Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Naik, Tapi Jeblok di Demokrasi

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Indonesia Corruption Watch (ICW) Indonesia kembali menggelar Workshop 'Kebijakan Publik dan Demokrasi' pada Minggu, 23 Maret 2025 di Sekretariat AJI Jakarta, Kalibata, Jakarta Selatan.
Workshop ini dihadiri oleh puluhan jurnalis di Jakarta dan sekitarnya. Turut hadir pula Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Amir Arief dan Aktivis Hak-Hak Perempuan dan ahli politik, Siti Musdah Mulia sebagai narasumber.
Baca Juga: Demokrasi Kian Merosot Imbas Cawe-cawe Pemerintah
Amir mengungkapkan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia memang mengalami peningkatan pada 2024, dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada 2024, IPK Indonesia rata-rata 37. Sedangkan pada 2023, rata-ratanya hanya 37.
Namun, hal ini dikarenakan ada tambahan satu indikator pada 2024. Semula indikator IPK hanya ada 8, yaitu Global Insight Country Risk Ratings, IMD World Competitiveness Yearbook, Economist Intelligence Unit Country Ratings, PRS International Country Risk Guide, Bertelsmann Foundation Transform Index, PERC Asia Risk Guide, Varieties of Democracy Project dan World Justice Project Rule of Law Index. Kemudian ditambah satu indikator yakni 'World Economic Forum EOS' pada 2024.
Nilai indikator World Economic Forum EOS menyumbang paling banyak pada IPK, yakni 61.
"Mungkin ini ya karena nambah 1 indikator, jadi lumayan naik. kalau kita berbangga indeks persepsi korupsi kita naik, jangan bangga dulu, kondisi antikorupsi tidak membaik sebenarnya di tahun 2024," kata Amir.
Jika dipreteli satu-satu, kenaikan nilai terdapat pada indikator-indikator yang berkaitan dengan ekonomi. Namun, indikator yang berkaitan dengan demokrasi terdeteksi menurun. Nilai pada indikator Varieties of Democracy Project hanya 22, lebih sedikit dari tahun sebelumnya yang mendapat nilai 25.
"Kesehatan demokrasi kita malah turun di tahun 2024. Tapi kita terbantunya oleh World Economic Forum," ujar dia,
"Kalau kita berbangga indeks persepsi korupsi kita naik, jangan bangga dulu, kondisi antikorupsi tidak membaik sebenarnya di tahun 2024," tambahnya.
Baca Juga: 2 Orang Jurnalis di Gorontalo Dapat Serangan Digital Usai Nulis Tambang Ilegal
Aktivis Hak-Hak Perempuan dan ahli politik, Siti Musdah Mulia banyak menyoroti maraknya politik identitas yang justru menghambat demokrasi di Indonesia.
Musdah mengungkapkan alasan mengapa politik identitas masih laku di Indonesia. Pertama, politik identitas adalah cara paling murah dan mudah untuk melakukan mobilisasi massa demi memenangkan pertarungan politik, Kedua, Politik identitas cara paling efektif menggugah emosional individu dan masyarakat.
Ketiga, Politik identitas dengan berbagai dinamikanya telah menciptakan momentum bagi kebangkitan kelompok islamis atau Islam formalis. Keempat, politik identitas masih akan terus dipakai selama daya kritis masyarakat rendah dan wacana kebohongan yang intens berhasil menciptakan keraguan.
Musdah menyebut tidak semua politik identitas berbahaya. Namun, politik identitas akan menjadi berbahaya jika dipakai sebagai legitimasi untuk menempatkan satu identitas dalam posisi superior,dan lainnya cuma subordinat. Kemudian juga dipakai sebagai legitimasi untuk memisahkan secara tegas satu kelompok dengan kelompok yang lain.
"Dan juga berbahaya jika politik identitas dipakai sebagai legitimasi untuk menerima tradisi, doktrin, sejarah dan pandangan tanpa kritik," jelas dia.
Baca Juga: AJI Semarang Kecam Upaya Oknum Wartawan Intervensi Kasus Siswa Ditembak Polisi
Dia berpendapat politik identitas akan membuat pragmatisme politik yang semakin mengaburkan posisi agama dan negara dalam konteks demokrasi. Agama juga, menurut dia, akan selalu digunakan utk kepentingan politik jangka pendek. Sebaliknya, negara akan dijadikan tameng pembela agama demi kekuasaan semata.
Musdah mengingatkan membiarkan politik identitas berarti memberikan ruang pada gerakan Islamisme yang mengedepankan sikap intoleran dan eksklusifisme yang menggiring pada konflik dan kekerasan ekstremisme.
Politik identitas juga, menurutnya dapat meningkatkan tindak intoleransi dan persekusi di wilayah publik akan semakin luas. Dia menyebut kondisi ini semakin parah akibat rendahnya tingkat literasi masyarakat dan budaya kritis serta penegakan hukum.
"Politik identitas juga akan menghambat demokrasi. Sebab, politik identitas hanya akan tumbuh di negara yang tidak inklusif dan toleran," ungkapnya. (*)
Editor : Zainuddin Qodir