Kisah Seorang Dokter yang Hampir Menyerah Saat Ujian Alih Program, Lulus Berkat Tawakkal dan Doa

Akhada Maulana, seorang Dokter (dr) spesialis urologi yang berpraktik di Rumah Sakit Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat, membagikan cerita saat dia menghadapi kepasrahan hidup di kala ujian alih program. Bukannya menyerah pada keadaan yang dianggap sulit, justru dia berusaha melalui "jalur langit".
Akhada Maulana masih terngiang dalam ingatannya, 20 tahun lalu, saat dia bermunajat di Masjid Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito. Saat Ramadahan 2025, dia berkunjung ke masjid tersebut dan mengenangnya sebagai salah satu tempat berjuangnya melalui jalur langit.
Baca Juga: Kritik Keras Guru Besar Kriminolog Universitas Indonesia Terhadap Polri
Masjid RSUP Dr Sardjito adalah salah satu tempat bersejarah baginya. 20 tahun yang lalu, dia masih Residen Bedah Umum Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (FK UGM). Saat itu, dia memutuskan untuk alih program (pindah sekolah) ke Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM) Jakarta. Tapi tentu harus ujian dulu.
Waktu itu peserta ujian sebanyak 10 orang, tapi yang bersaing sebanyak 9 orang untuk diterima sebagai Residen Urologi yang baru. Sementara Akhada Maulana bersaing melawan dirinya sendiri untuk diterima sebagai Residen semester 5.
Sebelum ujian, Akhada Maulana diberi soal-soal ujian yang lama di Residen Urologi FK UI yang stase di Jogjakarta. Begitu pula dengan adik kelasnya yang merupakan Residen Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kata mereka, soal berulang sekitar 70%.
Saat itu, Akhada Maulana dalam puncak optimisme. Bagaimana tidak. Akhada Maulana sendirian. Dosen, calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Fakultas Kedokteran Universitas Mataram (Unram) (mendapat prioritas karena dari Indonesia Timur), dan sudah Residen Bedah Umum semester 6.
Akhada Maulana belajar persiapan ujian di sela-sela stase. Bahkan 1 pekan sebelum ujian, Akhada Maulana sudah di Jakarta. Namun sudah tidak menyentuh buku teori, hanya belajar soal-soal saja.
Disaat optimisme tinggi tersebut, hari ujian tulis tiba. Dan pas bertepatan di bulan Ramadhan 1426 Hijriyah, ternyata benar. Dari 100 soal ujian tulis, 70 % lebih....... beda.
"Lemaslah saya saat itu. Pucat. Karena apa yang saya pelajari beda dengan yang keluar. Selesai ujian, saya keluar serasa bagai orang kalah perang. Besoknya saya pulang, nyampai Bandara Yogjakarta, dijemput istri dan anak laki-laki saya yang masih kecil (1 tahun). Mereka mengajak saya bercanda. Namun saya sudah lemas dan tidak berselera. Tapi saya putuskan tidak boleh menyerah. Saya harus keterima. No way back. Ketika usaha secara manusia sudah maksimal, maka usaha secara jalur langit harus dilakukan secara maksimal juga," kata Akhada Maulana.
Lalu bertepatan dengan bulan Ramadhan, akhirnya Akhada Maulana memutuskan untuk all out minta pada Allah. Selama bulan Ramadhan tersebut, di sela-sela operasi, jaga, dan poli, Akhada Maulana selalu meluangkan waktu untuk shalat hajat dan mengejar target mengkhatamkan Qur'an.
"Mungkin buat orang lain hal tersebut biasa, namun bagi saya adalah luar biasa. Karena saat itu saya belum pernah mengkhatamkan Al Qur'an secara sempurna. Saat itu mental saya benar-benar down. Karena secara teori, saya tidak akan lulus. Mungkin perkiraan nilai saya 30 % yang bener dari seluruh soal. Pesimisme sangat tinggi. Namun saya selalu ingat ayat QS Al Mukmin : 60 'Berdoalah kepadaku, niscaya aku kabulkan untukmu'. Dan kira wajib prasangka baik kepada Allah," ungkap Akhada Maulana.
Baca Juga: Universitas Indonesia Tangguhkan Gelar Doktor Bahlil Lahadalia
Dalam kondisi nyaris putus asa, Akhada Maulana tetap optimis, yakin Allah akan kabulkan doanya. Dia selalu Shalat Hajat, bahkan lebih dari dua kali sehari. Dan ibadah tersebut sering dikerjakan di Masjid RSUP Dr. Sardjito.
Menjelang Idul Fitri, diumumkan kalau pengumuman ditunda sampai 1 pekan setelah Ied.
Pada hari bersejarah tersebut, Akhada Maulana ke masjid RSUP Dr. Sardjito. Kemudian shalat dhuhur sendiri (karena saat itu telat jamaah dan memang waktu itu belum tahu wajibnya shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki), lanjut shalat hajat. Dan kemudian menyelesaikan mengkhatamkan Al Qur'an (kalau tidak salah di H+7 Ied). Selesai baca An Nas, Akhada Maulana telpon Evi, Sekretaris Urologi di Jakarta. Dan Evi bilang, "Dok selamat diterima di urologi ya."
"Perasaan saat itu sangat luar biasa. Kayak dapat durian runtuh (tapi tidak kena di kepala). Langsung saya sujud syukur. 2 hari kemudian, saya menghadap ke senior Urologi UGM, Dr. Danarto. Beliau kebetulan ikut rapat di Jakarta. Beliau ucapkan selamat kepada saya dan cerita. Ujian teorimu nilainya 30-an atau 40-an (saya lupa), tepat sesuai dugaan. Tapi nilai kumulatif (dari test TOEFL, wawancara, ujian tulis status kepegawaian, kiriman daerah/bukan, dan seterusnya) 11,5. Batas bawah nilai kumulatif adalah 12. Saat itu Dr. Danarto ditanya sama peserta rapat, gimana dok, muridnya diikhlaskan untuk dididik di Jakarta tidak? Beliau bilang ikhlas lah. Akhirnya nilai ujian wawancara saya dinaikkan dari B ke A, sehingga nilai kumulatif menjadi 12.5. Melewati passing grade. Dan Alhamdulillaah lulus," cerita Akhada Maulana.
Akhada Maulana
Dari cerita tersebut, Akhada Maulana mengungkap ada 3 moral yang perlu diambil hikmah.
Pertama, di awal, Akhada Maulana sombong, karena merasa dia sudah dapat soal-soal ujian tahun lalu yang dipakai latihan. Tidak belajar teori lagi H-7 hari karena merasa sudah menguasai soal-soal lama yang biasanya berulang.
"Kemudian status saya yang CPNS kiriman Indonesia Timur, Dosen Universitas Negeri, tidak ada persaingan. Hal tersebut menyebabkan saya jumawa. Dan hasilnya, Allah kasih peringatan saya dengan keluarnya soal-soal yang berbeda 70 %. Poinnya adalah jangan sekali-kali sombong meski posisi kamu di atas," imbaunya.
Kedua, disaat kritis tersebut, Akhada Maulana hanya menggantungkan diri kepada Allah. Yakin Allah akan membantunya. Walau saat itu sebenarnya, iman dan ibadahnya juga tifak bagus amat. Namun prasangka baik kepada Allah wajib hukumnya.
"Ketiga, disaat kita butuh Allah, ya jangan melakukan hal-hal yang bisa membuat Allah marah. Ibaratnya kita lagi butuh Allah, kok malah melakukan hal-hal yang melanggar larangan Allah (maksiat, dan lain-lain), atau malah malas ibadah. Ya saat itu kita menjauhi larangan Allah dan fokus ibadah. Agar Allah suka kepada kita dan berkenan mengabulkan doa kita. Bagi yang saat ini sedang dalam kondisi terpuruk atau tidak baik-baik saja, semoga cerita ini bisa diambil hikmahnya. Kita punya Allah. Kalau kita terpuruk, tinggal lari kepada Allah. Yakinlah Allah pasti akan jawab doa kita dengan tiga cara, kabulkan permintaan kita, diganti dengan yang lebih baik atau tidak dipenuhi permintaan kita karena ternyata hal tersebut berbahaya, walau menurut kita baik, dan dijadikan pahala kelak di akhirat," kata Akhada Maulana. (*)
Editor : Bambang Harianto