Esai
Persekongkolan Sistematis dalam RUU Polri

Di balik layar institusi Kepolisian Indonesia, ada cerita yang menurut saya lebih dalam dari sekedar penegakan hukum saat ini, yaitu cerita tentang kekuasaan, ambisi, dan potensi persekongkolan sistematis yang kini terlihat dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri yang terbaru. Jika boleh saya singgung sembari mengingatkan, bermula dari kasus kopi sianida yang menjerat Jessica Kumala Wongso pada 2016, sebuah kasus yang tidak hanya mengguncang publik, tetapi juga menjadi titik awal sorotan terhadap kenaikan karier sejumlah perwira tinggi Polri seperti Krishna Murti, Listyo Sigit Prabowo, Tito Karnavian, dan Ferdy Sambo.
Dari kasus sianida ini, kita dapat melihat kenaikan karir ke posisi yang lebih strategis bagi Tito sebagai Menteri Dalam Negeri, Listyo sebagai Kapolri, yang tampaknya menjadi pengaman kekuasaan Presiden Joko Widodo (saat itu). Dan publik tentu tidak lupa, peran Ferdy Sambo yang saat itu masih samar, seolah menjawab salah satu misteri ketika dirinya menjadi pelaku penembakan bawahannya.
Baca Juga: Kapolri Pimpin Sertijab Sejumlah Pejabat Polri
Publik pun semakin penasaran, kasus yang menimpa Ferdy Sambo menguak “kode 303”, yang nampaknya, mengerucut ke mafia judi online di Indonesia. Maka bisa jadi, jika Presiden Prabowo menginginkan perubahan total di dalam institusi Polri, mungkin bisa dimulai investigasi terhadap kasus Jessica Kumala Wongso.
Kasus kopi sianida pada 6 Januari 2016, yang merenggut nyawa Wayan Mirna Salihin, menjadi panggung awal dari kontroversi. Jessica Wongso ditetapkan sebagai tersangka oleh Krishna Murti, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, dan divonis 20 tahun penjara pada Oktober 2016. Prosesnya penuh tanda tanya, di mana bukti CCTV tidak jelas, tuduhan Jessica bahwa Krishna memaksanya mengaku, dan minimnya bukti forensik langsung.
Promosi Karir Krishna Murti, yang sebelumnya menjabat sebagai Kombes, ia naik menjadi Wakapolda Lampung (Brigjen) pada tahun 2016, lalu menjadi Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri (Irjen) pada tahun 2022 di bawah Kapolri Listyo Sigit. Kecepatan promosi ini tentu mencurigakan, apalagi dengan adanya tuduhan dari Jessica bahwa Krishna menekannya demi hasil cepat. Dan akhirnya, memunculkan pertanyaan, “Ada apa?”
Listyo Sigit Prabowo yang saat kasus sianida sedang berlangsung, Listyo merupakan Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Jawa Tengah, tidak terlibat langsung. Tapi pada tahun 2016, ia menjadi ajudan Presiden Joko Widodo (Jokowi), lalu melesat menjadi Kapolri pada tahun 2021.
Jejaringnya dengan Krishna (sama-sama Akpol 1991) dan kedekatan dengan Jokowi memunculkan pertanyaan yang lain, “Apakah ada hubungannya dengan kasus Jessica Kumala Wongso?”
Sedangkan Tito Karnavian, yang dilantik sebagai Kapolri pada Juli 2016, saat kasus Jessica sedang panas, di mana Tito mengawasi prosesnya secara institusional. Namun pada tahun tahun 2019, ia mendapat promosi menjadi Menteri Dalam Negeri (Mendagri), posisi strategis yang memperkuat pengaruhnya di lingkaran Jokowi. Atau, justru memperkuat pengaruh Jokowi di Polri.
Nah yang terakhir yaitu Ferdy Sambo, di mana saat itu posisinya yang sebagai Kasubdit Jatanras Polda Metro Jaya. Sambo tentunya mempunyai peran untuk membantu Krishna Mukti dalam mengumpulkan bukti. Kariernya naik hingga menjadi Kepala Divisi (Kadiv) Propam (Irjen) pada tahun 2021, sebelum akhirnya jatuh akibat kasus Brigadir J pada tahun 2022.
Apa yang mencurigakan? Promosi cepat Krishna dan Sambo pasca kasus Jessica, meski prosesnya dianggap bermasalah, menimbulkan dugaan bahwa "keberhasilan" menutup kasus ini merupakan sebuah tiket dalam kenaikan karier. Tito dan Listyo, meski tidak terlibat langsung, tampaknya diuntungkan oleh stabilitas Polri yang terjaga, memperkuat posisi mereka di mata Jokowi.
Pengaman Kekuasaan Jokowi
Selama dua periode kepemimpinannya (2014–2024), Jokowi membangun kekuasaan yang kokoh dengan menempatkan Tito Karnavian dan Listyo Sigit Prabowo di posisi strategis. Tito, sebagai Menteri Dalam Negeri sejak tahun 2019, mengendalikan pemerintahan daerah dan mengawal Pilkada 2024—melibatkan 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota—untuk memastikan transisi mulus ke Prabowo-Gibran, putra sulung Jokowi.
Dirinya juga mendukung proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan anggaran Rp 71,8 triliun hingga tahun 2024, menegaskan loyalitasnya yang terbentuk sejak Bom Sarinah pada tahun 2016.
Sementara itu, Listyo, Kapolri sejak tahun 2021, menjaga keamanan internal, seperti menangani Tragedi Kanjuruhan pada tahun 2022 dan mengerahkan 12.584 personel untuk proyek nasional pada tahun 2023, didukung kedekatan dengan Jokowi sejak Solo dan jejaring Akpol 1991.
Jokowi memperkuat Polri sebagai alat kekuasaan melalui insentif nyata, dimana anggaran naik dari Rp 81,2 triliun (2015) menjadi Rp 111,8 triliun (2024), program perumahan 50.000 unit mulai 2025, dan wacana perpanjangan usia pensiun dari 58 ke 60 tahun.
Fakta ini bukan sekadar kesejahteraan, melainkan strategi mengikat loyalitas Polri untuk melindungi legacy Jokowi pasca lengser, terutama dengan Gibran sebagai Wakil Presiden terpilih.
Tito dan Listyo, dengan peran masing-masing, menjadi pilar yang memastikan stabilitas politik dan agenda nasional tetap berjalan sesuai kepentingan Jokowi. Kombinasi loyalitas personal, jejaring strategis, dan dukungan institusional menjadikan Tito dan Listyo sebagai elemen kunci dalam arsitektur kekuasaan Jokowi. Mereka tidak hanya menjalankan tugas, tetapi juga menjaga pengaruh Jokowi pasca 2024 melalui transisi ke Prabowo-Gibran.
Dengan demikian, keduanya membentuk benteng yang terencana untuk melindungi stabilitas politik dan warisan Jokowi di masa depan.
RUU Polri dan Persekongkolan yang Sistematis
Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri, diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Mei 2024, diklaim sebagai langkah modernisasi, namun justru menunjukkan pola yang sistematis untuk memperluas wewenang Polri tanpa pengawasan yang memadai.
Pasal 16A mengizinkan penyadapan "dalam lingkup tugas kepolisian" tanpa batasan jenis kejahatan, rujukan undang-undang khusus, atau keharusan izin dari pengadilan—berbeda dengan UU Terorisme yang mensyaratkan persetujuan hakim.
Dengan absennya regulasi penyadapan yang jelas dan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) 2022 yang masih lemah implementasinya, privasi rakyat terancam karena polisi bisa menyadap siapa saja, kapan saja, tanpa alasan kuat.
Ekspansi wewenang ini membuka peluang penyalahgunaan, terutama untuk membungkam kritik. YLBHI mencatat terdapat 130 kasus kriminalisasi aktivis dan jurnalis antara 2019-2024, seringnya dengan tuduhan seperti penghinaan atau makar, seperti kasus Ravio Patra pada 2020 yang didasarkan pada komunikasi pribadi.
Data sadapan tanpa pengawasan ketat dapat memperparah tren ini, menciptakan efek chilling effect di mana masyarakat takut untuk bicara atau mengkritik pemerintah karena khawatir akan disadap, sebagaimana ditunjukkan pada penurunan skor kebebasan sipil Indonesia dalam laporan Freedom House 2023.
RUU Polri bukan sekadar revisi teknis, melainkan cerminan persekongkolan sistematis untuk mengkonsolidasikan kekuasaan melalui instrumen hukum. Tanpa pengawasan yang ketat, batasan wewenang yang jelas, dan jaminan hak asasi, Polri berisiko menjadi alat represi alih-alih sebagai pelindung rakyat.
Jika dibiarkan, RUU ini bukan lagi tentang modernisasi, melainkan langkah mundur menuju era otoritarianisme di mana privasi dan kebebasan berekspresi menjadi korban.
Pasal Kontroversial Lain
Sebagai bahan informasi, RUU Polri juga memuat sejumlah pasal kontroversial yang berpotensi menguatkan kontrol negara atas kehidupan rakyat. Salah satunya adalah Pasal 16B tentang Intelijen Keamanan, yang memberikan wewenang kepada Polri untuk mendeteksi "ancaman keamanan nasional." Istilah ini dibiarkan terlalu luas dan ambigu, membuka celah bagi interpretasi sewenang-wenang.
Pada masa Orde Baru, konsep serupa juga digunakan melalui dwifungsi ABRI untuk membungkam kelompok seperti aktivis lingkungan atau buruh yang dianggap mengganggu stabilitas. Data dari Amnesty International Indonesia menunjukkan bahwa sejak 2019, sedikitnya ada 63 aktivis lingkungan yang menghadapi intimidasi atau kriminalisasi, tren yang bisa memburuk dengan keberadaan pasal tadi di RUU Polri.
Tanpa definisi yang jelas dan pengawasan yang ketat, Polri dapat menyasar siapa saja yang dianggap "mengancam", mengulang pola represif di masa lalu. Pasal lain yang menuai kritik adalah Pasal 30 tentang perpanjangan usia pensiun, di mana ketentuan ini memungkinkan Kapolri tetap menjabat tanpa batas usia maksimal, asalkan mendapat Keputusan Presiden (Keppres).
Aturan ini dapat menghambat regenerasi di tubuh Polri dan berpotensi memperpanjang kekuasaan figur tertentu, menyerupai pola sentralisasi kekuasaan era Orde Baru.
Data historis menunjukkan bahwa pada masa Soeharto, masa jabatan pejabat tinggi sering diperpanjang untuk memastikan loyalitas, seperti Jenderal Wiranto yang menjabat Panglima ABRI hingga 1999 meski usianya telah melewati batas umum.
Baca Juga: Kapolri Ajak Masyarakat Terus Sosialisasikan Bahaya Judi Online
Dalam konteks saat ini, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) pada 2023, telah mengingatkan tentang pentingnya rotasi kepemimpinan untuk menjaga profesionalisme, namun RUU ini justru berlawanan dengan rekomendasi tersebut. Akibatnya, Polri berisiko menjadi alat politik alih-alih institusi yang melayani publik.
Nah yang tidak kalah mengkhawatirkan, Pasal 14 tentang pengawasan siber memberikan Polri kuasa untuk memblokir internet atau sinyal tanpa batasan yang jelas. Ketentuan ini mengancam kebebasan digital, terutama setelah kasus pemblokiran internet di Papua pada 2019 yang dikritik keras oleh Komnas HAM, karena melanggar hak warga atas informasi.
Laporan Freedom House 2023 mencatat bahwa skor kebebasan internet Indonesia, turun menjadi 47/100 akibat intervensi negara yang berlebihan, dan pasal ini dapat memperparah situasi tersebut. Tanpa mekanisme pengawasan independen atau kriteria yang tegas, Polri bisa menutup akses digital kapan saja dengan dalih keamanan, mengekang ruang ekspresi rakyat di era di mana media sosial menjadi sarana utama dalam menyuarakan kritik.
Ketiga pasal tadi—Intelijen Keamanan, perpanjangan usia pensiun, dan pengawasan siber—mencerminkan pola sistematis untuk memperluas wewenang Polri, mengorbankan demokrasi, dan mengingatkan kita pada bayang-bayang otoritarianisme.
Kesimpulan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri yang diusulkan DPR pada Mei 2024, mencerminkan pola sistematis untuk menjadikan Polri sebagai alat kekuasaan, dengan akar yang terlihat sejak kasus Jessica Wongso 2016. Kasus itu, yang melibatkan Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolda Banten, menunjukkan dugaan manipulasi demi prestasi, diikuti dengan lonjakan karirnya hingga menjadi Kapolri pada 2021.
Tito Karnavian, Kapolri 2016-2019 dan kini Mendagri, bersama Listyo yang didukung oleh Jokowi, memperkuat Polri sebagai pilar loyalitas politik. RUU Polri memperluas wewenang mulai dari penyadapan tanpa izin pengadilan (Pasal 16A), hingga pengawasan siber (Pasal 14) yang berpotensi menargetkan aktivis, jurnalis, dan kritikus.
Pasal 16B tentang intelijen keamanan memberi Polri kuasa mendeteksi "ancaman keamanan nasional" tanpa definisi jelas, mengingatkan pada dwifungsi ABRI era Orde Baru yang membungkam kelompok sipil.
Di balik RUU ini, ada jejak pengaruh Jokowi yang ingin abadi pasca 2024. Tito di Mendagri dan Listyo di Polri, ditambah Gibran sebagai Wakil Presiden usai putusan kontroversial MK di bawah Anwar Usman, menunjukkan konsolidasi kekuasaan keluarga. Pasal-pasal di dalam RUU Polri berpotensi menjadi alat yang sangat potensial untuk melanggengkan dominasi ini, dengan Polri berubah dari penegak hukum menjadi instrumen politik.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian pada Juni 2024, memperingatkan bahwa tanpa pengawasan yang ketat, seperti penguatan Kompolnas yang diabaikan, Polri bisa menjadi lembaga "superbody" yang mengorbankan kebebasan rakyat.
Dengan wewenang tak terkendali, RUU Polri bukanlah modernisasi, melainkan langkah mundur ke otoritarianisme. Penyadapan, pemblokiran internet, dan intelijen tanpa pengawasan membuka peluang represi massal, sementara perpanjangan jabatan memperkuat kontrol eksekutif.
Jika dibiarkan, demokrasi akan tergerus, dan pengaruh Jokowi—lewat Gibran dan Polri—bisa bertahan lama, mengulang pola Orde Baru di mana kekuasaan mengesampingkan hak rakyat. (*)
*) Ditulis oleh Hara Nirankara. (X : @hnirankara)
Daftar Pustaka:
Amnesty International Indonesia. (2023).
Laporan Tahunan 2019-2023: Kebebasan Sipil dan Intimidasi Aktivis Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Amnesty International Indonesia.
Baca Juga: Sinergi Ulama dan Polisi Jaga Keamanan Dapat Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi
Freedom House. (2023).
Freedom in the World 2023: Indonesia Country Report. Washington, DC: Freedom House.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). (2019).
Laporan Investigasi Pemblokiran Internet di Papua 2019. Jakarta: Komnas HAM.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). (2023). Laporan Tahunan 2023: Rekomendasi Reformasi Kepolisian. Jakarta: Kompolnas.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian. (2024, Juni).
Pernyataan Sikap: Kritik terhadap RUU Polri. Jakarta: Koalisi Masyarakat Sipil. Kumala, R. (2024, Mei 15).
"RUU Polri: Modernisasi atau Konsolidasi Kekuasaan?" Kompas. Diakses pada 23 Maret 2025, dari laman Kompas. Kurniawan, A. (2022).
Ferdy Sambo dan Kode 303: Menguak Jaringan Mafia Judi Online. Jakarta: Penerbit Gramedia.
Pemerintah Republik Indonesia. (2018). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Jakarta: Sekretariat Negara.
Pemerintah Republik Indonesia. (2022). Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Jakarta: Sekretariat Negara.
Pemerintah Republik Indonesia. (2024). Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024. Jakarta: Kementerian Keuangan.
Prabowo, L. S. (2021). Biografi Listyo Sigit Prabowo: Dari Ajudan ke Kapolri. Jakarta: Penerbit Suara Rakyat.
Salihin, W. M. (2017). Kopi Sianida: Kronologi Kasus Jessica Wongso. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). (2024). Laporan 2019-2024:
Kriminalisasi Aktivis dan Jurnalis di Indonesia. Jakarta: YLBHI.
Editor : Zainuddin Qodir