "Congress on Crime Prevention & the Treatment of Offenders", sebuah kongres 5 tahunan.

Dengan mengadoposi ide "keadilan restoratif", kongres tersebut membahas isu seputar kejahatan, seperti penanganan terhadap korban dan pelaku kejahatan.

Baca Juga: Polemik Kasus Tom Lembong, Politisasi atau Bukan?

Baru pada tahun 1990, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari negara-negara yang mengikuti kongres ini bertemu untuk mendiskusikan lebih serius konsep dan sistem penerapan "keadilan restoratif" alias "restorative justice".

Pembahasan lalu berlanjut di Kongres Kairo tahun 1995. Sejumlah sesi diskusi pada pertemuan ini mengupas secara tajam dan mendalam hal-hal teknis hingga penggunaan pendekatan "keadilan restoratif" dalam penanganan perkara pidana.

Kongres berikutnya berlangsung di tahun 2000. Pada pertemuan ini, PBB menerbitkan "Basic Principles On The Use Of Restorative Justice Programs In Criminal Matters", yang memuat sejumlah prinsip-prinsip dasar penggunaan pendekatan "keadilan restoratif".

Dari sini, "restorative justice" belakang hari semakin acap dipakai dan diakui berdampak pada kebijakan dan praktik hukum di berbagai negara.

Di Belanda, semisal, penyelesaian alternatif tindak pidana ini disebut mampu membantu penurunan jumlah penghuni lapas selama beberapa tahun terakhir.

Sama halnya dengan di Tanah Air. Sesuai data pada SDP Publik Ditjenpas, sejak diimplementasikan dalam bentuk Undang Undang (UU) No. 11 tahun 2012, jumlah tahanan anak terbukti berkurang drastis nyaris tiap tahunnya.

Baca Juga: Mengenal Pencucian Uang Gaya Kripto

Undang Undang Nomor 11 tahun 2012 sendiri berisi wewenang penyelesaian perkara pada pelaku berusia di bawah 12 tahun dengan "keadilan restoratif" oleh semua lembaga penegak.

Dampak positif ini lalu berlanjut ketika Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia (RI) No. 15 tahun 2020 disahkan. Kebijakan ini memberi wewenang khusus untuk Korps Adhyaksa dalam penanganan "restorative justice" kepada pelaku dewasa.

Penanganan "restorative justice" 

Masih menyitir SDP Publik Ditjenpas, semenjak 3 tahun belakangan jumlah penghuni lapas terus menyusut. Dari 270.054 orang pada tahun 2021, menjadi 267.149 penghuni per 31 Desember 2023 kemarin. (*)

*) Source : Jaksapedia

Editor : Syaiful Anwar