Pembunuhan di Siang Hari (Bagian ke - 1)

Reporter : -
Pembunuhan di Siang Hari (Bagian ke - 1)
Olah TKP kasus pembunuhan di Sidoarjo
advertorial

Sebuah kasus pembunuhan yang membutuhkan kolaborasi multidisiplin ilmu dalam pengungkapannya. Cermat, scientific, dan logis

Pada sebuah Senin di awal Desember 2023, saya beraktivitas seperti selayaknya Senin yang biasanya. Berangkat ke kantor, mengikuti apel pagi, dan duduk menghadiri rapat mingguan. Bedanya, kali ini ritme kerja mulai terasa agak melandai. Apa karena ini masa-masa akhir tugas saya?

Baca Juga: Prahara Rumahtangga Berujung Maut di Desa Wage

Terduduk di kursi rapat dan mendengarkan paparan Kabagops, tanpa sadar pikiran saya terbang bernostalgi ke 5 tahun yang lalu ketika saya pertama kali menjabat sebagai Kasat Reskrim di Gresik. Gresik, Malang, Mojokerto, dan sekarang Sidoarjo. Akhirnya.. Selesai juga ya..

Saya tidak tau bagaimana persepsi personal orang lain, tapi bagi saya sendiri jabatan selalu memiliki dua sisi. Di satu sisi dia akan membawa sebuah persepsi keberhasilan atas pencapaian, tapi di sisi lain dia juga membawa resiko ketika kita tak bisa memenuhi tuntutan kewajiban.

Kadang berbuat benar bisa saja tidak tepat. Kadang sudah berbuat tepat, masih bisa juga terkena apes. Makanya, ketika selesai menjabat dan tidak ada kendala yang berarti saja sudah menjadi sebuah kondisi yang sangat saya syukuri.

“Hari ini makan enak dulu lah.. Cari makan siang agak jauhan.” Sebelum jam istirahat, pikiran saya sudah mendahului menyatakan keinginannya. Saya pun mencari sebuah tempat makan di antara sawah dan tambak yang agak jauh dari kantor.

Pukul 12.00 setelah selesai rapat, saya menaiki kendaraan dan bergerak ke Warung Tengah Sawah, sebuah warung biasa di daerah Jabon (Kabupaten Sidoarjo). Karena di tengah sawah dan tambak, ekspektasi saya langsung terbayang berbagai makanan ikan segar untuk makan siang.

Setengah jam perjalanan, saya pun tiba di lokasi. “Pepes ikan dori sama udang goreng satu ya, Mbak.” Langsung saja saya memesan tanpa banyak prolog.

“Emm.. Kami tidak sedia ikan dori, Pak.” jawab pramusaji.

“Kalo gitu pepes patin aja.”

“Nah.. Kalau itu ada,Pak.”

Saya hanya tersenyum dan mengalihkan pandangan ke area persawahan di sisi warung ini. Saya rasa tak perlu memperpanjang lagi pembahasan tentang ikan dori dan ikan patin lagi. Baguslah dia menyebut itu ikan patin, berarti bon makan kali ini tak akan mahal.

Melihat hamparan sawah di Kec. Jabon ini, sepintas saya tidak merasa sedang di Sidoarjo, kota yang identik dengan pabrik dan berjamurnya perumahan.

“Ah.. ternyata belum semua wilayah Sidoarjo yang saya eksplor. Suatu saat, semoga saya bisa kembali ke sini menjadi Kapolresta.”

Sajian pepes patin telah sampai di meja saya. Langsung saja, saya menikmati santapan itu tanpa ragu. Tapi ketika saya menikmati makanan, tiba-tiba pikiran saya berandai tentang banyaknya pembunuhan dan lama waktu saya berdinas.

Dulu waktu saya di Malang, selama 17 bulan menjabat, ada 17 pembunuhan yang terjadi. Tapi di sini selama 12 bulan saya menjabat, baru ada 11 pembunuhan. Hmm.. Apa mungkin masih ada kasus pembunuhan lainnya lagi?

Ah, sudahlah. Jangan dipikirkan. Nanti tiba-tiba malah kejadian betulan seperti waktu saya ingin camping dulu. Kalau kata orang itu namanya The Murphy’s Law. Semakin kamu takut sesuatu hal akan terjadi, semakin mungkin pula hal itu terjadi.

Saya cukupkan pikiran-pikiran dan kenikmatan makanan itu berakhir di warung tadi. Saya pun berjalan kembali ke kantor untuk menyelesaikan tugas rutin dan memeriksa berkas perkara. Walaupun sudah pasti pindah, semangat dan tanggungjawab tidak boleh kendor sedikitpun.

Pukul 14.00 saya sampai di ruangan. Saya duduk di kursi jabatan yang panas ini sambil memeriksa berkas pertama. Tapi belum selesai saya memeriksa, ada panggilan masuk dari Kanit Polsek Sedati.

“Lapor, Ndan. Di tempat kami ada 338 dengan korban seorang wanita.”

“Aduh. Kan.. kan.. kan. Makanya jangan mikirin pembunuhan terus dong, Abi..” saya bergumam dalam hati. Rasanya, pikiran di kepala saya langsung dibayar kontan tanpa kredit.

“Beneran pembunuhan itu Pak Darto? Yakin? Sedati ini udah 4 kali pembunuhan lho?”

“Lha inggih, Ndan. Saya juga ga tau kok bisa banyak di tempat saya.” jawab Pak Darto singkat.

“Yaudah mau gimana lagi, Pak. Terus informasi awalnya apa ini?” Pak Darto kemudian menyampaikan informasi awal dari kejadian pembunuhan itu.

Korban merupakan seorang wanita usia 55 tahun yang tinggal berdua dengan suaminya. Korban ditemukan pertama oleh suaminya sekitar pukul 12.00 saat si suami pulang ketika jam istirahat pabrik. Menurut keterangan suami, ada beberapa barang dan uang milik korban yang hilang.

“Identifikasi udah dateng, Pak?”

“Sudah kami hubungi tapi masih dalam perjalanan, Ndan.”

“Oke, bagus. Saya juga juga meluncur ke TKP.”

“Ehm.. Tapi ada kendala, Ndan.” sela Pak Darto.

“Maksudnya?”

“TKP sudah rusak karena mayat sudah tidak di posisinya, Ndan."

“Hah? Kok bisa?”

“Jadi gini, Ndan. Tadi waktu suaminya pulang dan menemukan istrinya bersimbah darah di lantai dapur, dia langsung panik dan menghubungi keluarganya untuk datang. Sekarang mayatnya sudah dibersihkan dan dibaringkan di ruang tamu.” Jawab Pak Darto.

Aduh. Siaall. Siaal!! Kenapa sih orang-orang ini?! “Yaudah, Pak. Tetap olah TKP apapun kondisinya. Saya meluncur.”

Mendengar berita itu, saya pun segera menaiki mobil dan menuju ke TKP. Tak lupa, saya juga memberikan perintah ke grup reskrim, “Ada 338 di Sedati. Cepat ke TKP.”

Tak puas dengan perintah itu, saya pun menelepon Amad untuk memastikan perintah saya telah diterima. “Mad, cepetan ke Sedati. Ada 338 itu. Kasih tau anggota.”

“Waduh, Bang. Saya baru sampe Kriyan ini ketemu orang. Saya ketemu bentar, habis itu nyusul yak.”

Ucapan Amad itu cukup membuat saya naik pitam. Jawabannya seakan menyatakan kalau dia tidak paham bagaimana saya memperlakukan kasus pembunuhan.

“Terserah!” Saya pun memungkasi percakapan singkat itu.

Langsung saja, jari saya seketika mengetikkan perintah baru di grup. “Jangan sampe saya datang lebih dulu daripada anggota ya! Saya sudah di tol.” Penekanan itu saya sampaikan agar anggota memahami bagaimana saya menganggap penting kasus ini.

Setelah itu, saya pun menutup sejenak chat grup dan memandangi jalanan tol ini. Kali ini, rintik hujan menemani perjalanan saya menuju TKP. Udara terik Sidoarjo yang biasanya, hilang seketika. Membawa sedikit pereda pada ketegangan penanganan kasus kali ini.

45 menit berselang, saya pun tiba di TKP. TKP merupakan sebuah rumah pada lingkungan perumahan bertipe kluster yang sisi kanan, kiri, dan belakangnya berbatasan langsung dengan tembok rumah tetangga. Ukuran setiap rumahnya homogen dengan lebar muka 5 meter.

Saya pun memasuki rumah bertembok biru itu. Saya sempatkan berhenti sejenak untuk mengamati detail muka rumah. Nampak 3 buah sepeda motor yang terparkir di depan teras rumah dan beberapa kandang burung yang terkait di plafon.

Akses keluar masuk rumah ini sebenarnya bisa melewati 2 pintu. Namun pintu depan yang mengakses ruang tamu tertutup oleh susunan 3 sepeda motor tadi. Sebentar.. Dua sepeda motor yang terparkir ini kondisinya berdebu?

Setelah selesai mengamati kondisi muka rumah, saya segera masuk ke dalam melalui akses pintu yang terhubung dengan ruang tengah. Di ruang tengah rumah berukuran 2,5x4 meter itu, saya disuguhi pemandangan jenazah korban yang terbaring di lantai dengan kondisi tertutup kain.

Ruang tengah itu menjadi penghubung antara beberapa ruang lainnya; ruang tamu, 2 kamar tidur, & dapur di area belakang. Ruang tamu yg seharusnya berisi kursi, terisi penuh oleh susunan sepeda motor sehingga tidak mungkin dilewati oleh orang. Hmm.. Kenapa ada motor sebanyak ini?

Kamar tidur pertama terisi oleh kasur dan dua buah lemari. Kondisi kamar itu tidak rapi dan terlihat pecahan kaca berserakan di lantai dan di kasur. Jika melihat dari sumbernya, kaca ini berasal dari pecahan cermin yang menempel pada bagian depan pintu salah satu lemari baju.

Kamar tidur kedua berbatasan tembok dengan kamar pertama. Di kamar kedua ini, terdapat tempat tidur namun kondisinya tidak terlalu berantakan seperti kamar sebelumnya. Tidak banyak keanehan yang saya temukan di ruangan ini.

Di area belakang tersisa ruangan dapur yang terhubung dengan kamar mandi. Di ruang sempit itu, terlihat tim identifikasi sedang meneliti dan melakukan olah TKP. Karena sempit, saya urungkan niat saya untuk ikut memeriksa TKP. Saya tidak mau kehadiran saya justru mengganggu.

Saya memutuskan untuk keluar dari area dalam rumah untuk memberikan ruang pada tim untuk bekerja. Tapi sebelum itu, saya ingin melihat bagaimana kondisi jenazah korban yang terbaring di ruang tengah dan tertutupi oleh kain tadi.

Saya pun melihat kondisi jenazah korban. Saat ini, jenazah korban dalam kondisi telah bersih dari noda darah. Mungkin ini maksud dari cerita Pak Darto kalau tadi beberapa keluarga telah datang dan membersihkan jenazah korban dari noda darah saat jenazah ditemukan pertama kali.

Pandangan saya pun tertuju pada luka yang ada pada dahi sebelah kanan korban. Terdapat luka menganga tak beraturan selebar 2 cm yang melintang dari batas alis sampai dahi bagian atas korban. Kekerasan akibat benda tumpul!

“Saya ke depan dulu, ya. Nanti kabarin saya kalau olah TKP nya udah selesai.” Saya berpamitan kepada anggota yang melakukan olah TKP di dalam rumah itu. Bukannya tidak mau ikut, tapi menurut saya kehadiran terlalu banyak orang justru bisa membuat pekerjaan menjadi tidak efektif.

Saya pun keluar dari rumah bersama Erik, Kanit Resmob. Di luar rumah, terlihat semua warga sekitar memandangi kami berdua dengan tatapan penuh rasa ingin tau. Saya kesampingkan semua perhatian itu dan menyalakan sebatang rokok; mencari pemantik inspirasi.

“Saksi-saksi gimana, Rik?” Saya mulai bertanya kepada Erik tentang keterangan-keterangan yang sudah dikumpulkan oleh Tim.

Saat tim identifikasi bekerja tadi, sebagian anggota memang sudah saya bagi untuk mengumpulkan keterangan yang berkaitan dengan peristiwa ini.

“Saat ini Roni, suami korban, sedang dimintai keterangan sama anggota di tempat lain supaya ga berisik, Ndan. Menurut Roni, saat jam istirahat kantor dia pulang ke rumah karena perasaan tidak enak. Tapi begitu sampe rumah, dia agak heran karena pintu rumah ga terkunci.”

“Dia lalu melihat kamar berserakan dan menemukan jenazah istrinya tergeletak di dapur dengan bersimbah darah. Selain itu, dia juga ngomong kalau ada beberapa barang milik korban yang hilang. HP, perhiasan, sama uang 20 juta, Ndan,” jelas Erik.

“Berarti sekitar jam 12 ini kejadiannya, Rik?”

“Inggih, Ndan. Jadi setelah tau istrinya meninggal itu, dia langsung pergi ke rumah saudaranya di RT sebelah. Dia minta tolong saudaranya dan bareng ke sini buat bantu bersihin jenazah. Baru setelah itu lapor ke Kades,” tambah Erik.

“Saudaranya udah kamu tanyain?”

“Sampun, Ndan. Lha itu saudara perempuannya duduk di sana.” Erik menjawab sembari menunjuk seorang wanita paruh baya yang merupakan saudara Roni yang menurut keterangan ikut mendatangi TKP sesaat setelah Roni meminta tolong.

“Jadi Bu K menjelaskan kalau sekitar jam 12.00 tadi Roni datang menggunakan motor ke rumahnya, meminta tolong sambil menangis, dan mengatakan kalau istrinya kena musibah. Setelah itu dia dan orang tuanya sama-sama ke rumah korban untuk melihat kondisinya.”

“Waktu sampe rumah, Bu K melihat korban sudah terbaring di lantai ruang tengah. Terus Bu K ini nyobek baju korban dan bersihin badan korban yang kena darah. Setelah bersih, jenazah korban dibaringkan di ruang tengah dan ditutupi sama kain, Ndan.”

“Duh, Rik.. Kenapa pake dibersihin coba?”

“Lha nggih niku, Ndan.. Tapi gimana mau ngomongnya ya, Ndan.” Saya dan Erik bersama-sama menghela nafas menyesali runtutan peristiwa yang telah terjadi. Tapi terkadang memang, kenyataan tak selalu terjadi sesuai dengan harapan.

“Ada lagi ga, Rik?”

“Hmm.. Apalagi ya, Ndan? Oh, iya.. Tadi ada tetangga yang liat Roni masuk rumah siang tadi. Terus sekitar 10 menit setelah Roni masuk, tetangga itu mendengar Roni teriak ‘bojoku..bojoku..’ gitu, Ndan.” Erik menjelaskan keterangan terakhir yang didapatkannya.

Walaupun hanya keterangan awal, setidaknya itu memberikan gambaran awal bagaimana runtutan peristiwa yang terjadi tadi siang. Roni pulang ke rumah pada pukul 12.00, masuk rumah, menemukan istrinya yang bersimbah darah, lalu pergi ke tempat saudaranya untuk meminta bantuan.

Setelah itu saudaranya datang ke rumah, membantu membersihkan jenazah, dan membaringkannya di ruang tengah. Baru setelahnya, mereka memberitahu perangkat desa dan meneruskan informasi itu ke Polsek.

Tapi, ada yang mengganjal rasanya. Kenapa Roni harus meminta tolong ke saudaranya yang berbeda RT? Kenapa dia tidak meminta tolong ke tetangga rumahnya? Selain itu, tetangga yang mendengar teriakan Roni pun tak lekas menghampiri atau mengecek keadaan Roni.

Hmm.. Informasi-informasi ini belum terasa logis buat saya. Saya yakin masih ada potongan puzzle yang belum saya dapatkan. Tapi tak apalah.. Ini baru awal penyelidikan.

“Suruh anggota perdalam lagi semua keterangan saksi, Rik. Saya mau masuk olah TKP dulu.”

Saya memungkasi percakapan dengan Erik dengan sebuah perintah untuk melakukan pendalaman keterangan para saksi. Sembari itu, saya rasa ini waktunya untuk melakukan pengamatan yang lebih dalam terhadap TKP. Walaupun sudah tidak murni lagi, saya masih optimis akan menemukan jejak.

Saya mulai kembali memasuki rumah itu. Terlihat tim identifikasi sudah selesai melaksanakan olah TKP dan sedang berkonsolidasi. Langsung saja, saya menuju ke ruang belakang yang belum sempat saya periksa tadi. Saya juga meminta katim identifikasi untuk mendampingi saya memeriksa.

Ruang belakang rumah ini terdiri dari dapur dan kamar mandi yang saling berhadapan. Dari lorong yang menghubungkan ruang tengah, saya terlebih dahulu memeriksa kamar mandi yang letaknya di samping kanan.

Di sana, saya melihat sebuah dudukan toilet yang dimodifikasi berada di atas kursi. Saya pun menanyakan temuan ini ke anggota, “Ini kenapa ada kursi kaya gini?”.

“Oh, korban memang agak kesulitan jongkok, Ndan. Makanya memakai bantuan kursi ini untuk buang air,” jelas anggota.

Selain temuan itu, tidak ada hal lain yang berarti di kamar mandi. Sayapun mengarahkan pemeriksaan ke area dapur, sebuah ruang memanjang berukuran 1,5 x 2,5m yang tepat berada di depan pintu kamar mandi. Di ruang sempit itu, terlihat beberapa peralatan memasak tertata sekedarnya.

Beberapa noda percikan darah terlihat menempel di area dinding dan meja dapur. Nampak juga, beberapa bekas noda darah yang telah dibersihkan di ruangan ini. Tapi ada yang unik. Terdapat tumpahan cairan seperti cat dalam jumlah cukup banyak yang mengotori dapur.

“Iki opo yo, Cak?” Saya bertanya kepada anggota untuk mendapatkan penjelasan atas cairan yang mengotori area meja dapur dan dinding bagian belakang; pada arah yang berlawanan dengan sisi kamar mandi.

“Ini kayanya cat semacam aquaproof gitu, Ndan.”

Saya diam tak berkomentar atas jawaban anggota itu. Tapi isi kepala saya otomatis membayangkan bagaimana noda cat itu bisa tersebar pada area yang saya temukan itu. Berarti.. KORBAN SEMPAT MEMBERIKAN PERLAWANAN.

Saya habiskan 10 menit kemudian untuk mengamati ruangan dapur itu. Pengamatan itu saya barengi juga dengan melakukan pengecekan pada kecukupan barang bukti yang dibawa oleh anggota. Saya hanya menjaga jangan sampai ada barang bukti yang terlewat untuk diamankan.

Ketika mata saya berkeliling mengamati, pandangan saya tertarik oleh percikan noda darah yang berada pada sisi lemari kaca, di ujung lorong yang menghubungkan ruang tengah dan dapur. Seketika juga, muncul bayangan saya akan kejadian yang terjadi siang itu.

“Yak, waktunya kita menentukan gambaran kejadian. Semua kumpul!” Saya meminta anggota untuk berkumpul untuk mendengarkan bayangan kejadian yang saya simpulkan dari pengamatan terhadap detail TKP. Hal ini perlu dilakukan agar anggota memiliki kesamaan persepsi terhadap kejadian.

“Oke, teams. Saya minta semua anggota menyimak dan mengoreksi kalau saya salah. Atau mungkin kalian ingin menyampaikan pendapat kalau ada pandangan lain, juga gapapa. Tapi sebelum saya selesai bicara, tolong jangan dipotong dan simak dengan baik dulu. Clear?”

Baca Juga: Satu Orang Jadi Tersangka di Kasus Kekerasan Antar Kelompok Pemuda

Saya berikan sebuah instruksi terbuka kepada anggota untuk menyimak hasil kesimpulan pengamatan saya terhadap TKP. Tapi di instruksi itu, saya juga membuka ruang untuk koreksi karena saya selalu percaya kalau saya bukan yang paling pintar di sini.

“Siap, Ndan!” Anggota serempak menjawab sambil memperhatikan gesture saya dengan seksama. Anggota sudah berkumpul, perhatian sudah didapat, dan aturan main sudah tersampaikan. Waktunya saya menyampaikan deduksi parsial pada TKP ini.

“Kalau melihat TKP nya seperti ini, kemungkinan korban berdiri di depan pintu kamar mandi sedangkan pelaku berada di depannya; di sisi dalam dapur. Saat itulah pelaku memukul korban dengan benda tumpul yang berat di bagian kepala, sehingga darahnya muncrat sampe ke lemari kaca.”

“Korban lalu terjatuh dengan posisi kepala di arah kamar mandi dan kaki di arah dapur. Kenapa bisa begitu?” Anggota masih terdiam tak berkomentar atas pertanyaan saya.

“Itu sudah dijelaskan lama secara fisika oleh Newton,” tambah saya.

"Untuk setiap aksi, selalu ada reaksi yang sama besar dan berlawanan arah. Tapi karena gaya yang dihantamkan oleh pelaku kepada korban lebih besar daripada gaya yang bisa diserap atau dipantulkan korban, tindakan itu membuat arah reaksi mengikuti arah awal gaya."

“Hal itu menyebabkan korban jatuh dg posisi kepala ke arah kamar mandi & sebagian darah yang keluar dari kepala korban terpercik ke arah lemari kaca di lorong tengah. Nah kalau kalian lihat, arah percikan darah yang ada di lemari kaca itu terlihat berasal dari arah dapur, kan?”

“Sepakat, Ndan..” anggota serempak menjawab.

“Nah, kenapa saya bilang luka itu akibat benda tumpul yang berat?”

“Karena daya dorongnya kuat dan luka robek di kepalanya besar dan tak-beraturan, Ndan.” Salah satu anggota menjawab pertanyaan saya.

“Nah, betul sekali.”

“Kalau kalian sudah paham asal luka korban, kenapa tidak ada benda tumpul berat yang kalian amankan jadi BB? Apa tabung LPG 3 kg di bawah meja dapur itu ga kelihatan?”

“Siap salah, Ndan!” Anggotapun menjawab sembari saling mengarahkan pandangannya satu sama lain.

“Oke selain itu, kita bisa simpulkan kalau dalam proses pembunuhan ini ada perlawanan dari korban. Itu terlihat dari arah noda cat yang berasal dari korban menuju sisi tembok di ujung dalam dapur. Saya belum tau apa manfaatnya informasi ini, tapi kalian keep dulu di kepala.”

“Kalau sudah paham, segera ambil BB (barang bukti) yang ditemukan, data, dan bawa ke Polres. Terus jenazah korban segera bawa ke Porong untuk otopsi.” Saya memungkasi olah TKP sore itu dengan perintah otopsi. Bagaimanapun, hanya dokterlah yang dapat menentukan detail trauma pada korban.

Olah TKP telah selesai. Tapi saya juga sadar masih banyak kepingan puzzle yang belum saya temukan. Barang korban yang hilang, kepemilikan motor dalam jumlah banyak, waktu kematian, dan yang paling penting, identitas pelaku pembunuhan korban.

Saya langkahkan kaki keluar dari rumah itu. Kondisi yang sempit membuat saya tak bisa berpikir atau membuat deduksi penyelidikan dengan jelas. Saya butuh ruang terbuka, kopi, dan sebatang rokok sebagai bahan bakar. Sisanya, biarkan angan-angan dalam kepala ini terbang berkreasi.

Di sela-sela mencari inspirasi, tiba-tiba ada chat masuk ke HP saya dari nomor asing. Hmm.. Informasi apa lagi ini?

Perampokan melibatkan pelaku perempuan sampai mengakibatkan korban meninggal? Rasa-rasanya, saya belum pernah menemui di Sidoarjo ada karakteristik perampokan seperti itu. Tapi kalaupun benar, kenapa harus rumah korban ini yang menjadi target? Bukan rumah tetangga yang lain.

Perumahan ini merupakan kluster yang homogen. Lalu bagaimana cara pelaku menentukan targetnya? Apa pelaku bergerak secara acak dalam menentukan target? Tapi.. Menurut pengalaman saya, tipikal rumah cluster di kawasan ini jarang diminati oleh pelaku perampokan.

Atau jangan-jangan, ini ada kaitannya dengan tumpukan sepeda motor yang ada di rumah korban? Karena menurut informasi, selain bekerja di pabrik kaca, Roni juga mempunyai usaha jual-beli dan gadai sepeda motor. Apa pelakunya adalah salah satu pemilik motor itu?

Orang yang dulu pernah menggadai motor, tiba-tiba datang ingin menebus kembali motornya. Namun karena harganya tidak cocok atau permasalahan lain, pemilik kendaraan menjadi emosi dan melampiaskannya kepada istri Roni yang kebetulan ada di rumah.

Ah.. itu baru asumsi liar saya. Setelah saya pikir kembali, informasi tentang wanita bersweater hitam itu bukan berasal dari orang yang ada di TKP. Baik keterpercayaan sumber maupun kevalidan informasi belum bisa dinilai. Belum A1. Sementara, saya tampung saja dulu.

Saya lanjutkan proses berpikir saya sembari menatap tampak depan rumah korban.

“Kalau kaya gini denahnya, berarti ga ada lagi akses selain pintu tempat kita masuk tadi ya, Rik?” Saya memberikan pertanyaan yang sebenarnya sudah jelas dan tak perlu dijawab.

Belum saja Erik memberikan jawaban, interaksi kami disela oleh seorang lelaki berbaju putih. “Izin, bang. Maaf terlambat. Tadi kami agak jauh dari sini.”

Amad yang datang terlambat, menyalami kami berdua namun tak berani menengadahkan kepalanya di depan saya.

Saya menyambut uluran tangan Amad tanpa memalingkan pandangan dari rumah dan kembali menghisap rokok di tangan. “Udahlah, kita bagi tugas aja. Saya butuh 20 orang anggota. Kalian berdua atur teknis pembagian di unitnya masing-masing.”

Setelah kalimat itu, saya lantas membagi anggota untuk melakukan beberapa tugas pengumpulan fakta. Harapan saya, kepingan puzzle ini akan terisi sedikit demi sedikit dan saya dapat memberikan kesimpulan siapa pelaku pembunuhan ini.

“Rik, tugas timmu perdalam keterangan suami, cari keterangan saksi di lokasi kerjanya terutama hari ini, dalami keterangan tetangga sekitar, sama cek CCTV. Setiap ada perkembangan informasi, lapor ke saya.”

“Siap, Ndan.” Erik menjawab dan mengangguk dengan penuh kesiapan.

“Mad, tugas timmu interogasi para keluarga yang datang ke TKP pertama kali, tanyakan detail kejadiannya. Runut riwayat semua pemilik motor yang ada di rumah korban, cari apa ada yang datang ke sini tadi pagi atau siang.”

“Itu aja, bang?” jawab Amad.

“Sama kerahkan juga tim kijang-1. Cari informasi tentang HP, perhiasan, sama uang korban yang hilang. Jangan lupa kerahkan agent untuk cari database pelaku perampokan di wilayah Surabaya -Sidoarjo.”

“Siap, bang. Tapi apa abang yakin ini perampokan?”

“Ya walaupun aku ga terlalu yakin, tapi bukan gitu cara kerjanya, Le. Justru kalau ragu, kita negasikan kemungkinan-kemungkinan itu dengan pencarian fakta. Setiap asumsi, masih mungkin benar selama belum terbukti salah.” Saya mencoba memberi pengertian kepada Amad.

“Udah sana, bubar. Nanti titik kumpul ku kasih tau di grup.” Kalimat itu menjadi pamungkas pertemuan kami sore itu. Saya sengaja pergi dan mengambil jarak dari TKP untuk menghindari kebocoran informasi. Saya tidak mau mengabaikan kemungkinan kalau pelaku masih ada di sekitar TKP.

Saya pun segera pergi dari TKP bersama dengan Heri. Kali ini, saya arahkan tujuan saya ke warung Bebek Goreng H. Slamet di Juanda; mengisi pondasi sambil menganalisa dan memikirkan strategi.

“Bebek kriuk 1 sama bebek paha 1 ya, Mbak. Sambelnya double semua ya.” Saya segera memesan 2 porsi bebek dengan ekstra sambal untuk camilan sore itu. Untuk pecinta pedas seperti saya, sambel korek H. Slamet memang tak ada duanya.

1 jam berlalu dan saya masih duduk memandangi langit Juanda sore itu. Walaupun di meja saya ada makanan yang cukup enak, tapi tetap saja perasaan saya tak cukup tenang karena harus menunggu kabar dari anggota tim yang sedang bekerja.

“Perkembangan?” Akhirnya, saya pun tak cukup sabar. Saya ketikkan sebuah pertanyaan ke grup untuk mengetahui perkembangan penyelidikan anggota. Tak lama dari itu, ada panggilan masuk dari Erik.

“Ah, akhirnya ada perkembangan.”, gumam saya.

“Izin, Ndan. Melaporkan temuan sementara dari tetangga. Jadi menurut tetangga korban yang berjarak beberapa rumah dari TKP, setelah 10 menit Roni masuk ke rumah, Roni ini keluar lagi dan berteriak ‘bojoku..bojoku..’ ke tetangganya.”

“Nah, tetangga ini sempat liat di wajah Roni ada noda darah. Akhirnya karena itu, tetangga ga jadi nyamperin ke rumah korban,” jelas Erik.

Baca Juga: Sok Jago Bawa Golok di Jalan, Pria Asal Berbek Ditangkap Sat Samapta Polresta Sidoarjo

“Lah kok tau ada darah malah ga nyamperin, Rik?” Saya bertanya untuk mempertanyakan kejanggalan respon saksi terhadap peristiwa itu.

“Jadi gini, Ndan.. Sebenarnya Roni ini tidak terlalu dekat dengan tetangga-tetangganya. Terus katanya, Roni juga sering terdengar marah-marah kalau di rumah. Makanya tetangganya takut mau ikut masuk ke rumah waktu tau ada noda darah di wajahnya Roni.”

“Oh, makanya Roni milih minta tolong ke keluarganya yang jauh daripada minta tolong ke tetangganya ya, Rik?” Saya merespon laporan Erik dengan pertanyaan retoris yang mungkin menghubungkan runtutan peristiwa yang terjadi siang itu.

“Sepertinya nggih ngoten, Ndan.”

“Terus yang lain, Rik?”

“Oya, Ndan. Kami juga ngecek ke lokasi kerjanya Roni. Jadi Roni ini pulang waktu jam istirahat siang make motor majikannya. Katanya perasaannya ga enak makanya izin pulang. Padahal biasanya ga pulang kalo cuma istirahat, Ndan.”

“Waktu itu pake baju apa dia, Rik?”

“Aduh, lupa nanya saya, Ndan.” “Hmm.. Yang detail to kalo gali informasi. Ojo koyo serse anyaran.”

“Siap nanti kami perdalam lagi, Ndan.” Erik merespon kekurangtelitiannya.

“Terus, ada yang lain lagi ga? Saksi lain di TKP?”

“Apa lagi ya, Ndan? Hmm.. Oh, kami juga dalami tetangga yang liat Roni waktu masuk ke rumah, Ndan. Jadi saksi ini sedang rokokan di depan rumahnya kan, Ndan. Terus dia ini liat Roni datang dan masuk ke rumah sekitar jam 12."

“Nah, waktu dia rokokan itu, dia liat ada orang lain masuk rumah ga?”

“Pokoknya dia nongkrong itu habis rokok sebatang, terus Roni datang.”

“Hmm.. Rokoknya dia apa, Rik? Samsu, Mild, atau Marlboro?”

“Hahaha.. Jenengan itu lho.. Boten kulo tangleti, Ndan”

“Lho, aku ga bercanda ini, Rik. Itu buat ngukur berapa lama waktu dia di sana. Sebatang Samsu sama sebatang Marlboro itu habisnya beda. Itu bisa kita pake untuk menentukan rentang waktu peristiwa.”

“Oh siap, Ndan. Saya tanya lagi kalo gitu.”

“Sementara itu dulu, Ndan. Saya lanjut lagi cari baket untuk memperdalam.” Erik langsung merespon kritikan saya tentang detail dengan kalimat pamit untuk melanjutkan pencarian fakta. Dua buah detail yang tak bisa dijawab Erik ternyata telah membawa pandangan tersendiri buatnya.

Ketika berada di lapangan memecahkan sebuah kasus, anggota sering dihadapkan pada pemeriksaan banyak hal yang membuat mereka kadang terlupa pada detail kecil. Tapi perhatian terhadap detail kecil bisa sangat menentukan kepada hasil deduksi akhir penyelidikan.

Dan sebagai kepala investigasi kasus, tugas saya adalah mengawasi jangan sampai ada detail kecil yang terlewat. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan saya sering kali bolak-balik ke TKP. Mencari detail-detail kecil yang mungkin terlewat oleh ketika pemeriksaan terdahulu.

Setelah Erik berpamitan di telepon, saya kembali memutar ingatan saya kepada fakta-fakta yang telah terkumpul. Semuanya fakta belum terhubung oleh benang merah yang logis. Kenapa harus wanita itu menjadi korbannya? Kenapa harus siang hari? Kenapa Roni waktu itu kebetulan pulang?

Saya selalu menganggap kasus misteri seperti layaknya soal matematika. Baik fakta kejadian, alur waktu, dan bukti yang scientific terhubung oleh sebuah alur penalaran yang logis. Hingga pada akhirnya, semua bermuara pada kesimpulan yang tak terbantahkan.

Tapi, sampai sekarang saya belum menemukan motif yang setidaknya menghubungkan semua fakta itu. Hmm.. Sudahlah.. Sebats saja dulu. Saya nyalakan sebatang rokok untuk asupan otak berpikir. Siapa tau ada jalan.

Matahari sudah mulai tenggelam dan menyisakan langit jingga di beranda resto itu. Tiba-tiba, terdapat panggilan masuk dari Dika, salah satu anggota Resmob. “Izin, Ndan. Ada info kalau Roni ini punya teman perempuan. Dan kemarin Minggu dia habis ketemu sama perempuan itu.”

“Hee? Teman perempuan gimana, Dik?”

“Ya kami masih belum tau, Ndan. Tapi layak kita dalami ini.”

“Yowis kono dalami. Cari tau apa hubungan mereka. Gass!” Saya memberikan perintah kepada anggota untuk memperjelas informasi awal yang didapat anggota.

Kalau tidak saya tindaklanjuti, informasi itu justru hanya akan jadi prasangka. Tapi kalau informasi itu benar adanya, intuisi saya mengatakan hal ini akan menjadi pintu pembuka menuju benang merah yang saya cari.

Dan pencarian terhadap sosok wanita itu pun dimulai. Tim bergerak untuk mencari apa yang sebenarnya terjadi hari Minggu kemarin. Siapa wanita itu? Apa hubungannya dengan Roni? Apa pembicaraan yang terjadi diantara keduanya?

2 jam berlalu, anggota pun berhasil menemui wanita paruh baya itu di salah satu daerah yang masih berada di wilayah Sidoarjo, walau berbeda kecamatan dengan TKP. Wanita itupun dengan sukarela menceritakan apa yang terjadi hari Minggu itu.

Menurut keterangan si wanita, pada Minggu malam dirinya diajak pergi untuk makan bakso oleh Roni. Hubungan keduanya adalah teman dan mereka pergi berbicara seperti biasa. Selain itu, diketahui juga kalau wanita itu juga mengenal istri Roni.

“Di pembicaraan keduanya malam itu, ada pembicaraan menjurus ga, Dik?” Saya bertanya kepada Dika melalui telepon untuk sekedar memastikan asumsi.

“Sepertinya dari Roni ada, Ndan. Cuma wanita ini menolak karena dia adalah teman istri Roni,” jawab Dika singkat.

“Udahlah cukup, Dik. Kita udah dapet motif. Kamu paham to?” Saya coba menanyakan kepada Dika apakah dia punya persepsi yang sama dengan saya.

“Nggih, Ndan. Cukup. Perempuan ini ga tau-menau juga kejadian lainnya,” jawab Dika.

“Oke. Sekarang kamu cek keterangan Roni sama tim lain. Apa kata dia tentang kejadian minggu malam itu.” Saya memberikan perintah tambahan kepada Dika untuk memastikan hal lain.

“Siap, Ndan. Saya hubungi Pak Erik.”

10 menit berlalu, Erik pun menelepon. “Laporan, Ndan. Roni nutup.”

“Maksudmu gimana, Rik?” Saya bertanya memperjelas.

“Dia cuma jawab betul ketemu perempuan itu makan bakso, Ndan. Masalah apa yang diobrolkan, dia cuma bilang ngobrol biasa.”

Jawaban tertutup Roni itu mengisyaratkan kalau dia sedang menutupi sesuatu. Seorang laki-laki beristri bertemu berdua dengan wanita di luar rumah dan menutup ketika ditanya. Hmm.. Tak apa. Setidaknya saya sekarang sudah mendapatkan dugaan motif. (bersambung )

*) Source : Prabu_Abimanyu (a.ka Kompol Tiksnarto Andaru Rahutomo / Kasatreskrim Polresta Sidoarjo)

 

Editor : Syaiful Anwar