Anak Hebat itu Bernama Mawar : Kisah Penyiksaan Terhadap Balita yang Berujung Kematian

Reporter : -
Anak Hebat itu Bernama Mawar : Kisah Penyiksaan Terhadap Balita yang Berujung Kematian
Ilustrasi
advertorial

Minggu 28 Mei pukul 23.30 WIB, saya masih terduduk di meja ruang makan sambil menonton season terbaru Kimetsu No Yaiba. Anime yang menurut saya termasuk salah satu yang terbaik dari segi cerita, ritme, dan grafis.

Karena pekerjaan di kantor sudah terlalu banyak menyita pikiran, saya lebih memilih tontonan yang tak terlalu berat ketika di rumah. Bagusnya, terkadang saya juga bisa berbagi tontonan dan tertawa bersama anak-anak saya yang belum dewasa itu.

Baca Juga: Prahara Rumahtangga Berujung Maut di Desa Wage

Saat weekend tiba, saya memang selalu berupaya untuk tetap terjaga sampai dini hari. Bukan maksud ingin begadang, tapi sekedar berjaga kalau saja ada kejadian. Tapi setidaknya, saya bisa merespon kejadian dengan cepat sehingga residu lanjutannya dapat diminimalisir.

Memang, beberapa anak muda kadang justru memanfaatkan waktu weekend dengan cara yang kurang baik. Berkumpul, berkeliling, konvoi, dan akhirnya berujung pada perkelahian. Makanya, menyiagakan mata di waktu-waktu ini bagi saya adalah hal yang penting dilakukan.

Saya masih lanjutkan bersiaga malam itu sampai akhirnya hari pun berganti. Saya buka satu per satu grup whatsapp kantor yang berjumlah puluhan itu. 

Laporan jumlah tahanan, laporan harga pangan, pengaduan pencemaran lingkungan, kasus pencabulan, dan lainnya.

Ah, Banyak kaliii..

Pukul 00.30 WIB, semua grup chat sudah terbaca. Situasi juga terpantau landai-landai saja.

Pagi nanti, saya harus bangun agak awal karena ada rapat rutin pukul 08.00 WIB. Aah.. Waktunya istirahat, pikirku..

Sayapun seharusnya bergegas tidur jika saja pukul 00.32 tidak ada chat masuk.

“Tolong piket ident merapat ke Sukodono. Ada laporan balita usia 3 tahun meninggal dunia di kosan dengan kondisi mata lebam-lebam.”

Duh.. 

Saya menghela nafas sejenak.

Masa pembunuhan lagi sih?

Baru juga seminggu kemarin ada pembunuhan. 

Saya pun menelpon Kanit Polsek Sukodono untuk mendapatkan penjelasan tentang kejadian tersebut. Saya harus mengetahui hubungan antara kematian korban dan memar yang nampak di wajahnya.

“Kejadian apa itu, Pak?”

Sayapun bertanya untuk mendapatkan detail kejadian.

“Izin Ndan, tadi jam 00.15, ada laporan dari warga kalau ada anak balita yang meninggal di kosan milik sepasang suami-istri. Tapi anak ini bukan anak dari pasangan tersebut, Ndan,” jelas anggota.

“Bukan anaknya? Maksudnya gimana Pak?” Saya bertanya lebih jauh.

Anggota kemudian menjelaskan bahwa berdasarkan keterangan awal dari Ogi (suami) dan Dea (istri), anak korban ini memang dulu pernah diasuh oleh mereka karena orang tuanya harus bekerja ke luar kota. Tapi, sekitar seminggu sebelum Lebaran, Mawar (sang anak) yang berusia 3 tahun itu diambil kembali oleh ibunya dan dibawa pulang.

Ogi dan Dea kemudian tinggal berdua seperti biasa di kosan tersebut tanpa berkomunikasi lagi dengan Mawar maupun ibunya. Namun pada hari Minggu jam 01.30 kemarin, saat Ogi dan Dea pulang dari berjualan, tiba-tiba mereka mendapati Mawar sudah ada di kosan keduanya. 

Mawar terlihat berdiri sendiri di depan pintu kamar kos hanya ditemani tas berisi pakaian-pakaian anak.

Ogi dan Dea bercerita kalau mereka terheran-heran kenapa tiba-tiba Mawar ada di kos mereka. Terlebih lagi, sekujur tubuh Mawar sudah dipenuhi bekas luka memar. Melihat kondisi itu, Ogi dan Dea lalu membawa Mawar masuk ke rumah dan memberinya makanan.

Kemudian, hari Minggu itu, mereka lalui seperti waktu dulu. Mengobrol, tidur, mandi, serta tak lupa Dea menyuapi Mawar makan saat siang dan malam hari.

Dea juga bercerita kalau pada pukul 21.00 WIB, saat Mawar sudah tidur, Dea dan Ogi  pergi berdua untuk membeli nasi di warung. Mawar yang sedang tidur dibiarkan di kamar kos dengan posisi pintu terkunci karena menurut Ogi dan Dea, mereka hanya pergi sebentar.

Namun pada pukul 21.30 WIB, saat mereka berdua pulang, naasnya mereka justru mendapati tubuh Mawar sudah tak bergerak dan kaku.

Mendengar laporan anggota itu, saya pun meyakini kalau ada indikasi penganiayaan yang menyebabkan kematian korban.

Saya segera menghubungi anggota identifikasi, piket, dan Buser untuk segera mendatangi TKP. Penanganan awal harus dilakukan dengan cepat dan benar.

Segera setelahnya, saya nyalakan mobil dan bergegas ke lokasi penemuan jenazah.

“Ini shareloc-nya, Her. 25 menit, Gas!”

“Meluncur, Ndan. Baling-baling bambu..” 

Driver saya membalas perintah perjalanan menuju TKP malam itu dengan penuh semangat.

Di sela perjalanan menuju TKP, kepala saya tak berhenti mengandaikan peristiwa yang terjadi.

Pernah dititipkan karena si ibu harus bekerja. Lalu diambil lagi ketika mau Lebaran. Dikembalikan lagi tanpa pemberitahuan sehari sebelumnya dengan tubuh penuh bekas penganiayaan. Terbesit di kepala saya, asumsi peristiwa yang mungkin terjadi.

Si Ibu yang sedang mudik setelah merantau, mengambil anaknya karena kangen dan membawanya pulang ke kampung. Tapi karena tidak biasa merawat anak, dia termakan emosi dan menganiaya Mawar.

Ketika tiba waktunya merantau lagi, dia sengaja menitipkan anaknya ke Ogi dan Dea tanpa bertemu karena malu dan takut atas apa yang telah dilakukannya kepada Mawar.

Apa jangan-jangan si ibu pelakunya?

Ah.. itu semua masih asumsi.

Kesimpulan penyelidikan harus dibangun dari temuan fakta, bukan asumsi. Lebih baik saya pastikan saja lewat detail-detail kecil fakta yang saya temukan nantinya.

Tak sabar menunggu perjalanan sampai TKP, saya kembali menghubungi anggota yang sedang berada di sana. Ada beberapa hal yang belum terjawab, terutama identitas dan keberadaan sang ibu. Orang yang di bayangan saya bertanggungjawab atas kematian korban.

"Pak Dono, coba ceritakan lagi apa temuan lainnya? Sama identitas ibu korban ya..” 

Saya buka percakapan via telepon itu dengan pertanyaan.

Anggota pun menjelaskan temuan lain yang belum tersampaikan. Dono menyampaikan asal usul kenapa Mawar bisa dititipkan ke Ogi dan Dea oleh ibu kandungnya.

Cerita itu bermula pada bulan Juli 2022. Saat itu Dea sedang membutuhkan pekerjaan sehingga dirinya memposting info di grup lowongan pekerjaan pada media sosial Facebook. 2 bulan kemudian, dirinya di chat seorang wanita (Indah) yang menawarkan pekerjaan untuk mengasuh anak usia hampir 3 tahun.

Dalam percakapan itu, Indah menyampaikan kalau dirinya harus pergi bekerja keluar kota dan tidak bisa mengasuh anaknya.

Percakapan berlanjut sampai pada kesanggupan Ogi dan Dea untuk mengasuh putri dari Indah dengan kesepakatan pemberian uang jasa sebesar 3,5 juta setiap bulannya. Selain itu, Indah juga memberikan uang susu dan jajan sebesar 1-1,5 juta kepada keduanya.

Bulan September 2022, setelah kesepakatan tercapai, Indah pun mengantarkan Mawar kepada Ogi dan Dea ke tempat kosnya di daerah Wonokromo, Kota Surabaya. Setelah itu, dari cerita Ogi dan Dea, Indah pun pergi meninggalkan Mawar untuk merantau.

Percakapan telepon kami hening sejenak untuk memberikan saya ruang untuk menganalisa dan berandai.

Kenapa Indah harus menganiaya Mawar?

Apa dia sedang tertekan?

Dimana keluarga Indah?

Ah..cerita ini tak akan lengkap tanpa kehadiran Indah.

Saya harus mencari keberadaan Indah!

"Pak Dono, ibu kandung Mawar dimana sekarang? Coba hubungi!”

Saya memberikan perintah kepada anggota untuk memastikan keberadaan Indah.

“Ibunya Mawar dimana, Bu?”

Terdengar di telepon, anggota menanyakan kembali pertanyaan saya itu kepada Dea yang ada di sebelahnya.

"Boten ngertos, Pak. Kala wingi kontakan namung nomere ilang.” (Tidak tahu, Pak. Dulu sempat berkomunikasi tapi nomornya hilang.)

Terdengar lirih suara Dea menjawab pertanyaan dari Dono. Jawaban Dea itu, seketika memberikan percikan intuisi pada kepala saya.

"Bawa Dea dan Ogi ke Polsek segera, Pak. Introgasi terpisah! Nanti saya jelaskan di sana.”

Saya pun memerintahkan Dono untuk membawa pasangan itu ke Polsek. Intuisi saya mengatakan ada yang tidak beres dengan kedua orang itu. Apalagi setelah mendengar cerita barusan.

5 menit lagi saya akan tiba di TKP. Tapi kepala ini sudah penuh dengan bayangan kejadian yang terjadi.

Apa benar Indah pelakunya?

Apa benar Indah adalah ibu dari Mawar?

Bahkan, apa benar seseorang yang bernama Indah ini ada?

Saya kesampingkan semua cerita Ogi dan Dea terlebih dahulu. Apa yang mereka katakan, belum tentu juga menjadi apa yang sebenarnya terjadi.

Satu-satunya cara untuk memastikan itu semua adalah dengan memulai dari TKP.

Lihat, dengar, cermati..

Dan biarkan TKP berbicara.

Akhirnya saya sampai di TKP. Terlihat beberapa warga berkumpul di depan rumah kos sambil memandangi TKP seraya ingin mengetahui apa yang terjadi malam itu. Pandangan mereka tertuju pada saya seakan bertanya siapakah orang asing yang baru saja datang ini?

Mobil ambulance telah terparkir di tepi jalan. Petugas identifikasi juga sudah bersiap untuk mengantarkan jenazah korban ke rumah sakit untuk proses otopsi.

“Olah TKP sudah selesai ini,” gumam saya dalam hati.

Saya mulai berjalan memasuki lorong rumah kos. Deretan kamar kos yang menghadap langsung ke pagar tembok tetangga itu memberikan nuansanya sendiri.

Lorong tempat kos. Di kos inilah F dibunuh

Cahaya lampu yang temaram, baju yang menggantung, seolah mengisyaratkan kalau ini adalah tempat istirahat para perantau ibukota.

"Malam, Bang. Olah TKP sudah selesai, tapi korban masih di kamar. Abang mau lihat?”

Saya disambut oleh Amad, salah satu junior saya di Akpol yang saat ini saya tugaskan sebagai Kanit Buser.

“Apa temuanmu, Le?”

Saya langsung saja menanyakan hasil pekerjaannya tanpa basa-basi.

Amad langsung membawa saya ke kamar kos paling ujung. Di kamar kos ukuran 3x3 itu, Amad memperlihatkan kepada saya jenazah Mawar, anak usia 3 tahun yang telah terbujur kaku di atas kasur.

“Tadinya jenazahnya di lantai bang, tapi dipindahkan warga,” Amad menambahkan.

Saya mulai mengamati jenazah korban.

“Astaghfirullah, Mad. Kok gini kondisinya?”

Saya tak habis pikir dengan apa yang saya lihat saat itu. Di tubuh kurus anak 3 tahun itu, terlihat belasan luka, memar, dan bekas penganiayaan yang tersebar dari kaki sampai wajah.

Di telapak kaki atas, terlihat bekas luka mengelupasnya kulit sampai ke lapisan dermis. Ciri yang mirip dengan bekas luka bakar yang telah sembuh.

Di area mulut dan pipinya pun seperti itu, ditemukan bekas luka yang serupa dengan bentangan area yang cukup besar. Pada area sekitar kedua matanya, terlihat bekas luka membiru dan membengkak. Memar seperti ini biasanya terjadi akibat benturan benda tumpul pada 1-3 hari ini.

Aduh..

Kok bisa, ada yang tega seperti ini sama anak kecil.

Sejenak saya terdiam melihat kondisi korban yg sangat memprihatinkan ini.

Bekas luka terlihat jelas dimana-mana. Walaupun saya tidak kenal dengan Mawar, tapi hati ini ikut tersayat melihat anak usia 3 tahun memiliki bekas luka sebanyak ini.

“Berat sekali pasti hidupmu ya, Nak..”

“Tunggu sebentar, Bang. Abang harus lihat yang ini juga.”

Amat seketika menyela sambil memperlihatkan luka lain di bagian paha Mawar. Terlihat bekas luka memanjang 10 cm dengan lebar 2 cm yang memerah.

Astaga..

Dari luka yang saya lihat ada pada korban, jelas tergambar ada penganiayaan yang telah dialami korban; dan itu terjadi secara berulang.

Mawar, anak kuat ini pasti telah mengalami masa-masa yang sangat berat selama ini.

“Ya sudah, segera saja. Bawa korban ke RS Porong untuk diotopsi.”

Saya pun memerintahkan anggota untuk segera membawa Mawar untuk otopsi. Walaupun sangat terlihat jelas bekas penganiayaan, cara yang tepat untuk memastikan penyebab kematian adalah melalui otopsi.

Saya pun memanggil kembali tim olah TKP yg telah melaksanakan tugasnya tadi untuk berkumpul.

“Kita olah TKP ulang. Saya yang pimpin. Periksa dengan teliti setiap jengkal kos ini.”

Saya memerintahkan untuk mengulangi proses olah TKP karena saya ingin memastikan lagi apa yang terjadi. Anggota mulai memeriksa kembali jengkal demi jengkal kamar kos itu. Terlihat di mata saya sebuah setrika yang tersimpan di almari.

“Ambil itu. Masukkan sebagai BB.”

Melihat bekas luka yang dialami Mawar, saya rasa barang ini wajib juga saya amankan dan analisa.

“Ndan, ada ini.”

Salah satu anggota memanggil saya sambil mengangkat sebuah tongkat hitam. Nampak seperti tongkat biasa memang. Tapi setelah diputar, terlihat bilah pedang besi yang tersembunyi di dalamnya.

“Sita itu!” jawab saya.

“Kamar mandi juga cek itu. Yang teliti.” 

Saya memerintahkan anggota sembari menunjuk kamar mandi ukuran 1x1 meter yang ada di dalam kamar kos itu. Di dalamnya terlihat ember plastik, toilet jongkok, gayung, sikat, dan selang hijau yang menempel pada kran air.

Kamar mandi tempat F sering dikurung oleh pelaku

Ketika sedang memeriksa TKP, tiba-tiba seorang anggota mendatangi saya sambil membawa seorang laki-laki paruh baya. Dia menjelaskan kalau bapak ini adalah tetangga kos Ogi yang tinggal selisih 1 kamar dari TKP.

“Bapak kos disini?” tanya saya.

"Betul, Pak.”

Jawaban bapak itu menegaskan kepada saya untuk memberikan beberapa pertanyaan lanjutan. Setelah itu, diantara kami terjadi perbincangan yang cukup memberikan saya informasi penting.

Pria itu menjelaskan kalau dirinya sudah setahun tinggal di kos ini. Dia lalu menjelaskan bahwa sekitar 2 bulan yang lalu, Ogi dan Dea pindah ke kosan ini bersama dengan Mawar yang disangka adalah anak dari keduanya.

Kadang Mawar bermain di lorong, tapi seringnya dia di dalam kamar.

“Maaf, Bapak apa pernah dengar anak kecil nangis di sini?”

“Ya pernah dengar, Pak. Seminggu yang lalu. Tapi saya kira itu nangisnya anak kecil biasa.”

Jawaban saksi ini sangat menegaskan beberapa hal. Mawar tidak pernah pergi kemana-mana.

Ogi dan Dea berbohong!

Tepat sudah keputusan saya untuk membawa Ogi dan Dea untuk interogasi di Polsek.

Mawar tidak tiba-tiba muncul di kosan mereka. Mawar tidak pernah pergi dari sini. Mereka adalah yang bertanggungjawab atas semua ini.

Kalau begitu, bagaimana Mawar sampai pada mereka?

25 menit berlalu, saya memerintahkan anggota untuk berkumpul. Setrika, tongkat besi, dan beberapa barang bukti lainnya kami amankan dari TKP dengan sepengetahuan pemilik kos.

Olah TKP selesai.

Saatnya melakukan interogasi pada Ogi dan Dea di kantor.

"Ikut mobilku, Mad.”

Saya ajak Kanit Buser menuju Polsek bersama.

Sembari menempuh perjalanan, saya ingin membahas beberapa temuan tentang kejadian ini. Saya tidak mau ada sedikit waktu pun yang tak termanfaatkan dengan baik.

"Bang, kalau saya cerita pasti abang ga percaya.”

“Apa sih, Mad?” tanya saya sedikit acuh.

“Jadi tadi waktu saya meriksa kamar mandi, kan airnya mati itu bang.”

“Terus?”

“Terus waktu kita mau balik, tiba-tiba airnya hidup, Bang. Akhirnya saya balik lagi matiin,” jelas Amad.

Amad menjelaskan fenomena aneh yang dialaminya. Walaupun memang sedikit di luar nalar ketika kran air yang mati, tiba-tiba terbuka sendiri.

“Yasudah, Mad. Kita berdoa saja supaya almarhumah tenang.”

Saya lontarkan kalimat untuk mengakhiri perbincangan tentang bab ini.

“Satu lagi ini, Bang. Kok abang bisa curiga dan nyuruh Ogi sama Dea ke Polsek? Padahal kan abang belum sampe TKP.”

Amad bertanya seakan ingin memuaskan rasa penasarannya.

"Ya jelas aja, Mad. Tadi itu kan aku telfonan sama Pak Dono selama perjalanan.. Terus Dea cerita kalau dia mengasuh Mawar yang dititipkan oleh Indah di kosannya pertama, di Wonokromo. Kan sekarang dia di Sidoarjo, to..”

“Terus?”

Tanya Amad sembari mengerutkan dahi.

“Di akhir telfon, setelah kutanya berapa nomor HP Indah, eh dibilang ga tau. Mana bisa Indah tiba-tiba naruh Mawar di depan kosan baru Dea kalau dia ga pernah komunikasi lagi?” pungkas saya.

“Asem. Iya juga ya..Memang beda kalau Adhi Makayasa, ya.”

Jawab Amad sambil tersenyum.

"Hmmm. Ngolorr lagi, Lu! Ku selepet juga amandelmu, ya! Udah, ayo turun. Kerjo, kerjo.”

Perkataan saya menjadi penanda babak baru pengungkapan kejadian ini. Setidaknya dari TKP tadi, kami sudah temukan fakta yang mematahkan alibi dari Dea dan Ogi.

Menuruni kendaraan, saya langsung menuju ruang interogasi Ogi. Terlihat 2 orang anggota sedang duduk berhadapan dengan Ogi.

Bukan raut muka sedih yang terpampang di wajahnya, tapi raut wajah yang memikirkan sesuatu. Padahal, ada anak kecil yang baru saja meninggal di tempatnya.

Saya berdiri di pojok ruangan sembari mengamati apa yang dikatakan Ogi. Dia masih saja berpegang pada keterangan awalnya kalau Mawar tiba-tiba muncul sehari yang lalu dengan kondisi penuh bekas luka.

Saya biarkan saja dia sementara. Toh saya juga sudah tahu fakta sebenarnya.

Saya beralih ke ruang interogasi Dea. Berbeda dengan Ogi, dirinya hanya tertunduk saat berhadapan dengan anggota.

Rasa takut, sedih, dan bingung yang bercampur menjadi satu, menampilkan kesan yang lain di raut wajahnya. Saya biarkan sementara Dea dan anggota berinteraksi. Saya tinggalkan mereka dan pergi ke dapur untuk membuat segelas kopi hitam.

3 sdt kopi hitam dan ½ sdt gula.

Hmmmm..

Bau harum kopi hitam yang baru diseduh memang tak pernah gagal membuat tenang hati dan pikiran.

15 menit berlalu dan gelas kopi saya hampir kosong. Dea masih juga berpegang pada keterangan awalnya kalau dia tidak tahu-menahu atas luka yang dialami Mawar. 

Saya rasa ini waktu yang tepat untuk saya mengambil alih.

Saya bergerak ke sebuah kursi tepat di depan Dea. Saya mulai dengan perkenalan diri dan posisi saya dalam situasi ini.

Selanjutnya, saya mulai menjelaskan posisi Dea, temuan fakta di TKP, dan bagaimana cerita karangan yang mereka buat justru menambah beban perbuatan mereka nantinya.

"Bu Dea, sudahlah.. Kami sudah temukan buktinya. Mawar tidak pernah pergi dari kosan itu atau diambil ibunya.”

Dea hanya tertunduk tak berkata.

“Saya cuma mau tanya, Indah ini bener ada apa ga?”

Saya tambahkan pertanyaan lainnya.

"Betul, Pak. Semenjak September itu memang Indah menitipkan Mawar ke saya. Tapi semenjak Maret tahun ini, dia tidak bisa dihubungi. Nomor saya di block.”

Dea menjawab pertanyaan tentang Indah. Sekaligus, Dea mengamini bahwa Mawar memang tidak pernah meninggalkan kosan itu.

"Masalah biaya asuh itu, bener Indah kirim, Bu?”

“Iya betul, Pak. Dikirim sebulan kadang 4-5 juga ke rekening saya. Tapi semenjak Maret tidak dikirim. Malah nomor saya di block. Makanya saya jengkel juga, Pak.”

Dea menjelaskan kejadian di bulan Maret yang mungkin jadi pemantik.

"Terus, Mawar ibu apain itu Bu? Kaki, tangan, sama kulit sekitar mulutnya sampai terkelupas semua. Disiram air panas?”

“Boten, Pak. Itu kemaren Mawar gatel-gatel, terus saya kasih super tetra. Begitu mengering saya sikat pake sikat kamar mandi, tapi malah mengelupas begitu.”

Jawaban Dea membuat saya ragu. 

Memang luka yang nampak padam Mawar seperti bekas peradangan kulit bagian luar, telah mengering, dan setelahnya nampak dikelupas paksa.

Ah, lebih baik saya tunggu hasil otopsi saja. 

"Terus, kenapa itu mukanya biru-biru Bu? Ibu pukul pake apa?”

Saya menanyakan tentang bekas memar yang ada di wajah Mawar.

“Ga, Pak. Ga saya pukul kok.. itu mungkin jatuh aja.”

Dea menjawab dengan gelagat yang ingin mengelabuhi kami.

Baca Juga: Prahara Rumahtangga Berujung Maut di Desa Wage

"Itu mungkin jatuh pas mau belajar berdiri, Pak. Waktu di kamar mandi. Mungkin jatuh waktu itu.”

Jawaban Dea kali ini membuat saya harus pelan-pelan mencerna.

Anak 3 tahun belajar berdiri?

Bukannya fase itu sudah terlewati saat anak usia 1 tahun?

"Masa anak 3 tahun masih belajar berdiri sih, Bu? Ga usah ngarang yang terlalu, lah!”

Saya balas jawaban Dea dengan nada yang agak meninggi.

“Kan kalau habis jongkok lama di kamar mandi, berdirinya susah Pak.”

Dea menjawab kembali pertanyaan saya.

Saya terdiam berpikir sejenak, mencerna apa maksud ucapan Dea.

Luka memar..

Latihan berdiri..

Kamar mandi..

Jatuh.

“Bang.. Kamar mandi, bang.. Kamar mandi.”

Amad mencolek bahu saya sambil berbisik.

"Apaan sih, Mad.”

Saya masih tidak mengerti apa maksud dari Ahmad.

“Itu bang.. kamar mandi. Yang tadi saya cerita.”

Amad masih menyampaikan perihal yang sama. Kali ini, saya paham kalau dia mereferensikan keadaan ini dengan cerita air kamar mandi yang menyala sendiri tadi.

Saya mencoba merangkai semuanya satu demi satu. Potongan-potongan mozaik ini seharusnya bertemu dalam 1 rangkaian.

Sebentar lagi lengkap ya ampuuun..

Apa yang kelewatan ini?

Hah!!

Saya beranjak keluar sejenak.

Menyalakan rokok, melihat langit malam di halaman Polsek.

Jatuh ketika mau berdiri, setelah jongkok di kamar mandi.

Sakit kulit dan digosok dengan sikat cuci, tentunya di kamar mandi.

Area tubuh Mawar yang terkena gatal dan menderita sakit kulit, cukup banyak. Berarti dia tinggal di tempat yang tidak bersih..

Saya lanjutkan menengadah memandang lagit, tapi pikiran saya berandai kemana-mana. Mencari segala kemungkinan mozaik yang terlewat.

Jongkok, berdiri, jatuh, luka memar.

Jongkok, berdiri, jatuh.

Jatuh!!

Jatuh karena lama!!

Mawar tinggal lama di kamar mandi!!!

Saya matikan rokok yang baru saya nyalakan dan bergegas masuk ke ruangan introgasi menemui Dea.

“Berapa lama, Mawar dikurung di kamar mandi?!! Jawab!!”

Saya langsung saja memberikan pertanyaan spesifik kali ini. Anggota lainnya, hanya bisa melihat saya tanpa berkomentar.

Dea yang sedari tadi tertunduk, menegakkan kepalanya ketika saya bertanya.

Tak memberikan jawaban, Dea kembali tertunduk sembari menghela nafas panjang.

“Ya semenjak bulan itu, Pak. Waktu Indah tidak bisa dihubungi lagi,” Dea menjawab lirih.

“Jadi, Mawar dikurung di kamar mandi selama 2 bulan ini?!”

Pertanyaan saya lontarkan dengan nada meninggi.

“Ya engga, Pak. Kadang kalau saya atau suami mandi, Mawar dikeluarin ke kamar,” jelas Dea.

“Terus? Kalau sudah selesai mandi?”

“Habis kami selesai mandi, ya dia masuk ke kamar mandi lagi, Pak. Habisnya dia suka eek sembarangan, makanya saya taruh di kamar mandi,” terang Dea memberikan penjelasan.

Ya ampuuun..

2 bulan lamanya, anak 3 tahun dikurung di kamar mandi?

Ngawur!!

Nampak jelas, 4 orang anggota saya lainnya menunjukkan raut mimik terperanjat seolah-olah peristiwa itu tidak mungkin terjadi.

“Apa Bu? 2 bulan dikurung? Di kamar mandi? Kok yo tego, yo..”

Salah satu anggota melemparkan pertanyaan retoris yang bercampur rasa jengkel dan sedih.

Walaupun saya tau detail cerita interogasi setelah ini akan membuat nurani dan rasa saya teruji, saya tetap harus melanjutkan prosesnya untuk mendapatkan gambaran utuhnya.

Kali ini, saya minta Dea untuk menjelaskan semuanya utuh; tanpa liku-liku.

Dea mengatakan bahwa memang benar bulan September lalu dia menerima jasa penitipan Mawar dengan biaya asuh Rp 3,5 juta dan Rp 1,5 juta uang susu setiap bulannya.

Semuanya berjalan lancar sampai bulan Maret lalu. Saat diminta uang bulanan, Indah mengatakan kalau dia sedang tidak punya uang. Dea terus menghubungi Indah, namun berakhir dengan pemblokiran kontak Whatsapp oleh Indah.

Semenjak saat itulah, Dea dan Ogi merasa jengkel dan berimbas pada pola asuh Mawar. Semenjak saat itu, Mawar selalu tinggal di kamar mandi berukuran 1x1 meter itu.

Dea juga menjelaskan kalau semisal Ogi dan Dea pergi, Mawar akan dikunci di dalam sampai mereka kembali. Dan hal inilah yang terjadi juga waktu malam tadi.

Ogi dan Dea pergi keluar, meninggalkan Mawar terkunci di dalam kamar mandi. Selepasnya kembali, mereka menemukan Mawar sudah terbujur kaku di kamar mandi.

Ogi kemudian memanggil Dea dan menyuruhnya untuk mengarang cerita seolah-olah Mawar telah diambil ibu kandungnya sebelum Lebaran lalu.

“Otopsi gimana?” tanya saya kepada Amad.

“Siap, baru pemeriksaan luar saja bang,” jelas Amad.

“Hasilnya apa?”

Hasil otopsi luar saja sangat membuat saya miris. Terdapat belasan luka memar di seluruh tubuh Mawar. Bahkan di bagian kepala saja, ada 9 luka memar yang masih baru. Selain itu, ada juga 5 bekas luka lain yang sudah mengalami penyembuhan.

Dea turut menjelaskan hasil otopsi luar yang dikatakan oleh Amad. Sayapun menanyakan kepada Dea, tentang apa saja yang dia lakukan sehingga Mawar dapat menerima semua luka ini.

“Kamu apain aja kok bisa sampe kaya gini?”

"Ga tau, Pak. Saya cuma mukul pake tangan, sikat, sama sapu aja. Habisnya, Indah ga bisa dihubungi. Makanya saya jengkel, Pak.”

Dea menjelaskan perbuatannya sembari melontarkan pembelaan. Tapi apapun itu, tindakan sadis terhadap anak seperti ini tidak akan mendapat pembenaran.

"Terus luka yang lain gimana?”

“Saya cuma itu, Pak. Coba tanya suami saya. Pokoknya saya cuma itu.”

Dea menjawab, seraya mencoba mengakhiri interogasi pagi itu. Tapi, memanglah tidak logis kalau luka sebanyak ini hanya diakibatkan oleh seorang pelaku saja.

Saya beranjak ke ruangan interogasi Ogi. Di ruangan itu, Ogi masih duduk di hadapan penyidik sambil tertunduk.

Dari yang saya dapat, Ogi memang mengakui kalau cerita karangannya adalah bohong. Saya pun mengambil posisi duduk di sebelah Ogi.

"Tongkat, sapu, atau selang?”

Saya langsung lontarkan pertanyaan tentang alat penganiayaan Mawar. Saya merujuk pada bekas luka memanjang yang ada di paha kanan Mawar.

Dari semua yang saya temukan di TKP, ketiga benda inilah yang paling mungkin.

“Ehm.. selang, Pak.”

Ogi mengangkat kepalanya, menatap mata saya dan menjawab pertanyaan itu tanpa ada lagi usaha untuk berkelit lagi.

Interogasi lanjutan yang saya jalankan kepada Ogi, memberikan informasi yang tak jauh berbeda dari yang saya dapat dari Dea.

Hah.. terungkap sudah.

Kasus yang diawali dengan kebohongan dan manipulasi, akhirnya bisa diselesaikan dengan fakta, kejelian, dan logika keilmuan. Kejadian yang mungkin tak sulit dalam pengungkapan, tapi benar-benar menyayat rasa kemanusiaan.

Kasus ini menjadi kasus penganiayaan paling sadis yang pernah saya tangani. Seorang balita usia 3 tahun, dikurung di kamar mandi selama 2 bulan lamanya hanya karena kesalahan minor anak.

Kamu anak yang kuat, Mawar. Sekarang kamu sudah tidak sakit lagi. Yang tenang di sana ya, Dek.

Menjelang subuh, kami bawa kedua pelaku ke Polresta Sidoarjo untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.

Keadilan, adalah hal lain yang bisa saya berikan pada mendiang Mawar. Sisanya, hanya Allah Sang Maha Pengasih yang paling tau apa yang terbaik bagi umatnya.

Di perjalanan, masih mengganjal di pikiran saya tentang keberadaan Indah, ibu Mawar. Siapa sosok ini dan mengapa dia menitipkan anaknya kepada orang yang tidak dikenalnya.

“Ibunya bisa kena penelantaran ini, Ndan.” Celetuk salah satu anggota.

Saya mencoba mencerna perkataan anggota itu. Kalau saja dia sengaja melepaskan tanggungjawab terhadap anak kepada orang lain, tentu saja dia turut bersalah. Tapi, bukankah anak lahir dari hubungan sepasang laki-laki dan perempuan?

Kenapa jadi hanya Indah titik fokusnya?

"Ntar dulu, le. Kita ga boleh terburu-buru. Kita belum tau cerita yang sebenarnya dari Indah. 2 orang ini kan beberapa kali bohong juga sama kita.” 

Baca Juga: Polresta Sidoarjo Luncurkan Layanan SKCK Keliling Online

Saya menyarankan kepada anggota untuk tidak terburu-buru dalam mengambil kesimpulan sebelum tahu jelas apa yang terjadi.

"Kita proses ini saja dulu. Siapkan konferensi pers buat besok. Sama, cari dimana ibunya!”

Perintah saya itu menjadi penutup percakapan kami.

Sekarang, saya tinggal memesankan 25 paket McD dengan 2 ayam di Taman Pinang untuk mengisi kekosongan perut anggota. Setelah selesai makan bersama anggota, saya rasa sedikit rebahan tak akan jadi soal.

Saya rebahkan badan saya di sofa ruangan, tempat biasa saya istirahat kalau-kalau saya tidak pulang ke rumah. Saya pejamkan mata sambil mendengarkan episode terbaru Podcast Malam Kliwon.

Keesokan harinya, saya lakukan konferensi pers terkait kejadian ini. Dea dan Ogi harus bertanggungjawab atas perbuatannya.

Konferensi pers terkait kasus pembunuhan F

PR selanjutnya adalah mencari keberadaan Indah. Anggota saya perintahkan untuk menghubungi Paguyuban Nasgor Kijang-1 Ganti Nusantara. Tapi, informasi yang kami dapatkan masih minim. Kami hanya tau kalau saat ini Indah bekerja di Jakarta. Sisanya, masih perlu pendalaman.

2 hari berlalu semenjak konferensi pers, kami mendapatkan informasi masuk dari Suara Surabaya.

Mereka menginformasikan kalau ada seorang wanita menghubungi mereka dan mengatakan kalau dirinya sedang mencari anaknya, dengan ciri yang sama dengan Mawar.

Kami melakukan profiling awal terhadap wanita itu. Kami berkesimpulan kalau memang wanita itu adalah Indah.

“Mpun, Ndan. Telfon mawon.”

Anggota menyarankan saya untuk menghubungi wanita itu. Akhirnya, kami mencoba menghubunginya.

"Selamat malam, Mbak. Saya dengan Amad dari Polresta Sidoarjo. Nama mbaknya siapa ya?”

Amad membuka percakapan itu. Kali ini, kami melakukan video call agar ekspresi dapat tertangkap dengan baik.

“Saya Indah, Pak. Ibu dari, Mawar”

Percakapan berlanjut pada konfirmasi identitas Indah dan pengetahuannya atas Mawar. Hal ini kami lakukan agar kami tidak salah memberikan informasi pada orang yang tidak berhak.

Setelah semua terkonfirmasi, barulah kami menjelaskan kejadian yang sebenarnya.

Indah menceritakan kalau dia mengetahui kejadian ini setelah kami melakukan konferensi pers. 2 orang yang terpampang sebagai pelaku penganiayaan anak, dikenalinya sebagai pengasuh anaknya yang dititipkan September lalu.

“Terus anak saya dimana, Pak? Terus anak saya gimana kondisinya, Pak?” 

Indah sesenggukan melontarkan pertanyaan seolah tidak ingin mempercayai berita yang didengarnya. Nampak di layar HP, air mata menetes jatuh di pipinya.

Kami hanya terdiam, tak bisa menjawab pertanyaan itu.

Setelah 20 menit, percakapan video itu kami selesaikan. Indah sepakat untuk datang ke Sidoarjo pukul 14.00 menggunakan kereta, berangkat dari Jakarta.

Saya pun memerintah anggota untuk menjemput Indah di Pasar Turi jam 1.00 esok hari.

Keesokan harinya, Indah sampai di stasiun. Di sana, anggota sudah bersiap menjemput Indah untuk diantar ke Polres. 

Di perjalanan, Indah hanya bisa tertunduk dan tak berhenti menangis. Wajar saja, dia baru saja kehilangan anaknya. Saya berikan keleluasaan padanya untuk menangis.

Sesampainya di kantor, kami lakukan proses pengambil keterangan. Dalam prosesnya, kami turut menunjukkan kondisi Mawar saat pertama kali kami temukan di kamar kos milik Ogi dan Mawar.

Indah menatap foto itu. Nampak raut penyangkalan seraya tidak percaya atas apa yang dilihatnya.

"Ya ampun, Pak.. Mawar ga kaya gini Pak.. Dulu rambutnya panjang dan badannya berisi, Pak.. Kenapa sekarang jadi seperti ini?”

Indah melontarkan penyangkalannya sembari meraung dan menangis..

Nampak jelas rasa pedih yang sedang dia rasakan.

Saya berikan kembali ruang untuk Indah. 

Sekarang, dia hanya bisa menangis. Dan saya juga tak mau merebut hak nya untuk itu.

Indah masih menangis, sampai akhirnya..

Gubrak!!

Indah terjatuh pingsan di ruang pemeriksaan. Anggota polwan yang mendampingi segera membantu Indah untuk rebahan.

“Aaargh.. Sial. Seberat apa derita yang dia tanggung?” Gumam saya dalam hati.

Saya biarkan situasi sementara. Setidaknya, sampai Indah tenang. Beberapa saat kemudian, Indah sudah siuman. Kami berikan teh hangat untuk sedikit meredakan perasaannya.

Selanjutnya, kami lakukan tanya jawab tentang asal muasal sampai semua peristiwa ini terjadi.

Indah pun, menceritakan kisah hidupnya.

Indah dulu pernah menikah dengan seseorang di Jember, namun pernikahan itu harus kandas karena dia menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Akhirnya, Indah kembali ke Banyuwangi bersama dengan seorang anak yang masih balita. Indah lalu tinggal bersama ibunya yang juga sudah sering sakit.

Setahun berjalan sebagai orang tua tunggal, Indah harus mencari pekerjaan untuk hidup. Dia berpikiran tidak bisa terus merepotkan keluarganya. Akhirnya, dia memutuskan untuk berangkat ke Malaysia sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI). Di sana, dirinya bekerja sebagai pelayan restoran.

Tahun 2019, dia pun menjalin hubungan dengan seorang laki-laki di sana. Dari hubungan itu, Indah mengandung Mawar. Namun sedihnya, pada awal tahun 2020, Indah dipulangkan saat kandungannya berusia 7 bulan. Akhirnya, Indah kembali ke Indonesia dan menetap di Lamongan.

Di Lamongan, Indah melahirkan Mawar di bidan desa. Beberapa bulan setelah melahirkan, Indah memutuskan kembali ke Banyuwangi ke rumah orang tuanya. 

Indah sempat tinggal 1 tahun membesarkan Mawar bersama dengan orang tuanya.

 

Permasalahan kembali muncul. Sebagai seorang single parent, dia tidak mempunyai sumber penghasilan yang cukup untuk menghidupi anak-anaknya. Akhirnya, dia memutuskan untuk kembali bekerja di Jakarta.

Namun dilema kembali muncul. Anak pertamanya sudah dititipkan kepada saudaranya. Sedangkan ibu kandungnya, saat ini sudah lanjut usia dan menderita sakit. Akhirnya, Indah tidak ada pilihan selain menitipkan Mawar kepada pengasuh, tentunya dengan biaya yang memadai.

Cerita berlanjut dengan pertemuannya dengan Ogi dan Dea. Indah selalu mengirimkan uang sebesar Rp 4,5 juta - Rp 5 juta setiap bulan kepada mereka semenjak bulan September 2022.

Namun, permasalahan mulai timbul di bulan Maret 2023. Saat itu, kondisi ekonomi Indah sedang tidak baik-baik saja. Hal itu diperparah dengan Ogi dan Dea yang meminta pembayaran uang asuh di awal bulan. Indah yang tak sanggup, hanya bisa memohon pengertian keduanya. Namun, Ogi terus saja menelpon Indah sampai akhirnya Indah emosi dan memblokir nomor whatsapp Ogi.

"Saya bingung, Pak. Ditelponin terus minta pembayaran di awal bulan. Makanya waktu itu saya blok. Tapi sekitar seminggu kemudian, saya buka blokirnya kok, Pak. Terus saya chat mereka, nanyakan kabar Mawar.”

Indah memberikan penjelasan tentang momen itu.

"Tapi beberapa hari kemudian, HP saya ilang Pak. Saya udah coba pulihin nomor baru, tapi gak bisa, Pak. Memang kemaren saya ga aktivasi pake KTP saya. Dan saya ga tau siapa itu. Saya bingung harus gimana ngubungin mereka, Pak…” tambah Indah.

Pada bulan April, Indah memutuskan untuk menggunakan nomor baru dan berusaha mencari keberadaan Mawar. Indah juga sempat mencari Mawar ke portal berita yang ada di Surabaya..Namun, usaha itu sia-sia. Indah baru bertemu Mawar setelah semuanya terlambat.

Setelah mendengar semua cerita Indah secara lengkap, saya ajak anggota untuk bersama-sama menganalisa peristiwa yang terjadi. Terkait penitipan Mawar ke Ogi dan Dea, serta kemungkinan penelantaran yang sempat dilontarkan oleh anggota tempo hari.

Dilihat dari cerita hidupnya, menurut saya Indah adalah seorang wanita yang tidak memiliki banyak pilihan dalam hidup.

Seorang single parent korban KDRT, yang mau tidak mau harus bekerja menghidupi anaknya. Dalam perjalanannya, cobaan ternyata belum selesai dengan Indah.

Bertemu lagi dengan pria yang tak bertanggungjawab dan harus membesarkan anaknya sendiri. Orang tuanya pun tidak bisa direpotkan lagi untuk mengurus anaknya. Akhirnya, dia tak mempunyai pilihan lain selain menitipkan anaknya ke pengasuh.

Selama menitipkan Mawar, Indah selalu rutin mengirimkan uang asuh yang jumlahnya cukup besar kepada Ogi dan Dea.

Selama masa itu, Indah bekerja sambil sesekali mengecek keadaan anaknya melalui video call.

Pemblokiran atau pemutusan hubungan dengan anak sesuai dengan keterangan Ogi dan Dea, tak seperti yang diceritakan mereka. Indah dengan kondisinya saat itu, berusaha kembali mencari Mawar. Dan proses pencarian itu terjadi sebelum Mawar meninggal.

Kalau saja Indah hanya sekali memberikan uang asuh pada bulan September 2022, kemudian hilang tidak diketahui, tentu ada niat jahat Indah dalam penelantaran anak.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Indah sebagai orang tua, juga merupakan korban yang telah kehilangan buah hatinya.

Saat itu, kami berkesimpulan bahwa Indah bukan pelaku. Indah merupakan wanita dengan sedikit pilihan, yang sedang berjuang melawan dunia.

Indah adalah korban yang harus dilindungi.

Hasil temuan saya laporkan kepada Kapolres. Respon beliau, tidak jauh dari apa yang kami rasakan selama proses ini.

“Prabu, dia ini kasihan. Sekarang antar dia ketemu jenazah anaknya, lalu kita antar pulang ke Banyuwangi pakai ambulance Polres.”

Kapolres merespon laporan saya dengan rasa simpati. Beliau memerintah kami untuk memastikan Indah dan Mawar sampai di Banyuwangi dengan selamat.

Sudah cukup rasa duka memenuhi kepala dan hati Indah. Kami bisa turut meringankan dengan membantu proses pemulangan mereka ke kampung.

Hah.. lega rasanya..

Selama ini, hukum memang dimaknai untuk memberikan penghakiman pada orang yang bersalah. Tapi tak salah juga, jika hukum dimaknai sebagai sarana untuk mengangkat dia yang kesusahan.

Hukum diciptakan oleh manusia, dan saya rasa tak akan salah juga ketika hal itu digunakan untuk memanusiakan manusia.

Hukum adalah produk tanpa nyawa, justru kitalah yang bisa memberikan jiwa padanya. Akhirnya, purna sudah cerita yang pilu ini.

Cerita tentang seorang anak kuat yang lebih disayangi oleh Sang Pencipta. Cerita tentang seorang wanita yang harus tetap berjuang melawan dunia. Cerita, yang mungkin masih ada di sekitar kita.

Saya akhiri kisah ini untuk dimaknai dengan harapan.

Harapan akan manusia yang saling peduli dengan sesamanya. Setiap dari kita, punya ruang untuk bisa menjadi pahlawan.

Kamu, mereka, dan kita selalu punya ruang untuk berbuat baik.

Sampai bertemu lagi,

Demikian cerita diatas disampaikan oleh Kompol Tiksnarto Andaru Rahutomo, selaku Kepala Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Sidoarjo, tentang proses penyelidikan hingga penyidikan.

Untuk diketahui, Satreskrim Polresta Sidoarjo berhasil mengungkap kasus meninggalnya balita berinisial F (3 tahun) di sebuah kamar kos yang ada di Desa Masangan Kulon, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo, pada Minggu (28/5/2023). Balita tersebut meninggal dengan luka lebam.

Terduga kuat pelakunya pembunuhan balita perempuan tersebut ternyata pengasuhnya sendiri, yakni pasangan suami istri (pasutri) Bambang Suprijono yang disebut Ogi (48 tahun) dan Sriyati Indayani yang disebut Dea (43 tahun).

Pasutri itu mengaku bahwa F diasuh sejak bulan Agustus 2022. Orang tua kandung F menitipkan kepada pelaku dengan bayaran Rp 5 juta per bulan. Seiring berjalannya waktu, pembayaran yang telah disepakati keduanya, sering molor dan tidak sesuai kesepakatan seperti perjanjian awal.

"Pokoknya sejak Maret 2023, pembayaran perbulan itu nggak sesuai dan sering molor,” ujar Sriyati menjawab pertanyaan Kapolresta Sidoarjo, Kombespol Kusumo Wahyu Bintoro saat rilis di Mapolresta Sidoarjo, Rabu (31/5/2023).

Dari situlah, kegeraman pasutri tersebut mulai muncul dan melampiaskan kekesalannya ke korban. Kedua pelaku merasa bahwa orang tua kandung bayi yang tidak jelas keberadaannya, sehingga menjadi satu kesempatan baginya untuk leluasa menganiaya korban.

Kombes Pol Kusumo Wahyu Bintoro mengatakan, korban yang masih berusia 3 tahun ini disiksa dengan cara dipukul menggunakan tangan kosong maupun benda tumpul lainnya.

“Kekesalan kedua pasutri itu sering dilampiaskan dengan menganiaya dan memukul kepala korban. Alasanya karena sering berak sembarangan, pipis sembarangan, dan minum sambil tidur,” ungkap Kusumo

Dari tangan tersangka, kepolisian menyita beberapa barang bukti yang diduga sering digunakan pelaku untuk menganiaya korban. Yaitu gayung, sapu lidi, selang air sepanjang 1 meter dan sikat mandi.

“Hasil otopsi terungkap ada beberapa luka luar maupun dalam seperti kepala, punggung, perut, tungkai. Korban meninggal diduga karena pendarahan yang ada di kepala,” paparnya.

Kedua pelaku dijerat denga Pasal 80 ayat (3) Jo. Pasal 76C UU No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan maksimal kurungan penjara 15 tahun penjara. (war)

Editor : Redaksi