Pengakuan Menyedihkan Korban Tambang di Wilayah Panceng, Gresik

Reporter : -
Pengakuan Menyedihkan Korban Tambang di Wilayah Panceng, Gresik
Foto random tambang di wilayah Panceng
advertorial

Keberadaan tambang sepatutnya memberi kesejahteraan bagi warga yang hidup di sekitarnya. Tapi, di Kecamatan Panceng, Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur, yang terjadi sebaliknya. Warga jadi korban tambang galian c.

Puluhan hingga ratusan rit dump truk yang mengangkut material tambang seakan menjadi bencana bagi warga yang bermukim tak jauh dari lokasi tambang. Debu yang beterbangan akibat dari lalu lalang kendaraan pengangkut tambang, jalan yang retak dan bergelombang, ancaman kecelakaan lalu lintas, hingga kerusakan lingkungan, menjadi potret keseharian yang dialami warga di sekitar tambang di Kecamatan Panceng, Kabupaten Gresik.

Baca Juga: Komplotan Perusak Lingkungan di Kecamatan Panceng Divonis Ringan

Di Kecamatan Panceng, terdapat 3 desa yang menjadi tempat kegiatan tambang dengan total luas sekitar ± 39 hektar (ha), yang tersebar di 3 desa, yakni Desa Ketanen (± 21 ha), Desa Banyutengah (± 11 ha), dan Desa Pantenan (± 7 ha). Sebagian besar, warga di sekitar tambang merupakan petani, sebagian lagi pedagang dan pekerja pabrik.

“Jarang penambang melibatkan warga sekitar. Malahan, pencaharian warga diambil dan dikuasai penambang. Dulu warga menambang secara manual, lalu hadir pemodal dan menambang besar-besar dengan alat berat. Dari situ, warga terusir mata pencahariannya,” kata inisial Ar, seorang warga yang berdomisili tidak jauh dari lokasi tambang, kepada wartawan Lintasperkoro.com, Jumat 24 November 2023.

Semenjak kehadiran penambang besar tersebut, Ar berkata, tidak hanya pekerjaan warga yang diambil alih. Juga akses jalan warga yang biasanya untuk akses membawa hasil pertanian juga dipotong. Akibatnya, warga harus memutar yang jaraknya jauh.

“Warga mengeluh gak ada jalan. Dipotong oleh galian. Mereka awur-awuran menambang tanah Negara. Gak memperhatikan nasib warga sekitarnya,” ujar Ar.

Ar menyebutkan, kedalaman tambang yang sekarang dilakukan oleh pelaku tambang mencapai kurang lebih 25 meter. Dia tidak menampik, jika penambangan dilakukan dekat dengan tiang PLN (SUTET), yang jaraknya ada yang 10 meter dari bibir lubang tambang. Jika terus menerus digali, dia takut tiang PLN bisa roboh.

“Selain dekat tiang listrik, kedalaman tambang 25 meter sampai keluar air. Pernah longsor, kemudian berhenti sementara. Lalu kegiatan tambang dibuka lagi. Warga gak ada yang berani menegur, apalagi menghentikan. Mau demo, takut. Jika ada orang luar yang mau jadi koordinator demo, warga siap ikut. Disini warga kompak, karena bertahun-tahun menderita karena tambang. Tidak ada kompensasi apapun, jalan dirusak, lingkungan dirusak. Kepada siapa lagi warga melapor? Karena desa (Pemerintah Desa) juga terlibat di tambang. Polisi juga tidak mau menghentikan. Jadinya, dibiarkan saja oleh masyarakat sampai gundukannya habis ditambang,” jelas Ar.

Ar berkata, cara licik penambang ialah membeli sebagian lahan warga. Semisal beli lahan 10 meter yang berdampingan dengan tanah negara. Tapi yang digali seluas lebih dari 20 meter. Beli lahan tersebut, kata Ar, cuma akal-akalan supaya bisa mengeruk tanah Negara dalam skala lebih luas.

“Petani mau berharap ke siapa lagi sekarang, tidak ada. Petani disini menanam cabe, jagung. Polisi pernah lihat-lihat tambang pas tutup. 3 hari kemudian, buka lagi,” ucapnya.

Diberitakan sebelumnya, dugaan tindak pidana kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan usaha pertambangan (galian c) tanpa dilengkapi perizinan usaha berupa Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) terdapat di wilayah Panceng. Akibat dari aktivitas pertambangan tanpa IUP OP tersebut berdampak buruk terhadap lingkungan, baik berpotensi longsor, banjir, dan mengurangi tingkat kesuburan tanah. Terlebih, kegiatan tambang berdekatan jaraknya dengan objek vital nasional seperti Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTET).

Terdapat 3 tiang SUTET yang melintasi lokasi tambang galian C ilegal di Kecamatan Panceng. Jika tiang tanah di sekitar SUTET tersebut terus digali (tambang), maka potensi roboh sangat besar yang berdampak pada terganggunya aliran listrik Jawa Bali. Ketiga tiang tersebut berada di wilayah Desa Pantenan, dengan rincian :

Baca Juga: Miris ! Penambang Ilegal di Kabupaten Gresik Dituntut Ringan

Tiang 1, jarak tiang SUTET dengan tanah yang dikeruk (tambang) sekitar 5 meter

Tiang 2, jarak tiang SUTET dengan tanah yang dikeruk (tambang) sekitar 10 meter.

Tiang 3, jarak tiang SUTET dengan tanah yang dikeruk (tambang) sekitar 20 meter.

Setelah viral diberitakan, beberapa saat pelaku tambang berhenti aktivitas. Namun, kembali beraktivitas. Terdapat enam penambang yang beroperasi dengan puluhan alat berat (ekscavator/bego). Status lahan yang ditambang merupakan Tanah Negara, yang aktivitas penambangan izinnya sudah tidak berlaku.

Tanah negara tersebut digali terus menerus sampai mengalami kerusakan alam yang parah, bahkan sampai keluar air dari dalam tanah dan dapat mengakibatkan sumber air di beberapa desa terdekat mengalami kekeringan.

Dinas ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) Provinsi Jatim sudah tidak menerbitkan izin sejak 10 Desember 2020 dilokasi tambang Desa Pantenan, Desa Ketanen, dan Desa Banyutengah. Warga Kecamatan Panceng juga sudah pernah melaporkan aktivitas galian C ke Polres Gresik, ke Camat Panceng, dan ke Kepala Desa. Namun belum ada tindakan dari pihak-pihak terkait yang seharusnya menjadi penegak hukum terhadap pertambangan yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat serta Negara.

Baca Juga: Konflik Tambang di Panceng : Cuan, Lingkungan, dan Lemahnya Penegakan Hukum

Tanah urug dari lokasi galian C tersebut untuk memenuhi kebutuhan urugan untuk perusahaan-perusahan besar, diantaranya perusahaan yang berada di kawasan industri di Manyar, Kawasan Ekononi Khusus (KEK) JIIPE, dan beberapa perusahaan lain di wilayah Kabupaten Gresik.

Supplai tanah urug ke KEK JIIPE yang dilakukan penambang di wilayah Panceng di atas Tanah Negara, sama saja menjual tanah negara kepada negara. Jika dihitung, berapa kerugian negara akibat tambang ilegal tersebut. Di sisi lain, akibat pengerukan galian C tersebut mengakibatkan akses jalan antar desa terputus.

Tidak itu saja, ada pungutan liar (pungli) yang berkedok atensi sebesar Rp. 40.000 (empat puluh ribu) per rit/truk muatan 10 kubik, dan Rp 60.000 per rit/truk untuk muatan 20 kubik. Pungli itu kuat dugaan untuk pengondisian di lapangan dan uang keamanan yang diduga dikordinatori oleh keluarga orang nomor satu di Gresik. Setiap hari, ratusan rit diangkut dari tambang tersebut.

Saat kami cek data badan usaha pertambangan di wilayah Kecamatan Panceng, saat diakses melalui Minerba One Data Indonesia atau MODI Kementerian ESDM, data usaha pertambangan di wilayah Panceng tidak ditemukan.

Bekas lahan yang ditambang meninggalkan beberapa lubang besar yang membahayakan lingkungan sekitar, karena usaha tambang ilegal sehingga tidak ada kewajiban bagi pelakunya untuk melakukan reklamasi. (adi)

Editor : Ahmadi