Tajuk
Dua Sisi Mata Uang: Kisah di Balik Efisiensi Anggaran

Di sekolah, sebuah piring makan siang disiapkan untuk seorang anak. Lauknya sederhana: nasi, ayam suwir, sayur hangat, dan sepotong buah. Senyum kecil merekah di bibirnya, seakan dunia begitu baik hari itu.
Program pemerintah baru saja diluncurkan—makan siang bergizi gratis untuk anak-anak sekolah, agar mereka tumbuh sehat, kuat, dan siap menatap masa depan Indonesia yang lebih baik. Tapi, di balik makan siang gratis itu, ada cerita lain.
Cerita yang mungkin tak banyak orang tahu, namun terasa menyesakkan bagi mereka yang mengalaminya. Di sudut rumah sederhana, sang ibunda duduk terdiam. Di meja makan, amplop surat pemberitahuan PHK dari tempatnya bekerja: Radio Republik Indonesia (RRI) Pro 2.
Di surat itu tertulis alasan yang tak asing lagi, “efisiensi anggaran pemerintah.” Tangannya gemetar saat membaca ulang kata-kata itu. Rasanya seperti baru saja kehilangan pijakan di tengah derasnya arus kehidupan.
Dia menatap piring makan siang anaknya yang kosong, membayangkan bahwa untuk hari ini, setidaknya putranya masih makan dengan layak. Tapi benaknya dipenuhi pertanyaan yang membuat hatinya berat: Apakah besok, minggu depan, bulan depan aku bisa menyediakan makan malam di rumah ini? Efisiensi anggaran—dua kata yang terasa seperti pedang bermata dua.
Di satu sisi, ia membuka jalan bagi program-program sosial yang bermanfaat, seperti makan siang gratis bagi ribuan anak Indonesia. Tapi di sisi lain, ia menutup pintu rezeki bagi mereka yang selama ini berjuang di balik layar, seperti ibunda yang kini menganggur. Bukan berarti sang ibunda tak mendukung program itu.
Sebaliknya, dia bangga melihat anak-anak bangsa diberi kesempatan yang lebih baik. Tapi sulit menutupi rasa getir ketika efisiensi itu justru memukul dirinya sendiri.
“Bu, makan siangnya enak banget hari ini. Ada ayam,” ujar sang anak polos saat pulang ke rumah.
Senyum anak itu adalah kebahagiaan yang sederhana, tetapi bagi ibunya, itu seperti pengingat yang menohok. Ayam di piring sekolahnya adalah berkah, tapi kehilangan pekerjaan adalah pengorbanan. Namun, bukankah kehidupan memang sering kali seperti itu—dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan? Satu sisi memberi harapan, sementara sisi lain meminta pengorbanan.
Malam itu, ibunda terdiam lebih lama dari biasanya. Dia tahu, ke depan akan sulit. Tapi di lubuk hatinya, dia berjanji: Anakku tak boleh tahu bagaimana beratnya hidup ini. Dia harus terus makan bergizi, bermimpi tinggi, dan menjadi seseorang yang suatu hari nanti, mungkin tak perlu menghadapi dilema seperti ini.
Di tengah dinginnya malam, satu hal tetap ia pegang: harapan. Sebab, mungkin ini bukan akhir dari segalanya. Bagaimanapun, ia percaya, roda kehidupan yang berputar akan membawanya kembali pada cahaya yang lebih terang. Dan hingga hari itu tiba, dia akan terus berjuang, meski di balik senyum kecil anaknya, ada luka yang hanya dia yang tahu. (*)
*) Source : Saiful Islam (Inbound Marketing Practitioner and Business Ecosystem Builder)
Editor : Zainuddin Qodir