Mengenal Mbah Salamun, Santri Generasi Pertama Kiai Bisri Syansuri

Salamun lahir di Desa Turipinggir, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang, pada tahun 1914. Ayahnya bernama Khomsul bin Kholil dari Desa Rajekwesi, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara. Salamun adalah santri salah satu muassis Nahdlatul Ulama (NU), KH Bisri Syansuri, dari Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar, Jombang.
Dikisahkan, ayah Salamun, Khomsul sebagai santri pelarian bersama dua santri lainnya menuju Turipinggir, Jombang. Khomsul lari untuk menyusul jejak langkah pengasuh pesantren mereka di Demak, yang bernama Kiai Hasan Wira'i, yang terlebih dahulu hijrah ke Jombang, untuk menghindar dari kejaran tentara Belanda.
Baca Juga: Sinergi Ulama dan Polisi Jaga Keamanan Dapat Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi
Semenjak di Demak, Khomsul telah diambil menantu oleh Kiai Hasan Wira'i, dinikahkan dengan salah satu putrinya yang bernama Fatimah. Dari pernikahan Khomsul dan Fatimah inilah lahir Salamun beserta lima saudaranya yang lain.
Salamun kecil diantar ayahnya ke Pondok Pesantren Denanyar untuk nyantri kepada almaghfurlah KH Bisri Syansuri, dalam usianya baru 7 tahun.
Di saat awal nyantri di Pesantren Denanyar, jumlah santri KH Bisri Syansuri yang lelaki hanyalah 7 orang, termasuk Salamun. Ketujuh santri ini menempati lokal kecil (guthekan pawon, red) Ndalem Kiai Bisri.
Tak kurang setahun, jumlah santri bertambah menjadi 15 santri yang tidak memungkinkan guthekan pawon sekecil itu menampungnya. Akhirnya Mbah Nyai Nur Khodijah memerintahkan santri-santri (abdi ndalem) yang membantu di Ndalem untuk memotong bambu-bambu sebelah barat, untuk dijadikan gubuk yang beratapkan pelepah tebu yang nantinya akan digunakan sebagai kamar santri. Inilah kamar santri pertama di luar guthekan pawon ndalem.
Salamun bersama 14 santri lainnya bergotong royong bersama abdi ndalem untuk membangun gubuk kamar santri tersebut dan disaksikan langsung oleh Mbah Bisri.
Selama 3 tahun Salamun menjadi santri di Pesantren Denanyar, adiknya yang bernama Ahmadun menyusulnya untuk menjadi santri di Denanyar. Setelah 6 tahun nyantri di Denanyar, Salamun diberi saran sekaligus arahan dari Mbah Bisri Syansuri untuk melanjutkan mondok ke Pesantren Tambakberas, Jombang.
Di Pesantren Tambakberas, Salamun nyantri selama enam tahun. Sebelum menyelesaikan pendidikannya di Tambakberas, Khomsul (ayahnya) wafat dan itulah yang mengharuskan Salamun pulang ke rumah di Desa Turipinggir karena panggilan ibunya.
Setelah beberapa tahun lamanya berada di Turipinggir, ia mengajarkan ilmu nahwu dan fikih. Tidak hanya itu saja, ia juga mengelola sawah peninggalan ayahnya. Akhirnya Salamun direstui kembali oleh Fathimah ibunya, untuk menuntut ilmu dan melanjutkan mondok.
Baca Juga: Jalur Santri Salah Satu Program Prioritas di Rekrutmen Polri
Atas Izin dan restu KH Bisri Syansuri, Salamun melanjutkan ngajinya di Pondok Pesantren Semelo, asuhan Kiai Umar Zaid.
Selama tiga tahun, Salamun nyantri di Pondok Semelo sebelum akhirnya sebuah surat tulisan tangan datang dari Mbah Bisri Syansuri, yang memberikan pesan atau mendawuhkan agar Salamun segera ikut bergabung dalam pelatihan Laskar Hizbullah.
Dalam surat tersebut, ada kalimat-kalimat yang menghentak batin seorang Salamun dan santri-santri Pesantrenn Denanyar lainnya, saat membaca surat tersebut. Karena surat itu langsung ditulis oleh KH Bisri Syansuri dan diantarkan langsung oleh seorang santri Denanyar. Di antara kalimat surat itu tertulis:
”Majulah hai para pemuda yang mulia untuk melayani tanah airmu
Dengan perjuanganmu akan bangkit tanah airmu
Baca Juga: Kritikan Untuk Orang-orang NU
Maka curahkan kesungguhanmu hai pemuda-pemuda yang mulia”
Suatu pesan perjuangan dari Almaghfurlah KH Bisri Syansuri kepada santri-santrinya untuk segera bergegas mempersiapkan diri membela Tanah Air.
Di bawah komando Al-Maghfurlah KH Bisri Syansuri, santri-santri Denanyar terlibat langsung dalam pertempuran yang dikenal sebagai Hari Pertempuran 10 November Surabaya.
*) (ditulis Rufait Balya, Mahasantri Ma'had Aly Mamba'ul Ma'arif Denanyar dengan data dari keluarga Kiai Salamun; dimuat di NU Online Jatim dengan beberapa penyesuaian).
Editor : Zainuddin Qodir