70.000 Lulusan S2 dan PhD di China Jadi Kurir: Kenapa Bisa Terjadi?

Reporter : -
70.000 Lulusan S2 dan PhD di China Jadi Kurir: Kenapa Bisa Terjadi?
Ojek di China

Bayangkan, kamu sudah menghabiskan bertahun-tahun belajar, lulus S2 (Magister) atau bahkan PhD, lalu akhirnya bekerja sebagai kurir makanan. Sounds crazy? Tapi ini yang benar-benar terjadi di China.

Menurut laporan Meituan, ada lebih dari 70.000 driver delivery di China yang bergelar S2 atau doktor. Mereka bukan hanya lulusan biasa, tapi banyak yang punya background teknik, ekonomi, bahkan sains.

Baca Juga: Polrestabes Palembang Tangkap Perampok Driver Taksi Online

Kenapa bisa begini? Mari kita bahas.

1. Pasar Kerja China Sedang Kacau

China punya lebih dari 11 juta lulusan baru setiap tahun, sementara lapangan kerja makin terbatas.

Banyak perusahaan PHK besar-besaran, terutama di sektor teknologi dan pendidikan.

Gelar tinggi ≠ pekerjaan bergaji tinggi. Bahkan, beberapa fresh graduate kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak.

Kompetisi makin gila! Lulusan PhD harus bersaing dengan S1 untuk pekerjaan yang sama.

Hasilnya? Banyak yang akhirnya jadi kurir demi bertahan hidup.

2. Gaji Kurir di China Ternyata Cukup Tinggi

Baca Juga: Ricuh Ojek Pangkalan vs Ojol di Kabupaten Bandung

Jangan salah! Jadi kurir di China bukan berarti miskin.

Penghasilan kurir di kota besar bisa mencapai 10.000-15.000 yuan/bulan (~Rp21-32 juta). Bandingkan dengan gaji fresh graduate yang rata-rata hanya 6.000-8.000 yuan/bulan (~Rp12-17 juta). Plus, tidak ada tekanan kantor, lebih fleksibel, dan bisa langsung dapat uang.

Jadi, buat banyak orang, ini bukan soal gengsi, tapi soal bertahan.

3. Apa Pelajaran yang Bisa Kita Ambil?

Gelar tinggi bukan jaminan sukses. Dunia kerja berubah cepat, dan skill lebih penting dari sekadar ijazah.

Baca Juga: Mewawancarai Abang Ojol Mengungkap Fakta Betapa "Cerdasnya" Bisnis Ojol

Adaptasi itu kunci. Mau PhD atau bukan, yang bisa bertahan adalah mereka yang fleksibel dengan perubahan.

Gengsi nggak bisa bayar tagihan. Kadang, lebih baik kerja dulu daripada nganggur terlalu lama.

Di Indonesia, fenomena ini mungkin belum sebesar di China, tapi siapa tahu akan terjadi di masa depan?

Bagaimana menurutmu? Apakah kita masih terlalu bergantung pada gelar akademik? Atau seharusnya lebih fokus pada keterampilan? 

*) Source : Abdullah Syami Al-Attas (Digital Marketing & Communication)

Editor : Zainuddin Qodir