Kegagalan Perjanjian Oslo Accords yang Membuat Israel Tetap Menyerang Palestina

Reporter : -
Kegagalan Perjanjian Oslo Accords yang Membuat Israel Tetap Menyerang Palestina
Pimpinan Palestina dan Israel bersama Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton
advertorial

Pada dekade 1990-an, Palestina dan Israel untuk pertama kalinya bertemu dan bernegosiasi demi terwujudnya "two-state solution" (solusi dua negara) yang diwujudkan dalam Oslo Accords.

Sayangnya, Oslo Accords gagal diwujudkan dan Palestina tetap dijajah oleh Israel.

Baca Juga: Ribuan Massa Gelar Aksi Damai, Mars "Viva Palestina" Menggema di Madiun Raya

Apa sebabnya?

Pada tahun 1993, Palestina dan Israel memiliki tekad untuk berdamai dan menghentikan permusuhan selama beberapa dekade lamanya.

Palestina mengakui hak kedaulatan Israel dan di sisi lain Israel mengakui hak Palestina membentuk pemerintahan dan menentukan nasib sendiri.

Perjanjian itu diwujudkan dalam Oslo Accords I yang di mana Israel dan Palestina mengakui satu sama lain dan ini didetailkan dalam Oslo II, di mana secara perlahan Israel akan menyerahkan kedaulatan beberapa wilayah secara berangsur-angsur kepada Palestina.

Peta kedaulatan Israel yang diserahkan ke Palestina

Atas komitmen ini, Yasser Arafat, Yitzhak Rabin, dan Shimon Peres dianugerahi nobel perdamaian karena untuk pertama kalinya kedua negara duduk bersama untuk berdiskusi mengenai masa depan mereka.

Palestina memang belum merdeka sepenuhnya, tapi ini tonggak pertama menuju ke sana.

Penandatanganan perjanjian OSLO

Saat perjanjian Oslo ditandatangani, pemerintahan Israel dipegang oleh kelompok sosial-demokrat yang menyadari pentingnya berdamai dengan Palestina. Ini juga didukung oleh banyak warga Israel saat itu. Semuanya sudah capek berkonflik dan ingin berdamai.

Harusnya aman dong? Setiap pihak punya komitmen yang sama untuk berdamai. Israel tetap berdaulat, Palestina akan merdeka, tinggal tunggu waktu aja kan?"

Kenyataannya tidak semudah itu.

Baca Juga: Insiden Black September, 1972

Pada 4 November 1995, Yitzhak Rabin dibunuh oleh ekstremis Yahudi yang tidak menyukai kebijakannya berdamai dengan Palestina. Dia digantikan oleh Shimon Peres, rekan dan rival se-partainya untuk 7 bulan berikutnya hingga pemilu.

Shimon Peres dikalahkan oleh siapa tebak..

Yep, oleh Netanyahu.

Netanyahu tidak setuju dengan Oslo Accords dan berusaha untuk membatalkannya serta tidak akan berkomitmen pada perdamaian Palestina. Pemukiman ilegal semakin kencang dan kebijakan penjajahan Israel terus digalakkan, Netanyahu tak punya komitmen untuk berdamai.

Rakyat Palestina udah mulai gerah, tapi masih "ditahan" sama mereka.

Ehud Barak dan Yasser Arafat diundang untuk berdialog lagi oleh Amerika Serikat, tetapi tak berhasil mencapai kesepakatan apa-apa. Saat pemerintahan berganti ke Ariel Sharon yang memiliki kebijakan serupa dengan Netanyahu, kesabaran rakyat Palestina mulai habis.

Baca Juga: Insiden Black September, 1972

Ehud Barak dan Yasser Arafat diundang untuk berdialog lagi oleh Amerika Serikat

Rakyat Palestina mulai meluncurkan Intifada kedua (2000-2005) di mana seluruh rakyat Palestina (PLO, Hamas, dan lain-lain) bersatu melawan Israel.

Palestina meluncurkan serangan roket, lempar batu, dan berbagai serangan lain yang dibalas oleh Israel dengan penangkapan dan pembunuhan.

Rencana berdamai jadi sirna setelahnya.

Perdamaian di Palestina sangat bergantung pada tekad Israel dan pemerintahannya. Ini tidak akan dapat terjadi jika pemerintahan Israel dipegang partai sayap kanan, seperti Likud yang diketuai oleh Netanyahu. (*)

*) Source : Erlangga Greschinov

Editor : Syaiful Anwar