Misteri Mayat Pria di Jalan Tol
Hari itu Jumat, pukul 2.30 pagi. Saya bersiap pulang ke rumah setelah menyelesaikan gelar perkara di kantor bersama anggota. Tak lazim memang, pulang saat dini hari. Tapi, beberapa perkara kadang menuntut analisa dan tindak lanjut yang segera.
Setelah selesai semua pekerjaan, saya lajukan kendaraan ke arah rumah untuk istirahat. Kalau dini hari seperti ini, saya hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai di rumah. Sesampainya di rumah, langsung saja saya berganti baju dan merebahkan badan untuk istirahat.
Baca Juga: Prahara Rumahtangga Berujung Maut di Desa Wage
Saya harus tidur cepat malam ini. Jam 7.00 nanti, saya harus memimpin lomba olah TKP di Polda dalam rangka Hari Bhayangkara. Sebenarnya, materi lomba ini bukanlah yang menjadi masalah utama. Tapi harus bangun pagi itu sendiri sudah menjadi momok bagi saya.
Pukul 3.15, mata saya tak juga terpejam. Saya kembali nyalakan HP, membuka spotify, dan mendengarkan Podcast Malam Kliwon.
Buat saya, mendengarkan podcast saat akan tidur adalah obat yang sangat manjur untuk membuat saya lekas terlelap.
Pukul 6.00, telepon saya berbunyi karena panggilan masuk dari anggota.
“Duh, apa lagi sih. Bukannya persiapan lomba sudah disiapkan semua kemarin?” Saya bergumam dalam hati melihat panggilan telepon yang mengganggu waktu tidur saya.
Saya matikan dering telepon itu tanpa menjawabnya. Kelopak mata yang berat ini telah memenangkan pertarungan atas panggilan itu. Saya pun kembali tidur.
Serasa ingin mengajak berkelahi, terdengar kembali bunyi telepon dari anggota yg sama. Kali ini, mau tak mau harus saya angkat.
"Pagi, ndan.”
“Hmm..” Saya menjawab seadanya, khas orang bangun tidur.
“Izin laporan, Ndan. Untuk TKP..”
“Yasudah, siapin kaya kemaren aja to.. Kan udah latihan kita.”
Saya memotong perkataan anggota seraya ingin segera mengakhiri pembicaraan dan kembali tidur.
"Ehm.. Bukan lomba Olah TKP, Ndan. Tapi ada TKP.”
Perkataan anggota itu membuat pikiran saya langsung terjaga.
“Bentar.. gimana?”
“Nggih, Ndan. Barusan piket lantas laporan, katanya ada mayat laki-laki ditemukan di tol. Luka di kepalanya seperti terkena sabetan senjata tajam.”
Penjelasan anggota itu pun langsung menyadarkan saya. Rasa kantuk yang tadi meraja, langsung saja berganti dengan perasaan siaga dan waspada.
“Serius ini, Pak? Bukan laka lantas? Coba kirim dl fotonya!”
Saya meminta anggota untuk terlebih dahulu mengirimkan foto korban.
Dua buah gambar masuk ke HP saya.
Foto pertama memperlihatkan seseorang yang tergeletak terlentang di tepi jalan tol dengan posisi kepala di dekat pembatas jalan. Foto kedua, terlihat perbesaran gambar luka robek lurus sepanjang 13 cm pada dahi bagian atas. Luka lurus, rapi, dengan tepi rata.
Sekilas, luka ini nampak seperti luka yang diakibatkan oleh benda tajam yang diarahkan ke kepala korban. Tiba-tiba terlintas di kepala saya, bayangan kasus-kasus perampokan yang berakhir dengan korban yang dibuang di tol.
"Aduh, masa 365 sih? Masa 4 pembunuhan dalam sebulan?!”
Gumam saya seraya tidak ingin percaya dengan kejadian yang datang bertubi-tubi ini.
“Yaudah, Pak. Shareloc! Anggota identifikasi segera merapat TKP, ya!”
Saya langsung saja memberikan instruksi untuk menyingkat waktu.
“Tapi, Ndan. Anggota identifikasi udah persiapan berangkat ke Polda untuk lomba. Petunjuk, Ndan?”
Anggota menyampaikan dilemanya karena ada 2 kegiatan yang berbeda pagi ini. Lomba olah TKP ini memang khusus diadakan untuk personel identifikasi dan mereka sudah mempersiapkannya.
“Sudahlah, itu hanya lomba yang kalau menang dapat piagam. Itu ga sebanding sama kewajiban yang jadi tanggungjawab kita!”
Saya dengan tegas menjawab dilema anggota saat itu. Antara lomba yang sudah dipersiapkan atau tanggung jawab yang harus dijalankan.
Menilai ulang prioritas tindakan memang kerap kami alami dalam menjalankan profesi sebagai polisi. Dan saya kurang suka ketika anggota tidak paham mana tindakan yang harus jadi prioritas untuk dilakukan.
Saya sendiri memang tidak pernah menempatkan pengakuan juara sebagai tolak ukur utama atas kinerja. Buat saya, legitimasi tertinggi pengakuan kinerja adalah dukungan atau sekadar ucapan terimakasih dari orang-orang yang telah terbantu dari pelaksanaan tugas saya.
"Siap, Ndan. Segera meluncur. Biar tim cadangan saja yang ikut lomba.”
Anggota menjawab perkataan saya dengan pernyataan kesiapan untuk pergi ke TKP. Jawaban itu sekaligus menegaskan bahwa mereka paham apa yang menjadi prioritas saya saat ini.
Tak lama kemudian, muncul pesan di layar HP saya.
“Tol Surabaya arah Mojokerto KM 735”.
Pesan itu muncul bersama dengan koordinat lokasi kejadian. Langsung saja, saya teruskan beberapa pesan itu ke nomor driver serta memintanya untuk segera bersiap menuju TKP. Untuk beberapa saat, tak ada balasan dari pesan yg saya kirim. Langsung saja Saya berjalan ke kamar driver dan membangunkannya.
“Bangun, oi!”
Saya nyalakan lampu kamar sambil berteriak dengan keras. Terlihat Heri tersentak bangun dengan tatapan mata yang masih mencoba tersadar.
“Jalan ke Polda sekarang, Ndan?” Heri bertanya kepada saya sambil melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul 6 pagi.
“Bukan, ayo jalan ke TKP. Itu ku shareloc.”
“Lah? Masa pembunuhan lagi, Ndan?"
Saya pun meninggalkan Heri tanpa menjawab dan segera bergegas mandi.
Persiapan selesai pukul 6.45 WIB. Saya segera bergerak menuju TKP sesuai dengan patokan yang diberikan oleh anggota.
“KM 735 arah Mojokerto ya, Her. Masuk Tol aja, nanti tinggal muter di simpang Tol Waru arah Mojo. Cari aja yang rame-rame di pinggir jalan,” jelas saya ke Heri.
Kami lajukan kendaraan dengan kecepatan maksimal dengan harapan semakin cepat kami sampai di TKP dan segera mendapatkan petunjuk. Tapi sesampainya di KM 735, kami terheran-heran dengan yang kami lihat.
Kosong. Tidak ada petugas atau TKP yang terpoliceline!
Saya dalam hati bertanya kebingungan.
Apa jangan-jangan Olah TKP sudah selesai? Kenapa anggota tidak menginformasikan ke saya kalau olah TKP sudah selesai?
Saya langsung menelpon anggota yang menginformasikan kejadian penemuan mayat ini kepada saya.
"Saya sudah di KM 735 ini. Kok ga ada orang, Pak? Sudah selesai?” Saya bertanya dengan nada agak meninggi.
“Ini masih olah TKP kok, Ndan. Di KM 744.”
Jawaban anggota itu memperjelas kebingungan saya, sekaligus membuat saya naik pitam.
“Tadi katanya KM 735? Kenapa jadi 744?!!”
"Siap salah, Ndan! Tadi sepertinya salah ketik. Yang bener KM 744, Ndan.”
Anggota menjawab dengan bingung merespon kesalahan yang dilakukan. Saya pun benar-benar merasa kesal saat karena perjalanan yang saya tempuh harus lebih lama dari yang seharusnya.
"Gimana sih! Kalo kaya gini kan saya harus muter jauh, Pak!”
Respon kekesalan itu menjadi akhir percakapan saya dengan anggota. Saya matikan HP dan segera meminta Heri untuk bergegas menuju TKP yang sebenarnya.
“744, Her. Cari keluaran tol terdekat terus puter balik!”
15 menit kami lajukan kendaraan di tol dan akhirnya kami sampai di KM 744 dengan pemandangan TKP yang terpoliceline, mobil patroli, dan kerumunan anggota. Langsung saja saya turun dari mobil dan menuju ke anggota yang sudah terlebih dahulu sampai.
"Report!”
Tanpa salam, saya langsung meminta laporan temuan dari anggota saat itu.
“Pagi, Ndan. Baket sementara, korban ini ditemukan oleh petugas tol itu sekitar jam 4.05 WIB karena ada laporan kecelakan.”
Anggota menjelaskan sembari menunjuk ke salah satu petugas Jasa Marga.
"Di sekitar korban kami temukan tas yang tadinya terletak di tengah jalan. Posisi korban masih sesuai kondisi awal, Ndan. Sisanya, komandan bisa lihat di TKP.”
Anggota menjelaskan sambil menunjuk ke arah TKP yang dikelilingi oleh police line dengan korban tertutup oleh terpal. Di samping TKP, terletak sebuah tas ransel warna coklat milik korban yang masih tertutup dengan noda basah bekas darah. Tak jauh dari itu, tergeletak juga sepasang sandal warna hijau.
Olah TKP di jalan Tol Sumo (foto : prabu_Abimanyu)
“Buka isi tasnya.”
Saya memerintahkan anggota untuk lebih mendetailkan temuan TKP. Dalam tas yang menggembung itu, tidak banyak yang saya dapatkan. Hanya beberapa baju, sarung, kabel charger, jam dinding, dompet berisi uang Rp 34 ribu, dan sebuah HP GSM tipe lama yang telah hancur.
Saya bertanya dalam hati, “Masih ada ya, orang yang pakai HP model ini?”
Anggota pun memeriksa temuan HP tadi. Harapan kami, ada suatu petunjuk yang mungkin dapat menjelaskan siapa korban atau kenapa korban bisa sampai di sini.
“Ga bisa nyala, Ndan. Rusak ini. Kayanya kelindes mobil.”
Anggota menjelaskan pandangannya atas kondisi HP itu. Karena tidak bisa menyala, anggota pun membuka HP, mengeluarkan baterai, dan melihat isi dalam HP. Terlihat di dalam HP terdapat 2 buah slot sim, tapi tidak ada satupun simcard di dalamnya.
Apa maksudnya ini? Apa pelaku sengaja mengambil dan membuang simcard korban?
Kepala ini masih terisi asumsi-asumsi liar terandai dari temuan yang ada sementara ini. Daripada terlalu jauh, lebih baik saya lanjutkan memeriksa kondisi korban.
“Coba buka terpalnya. Saya mau lihat.”
Saya perintahkan anggota untuk membuka penutup jenazah dan memulai olah TKP. Terlihat di TKP, jenazah seorang pria kisaran umur 45 tahun, menggunakan kemeja batik, berbadan kurus, berambut gelombang, dan berkulit coklat khas terpapar matahari. Dari personanya, nampak korban adalah seorang pekerja yang sering beraktivitas di luar ruangan.
Korban tergeletak di pinggir jalan tol dengan luka lurus terbuka sepanjang 13 cm di kepala bagian dahi sebelah atas. Luka itu sampai mengenai sedikit bagian tulang tengkorak hingga mengekspose organ otak milik korban.
“Parang daging!”
Selain luka itu, terlihat juga luka terbuka dengan tepi tak beraturan di dagu serta beberapa luka lecet di tangan dan kaki. Di dada korban, terlihat juga bekas memar tertutup yang berwarna kemerahan dengan corak seolah-olah korban terlindas oleh ban mobil.
Di sekitar korban, terlihat jelas darah yang membasahi badan, baju, serta badan jalan dengan jumlah yang cukup banyak. Tak jauh dari itu, nampak juga bekas ban mobil tercetak di jalan tol yang seolah-olah timbul akibat melindas genangan darah di TKP.
Setelah melihat semua itu, saya menjauh dari TKP dan mengambil waktu rehat sejenak. Saya nyalakan sebatang rokok sambil memandang ke kejauhan. Mengambil jarak, melebarkan pandangan, sembari memperhatikan detail-detail kecil yang mungkin saja terlewatkan.
Saya amati sekeliling TKP. Jalan tol ini memiliki letak kurang lebih 8 meter lebih tinggi dari tanah di sisi kanan-kirinya. Dgn sudut elevasi naik sekitar 60 derajat, saya rasa tidak mungkin korban datang dari sisi jalan tol. Apalagi, tidak ada bekas jalan setapak untuk dilalui.
Dengan kontur tanah sisi jalan tol seperti ini, saya rasa mustahil korban sampai di TKP dgn berjalan kaki. Andai saja tepi jalan ini landai, bisa jadi ada kemungkinan korban berlari dikejar orang lain, lalu dianiaya dan meninggal di tepi jalan tol.
Imajinasi saya pun terbang ke kemungkinan penganiayaan di dalam kendaraan yang dilakukan oleh orang yang berada di samping korban saat itu.
Korban berkendara bersama pelaku, dianiaya, dilukai kepalanya menggunakan parang, lalu dibuang di jalan tol. Tapi kalaupun benar begitu kejadiannya, lantas apa hubungan antara korban dan pelaku?
Jika saja parang pemotong daging adalah benar alat yang digunakan untuk membuat luka di kepala itu, apa kejadian ini ada kaitannya dengan perselisihan jual beli hewan kurban?
Ah, saat ini semua masih pd taraf kemungkinan. Setidaknya, ada 2 hal yg masih mengganjal di kepala saya saat ini. Jika saja korban dibunuh terlebih dahulu baru dibuang, tentunya di dada korban tdk akan ada bekas memar kemerahan khas akibat dari benturan saat korban masih hidup.
Kedua tentang luka robek tepi rata sepanjang 13 cm di dahi korban. Luka terbuka yg menembus sampai ke otak ini pasti dihasilkan oleh benturan yang cukup keras. Jika perbuatan itu dilakukan di dalam mobil, saya rasa jarak ancang-ancang untuk mengayunkan parang tidak akan cukup.
"Sudah dapat ini identitasnya, Ndan.”
Teriakan anggota seketika membuyarkan lamunan saya. Anggota menyampaikan kalau korban bernama Rois, pria 48 tahun beralamat di Sampang, Madura.
Sampang?
Madura?
Lalu bagaimana ceritanya dia bisa sampai di sini?
"Ada agen siapa di Sampang?”
Saya menanyakan kepada anggota apakah ada member Paguyuban yang beroperasi di Sampang, sebuah kabupaten yang berjarak 3 jam dari TKP.
“Sebentar saya cek, Ndan.”
Salah satu anggota menjawab pertanyaan saya dengan penuh keyakinan.
“Nah ada ini, Ndan. Tukang sate Kijang1 lagi ada di sana. Saya suruh cek segera ke alamat korban.”
Informasi dari anggota itu melegakan saya. Setidaknya, saya bisa menghemat waktu dengan tidak pergi ke Sampang untuk mendapatkan informasi tentang korban.
"Agen minta waktu 1 jam, Ndan. Tempatnya jauh dan susah sinyal katanya.”
Anggota menyampaikan laporan hasil komunikasinya dengan agent paguyuban. Walaupun harus menunggu, saya rasa hal itu masih layak untuk dilakukan demi menunggu potongan misteri yang belum jelas ini.
"Sambil nunggu, ayo kita sarapan dulu. Cari tempat yang ga jauh dari sini.”
Saya ajak anggota untuk mengisi perut sejenak. Para anggota saya ini memang terkenal tak takut preman, tapi takut lapar. Makanya daripada mereka menggerutu, lebih baik saya isi dulu perut kosong mereka. Saya arahkan perjalanan ke Soto Kedai Taman, sebuah warung soto Kudus di daerah Gayungan yang punya memori tersendiri untuk saya.
Di tengah menjamurnya soto Lamongan dan soto Madura di Jawa Timur, citarasa soto kudus cukup membantu mengobati kerinduan saya akan rumah. Kami tempati 2 meja di bawah pohon rindang di halaman. Sembari makan, kami mulai membahas pengandaian-pengandaian peristiwa yang mungkin terjadi pada korban.
“Ndan, mungkin ga korban dibunuh di tempat lain lalu sengaja dibuang di tol?”
Baca Juga: Satu Orang Jadi Tersangka di Kasus Kekerasan Antar Kelompok Pemuda
Salah satu anggota melempar pertanyaan.
“Ga mungkin, le. Kalau saja dibunuh di tempat lain, darahnya ga akan sebanyak itulah.. Proses pemompaan darah kan sudah berhenti. Biologimu dapat berapa sih?”
Saya menjawab sekaligus menyentil pertanyaan anggota yang masih muda itu.
“Hehehe. Kulo jurusan IPS, Ndan."
Tawa anggota pecah seketika di meja itu. Semua anggota mengejek pertanyaan anggota muda itu sembari tertawa. Anggotapun melanjutkan bercengkrama sampai Amad menyetop pembicaraan kami.
“Nah ini agent kita ngabarin ini, Bang. Saya angkat dulu.”
"Gimana, Conk? Ada kabar apa?” Amad bertanya pada agent Sate Kijang 1 via telepon.
“Jadi betul dia warga sini, Ndan. Cuma 2 tahun ini sudah tinggal di Sidoarjo. Saudaranya ga ada yang tau.”
Jawaban pedagang sate melalui telepon berpengeras itu terdengar jelas oleh kami. Semua anggota masih terdiam berfikir, mengolah informasi yang kami dengarkan bersama itu.
Telepon yang kami nanti dan harapkan bisa menjadi pembuka pembuka penyelidikan kejadian ini, ternyata justru menyajikan misteri lainnya. Dimana Rois sebenarnya tinggal?
"Tapi ada informasi, Ndan. Kata Saudaranya, Rois ini dulu bekerja di tempat rosok.”
Informasi tambahan dari Tukang Sate itu memberi kami sedikit harapan. Setidaknya, saya punya gambaran jalan mana yang harus saya susuri. Walaupun, percabangan langkah ini masih sangat banyak. Setelah tak ada lagi informasi yang bisa kami dapatkan, agent pun mengakhiri pembicaraan dengan kami. Dia lalu kembali ke gerobaknya dan menjual sisa dagangan yang baru habis setengah.
Senada dengannya, kami pun berkumpul untuk membahas temuan dan menentukan langkah selanjutnya.
"Yak, masukan?”
Saya buka rapat itu dengan meminta masukan dari anggota. Saya selalu membiasakan hal ini sejak dulu agar informasi atau ide sekecil apapun tetap dapat tersampaikan. 10 pemikiran yang diramu dengan apik tentunya akan lebih baik daripada hanya mengandalkan 1 ego.
"Sepertinya Rois ini beneran kerja di rosok deh, Ndan. Tadi saya sempet heran kenapa telapak kakinya kasar banget. Kalau memang seperti itu, kita fokuskan ke pengepul aja lidiknya, Ndan.”
Salah seorang anggota menyampaikan analisanya yang cukup masuk akal.
"Saya sepakat juga, Ndan. Kalau dilihat dari barang bawaannya yang beragam, kemungkinan itu juga barang hasil rosokan yang dibawa. Apalagi HP nya itu, Ndan. Itu kayanya HP rusak yang dibawa. Kita boten usah terlalu fokus kesana, Ndan.”
Anggota lain menambahkan masukannya.
Saya sebenarnya juga sepakat dengan pendapat anggota. Hanya saja, profile korban itu justru membuat motif pembunuhan menjadi kabur. Lalu siapa yang mungkin punya dendam atau sakit hati dengan pemulung?
Apa korban ini pernah mencuri? Atau ada masalah antara teman kerja?
“Gini, nih.. Kalau saja memang dia benar pemulung, lalu motif pelakunya apa?”
Saya lemparkan pertanyaan itu ke anggota.
“Izin, Ndan. Korban orang Madura lho, Ndan..”
Jawaban anggota yang sepotong itu seketika menyadarkan saya. Bisa jadi ini bukan perkara uang, tapi harga diri. Pada beberapa kejadian carok yang saya tangani, sebagian besarnya terjadi bukan bermotifkan materi.
Ada yang marah karena istrinya digoda, keluarganya direndahkan, atau alasan lain yang dirasa menyinggung hal-hal yang bersifat prinsip.
"Okelah kalau begitu, kita bagi tugas saja. Bagi jadi 5 tim kecil. 1 tim mencari CCTV, yang lain cari tempat tinggal atau tempat kerja korban.”
Saya pun segera membagi tugas untuk menyelesaikan misteri ini.
"Kita carinya gimana, Ndan?”
Salah seorang anggota menanyakan pertanyaan retoris mengingat baket yang harus dicari sangatlah luas.
“Yang pertama jalan dulu dari sini. Nanti kalau memang buntu.. Ingat kata-kata abang Gojek.”
“Apaan tuh..?” Anggotapun kompak menyaut.
"Pasti ada jalan!”
“Wis, ndang bubar!”
Kalimat itu menjadi penanda kami memulai babak baru penyelidikan misteri ini.
Kali ini, kami sama-sama mengerti kalau jalan yang akan dilalui belum nampak jelas. Tapi tanpa optimisme, kami juga yakin kalau kami hanya akan jalan di tempat. Masing-masing tim mulai berkreasi dengan idenya. Ada yang mendatangi setiap tempat rosok, ada juga yg menelpon agent Kijang1 yang tersebar.
Kali ini, saya berikan mereka cukup ruang untuk berkreasi. Saya lajukan kendaraan kembali ke kantor sembari mengerjakan pekerjaan lainnya.
Pukul 16.00 sore, ketika saya sedang memeriksa berkas perkara lainnya, terdapat kiriman pesan singkat dan foto dari Amad.
“Bang, ketemu ini lokasi kerjanya Rois. Dia kerja 3 minggu ini di pengepul rongsokan di Bungurasih. Saya intro dulu ya.. Nanti saya kabarin."
Lokasi kerja Rois (Foto : Prabu_abimanyu)
Arah penyelidikan mulai menemukan jalannya. Saya cukup senang dengan temuan anggota ini. Tapi, ini masih awal. Masih banyak hal-hal yang harus saya cari dan pastikan kebenarannya.
“Gali detail ya.. Udah ga perlu dijelasin lagi kan?” Balas Saya kepada Amad.
Saya berikan keleluasaan waktu kepada anggota untuk melaksanakan tugasnya. Sembari itu, saya manfaatkan waktu untuk memimpin gelar perkara penipuan pembelian perumahan. Sebagai Kasat Reskrim, perkara-perkara laporan masyarakat lainnya juga tidak bisa saya abaikan.
Saya seduh sasetan English Breakfast Tea dari TWG yang saya beli bulan lalu di Jakarta. Dalam waktu yang bersamaan menganalisa beberapa perkara yang sangat berbeda jauh karakteristiknya, otak ini juga perlu asupan yang cukup bisa menjaga kewarasan saya.
Waktu terus berjalan sampai akhirnya senja pun berganti. Datanglah panggilan masuk dari Amad yang membawa harapan untuk saya.
“Sudah, Bang. Tapi kok saya ragu ini pembunuhan ya, Bang?”
“Maksudnya gimana?” Tanya saya atas pernyataan pembuka Amad yang menggantung itu.
Dalam percakapan selanjutnya, Amad menjelaskan bahwa dia telah mewawancarai pemilik tempat dan 3 orang rekan kerja Rois.
Si pemilik menjelaskan kalau Rois memang bekerja di tempatnya selama kurang lebih 3 minggu ini. Sebelumnya, Rois juga bekerja di pengepul rongsokan lainnya. Yang menarik adalah penjelasan dari 3 orang rekan kerjanya. Selama 3 minggu ini, Rois tinggal di tempat kerja itu bersama mereka.
Selama bergaul, Rois tergambarkan sebagai orang yang pendiam dan cenderung tertutup sehingga mereka tidak tau bagaimana kehidupan pribadinya.
Rekan kerjanya menjelaskan kalau Rois berperilaku seperti mengalami tekanan psikologis. Rois sering berteriak-teriak sendiri dan merasa ketakutan. Rois juga pernah diketahui bersembunyi di bawah kolong tempat tidur, berhalusinasi seolah-olah akan terbunuh.
“Pernah itu waktu tidur, saya terbangun karena Rois tiba-tiba sudah ada di bawah kolong sambil ketakutan, Pak” Amad berkata menirukan keterangan dari salah satu rekan kerja Rois.
“Hmm.. Waktu hari kejadian gimana Mad?” Tanya saya menambahkan.
“Jadi hari Kamis malam jam 22.00 itu, Rois pamitan ke salah satu temennya, Bang. Dia memakai kemeja lengan panjang dan tas yang sama dengan yang dia pakai waktu kita temukan di TKP. Dia pamit ke temennya ini kalau mau pulang kampung,” jelas Amad.
Baca Juga: Sok Jago Bawa Golok di Jalan, Pria Asal Berbek Ditangkap Sat Samapta Polresta Sidoarjo
"Jadi gimana, Bang?”
Amad melontarkan pertanyaan yang menuntut jawaban analitis dari saya.
Di satu sisi, cerita yang disajikan Amad cukup meyakinkan. Tapi di sisi lain, masih ada hal-hal yang rasanya masih mengganjal. Bagaimana caranya Rois bisa sampai ke jalan tol? Untuk apa?
Tepi jalan tol yang curam tadi itu sangat tidak memungkinkan dan rasional untuk dilewati orang. Hmm..
Saya terdiam sejenak mencerna. Apa keterangan keempat saksi ini bisa saya percaya?
"Le, gerak lagi cari CCTV. Jangan hanya patokan keterangan saksi, seyakin apapun kamu terhadap itu. Pokoknya jangan sampai ada sedikitpun ruang keraguan!”
Saya memerintahkan Amad untuk bergerak mencari bukti lainnya. Saya belum cukup merasa puas dengan temuan ini. Amad dan timnya mulai kembali menyisir jalan yang mungkin dilewati Rois.
Sampai di persimpangan jalan desa beberapa ratus meter dari pangkalan rongsokan, terlihat CCTV yang menyorot ke persimpangan itu. Amad pun langsung menuju ke balai desa tempat pemantauan CCTV itu.
Sembari menunggu, Saya menghubungi tim yang memantau pelaksanaan otopsi.
“Bagaimana otopsinya, Jon?”
Tanya saya kepada tim yang berada di RS Porong.
“Masih berlangsung, Ndan. Nanti hasilnya saya kabarin kalau selesai."
Jawab Joni, anggota yang bertugas memantau di rumah sakit.
Otopsi masih berlangsung. Artinya, saya belum bisa mengambil kesimpulan yang holistik atas semua ini. Saksi, CCTV, dan hasil otopsi.
Bagi saya, analisa dan kesimpulan harus berdasarkan kombinasi temuan yang bersifat faktual itu, bukan opini.
Berada di kantor menunggu laporan membuat hati saya tidak tenang. Saya lajukan kendaraan menuju lokasi Amad, di kantor balai desa daerah Bungurasih. Saya ikuti titik acuan lokasi yang dikirimkan Amad sebelumnya. 30 menit perjalanan, saya sampai di lokasi Amad berada.
“Lah.. ini kan deket sama TKP, Mad?”
Kalimat keheranan itu menjadi pembuka percakapan saya dengan Amad.
“Lah memang iya, Bang. Orang tempat kerjanya juga ga jauh dari sini, Bang.”
Balas Amad menjelaskan lebih lanjut.
“Terus gimana hasil CCTV nya?”
“Sinilah, abang liat sendiri. Biar abang yang simpulkan.”
Amad mengajak saya mengikutinya ke ruangan pemantauan CCTV. Di dalam ruangan itu, terlihat beberapa anggota sedang menghadap layar pemantauan. Nampak di layar monitor, pada pukul 22.23 WIB Rois berjalan di jalan kampung dari arah tempat kerjanya menuju ke arah jalan tol.
Pada saat itu, Rois terlihat berjalan sendiri tanpa ada yang mengikuti. Malam hari berjalan sendiri ke arah tol tanpa ada yang mengikuti. Pakaian dan tas yang digunakan, sama dengan yang ditemukan di TKP tak jauh dari sini.
Tangkapan layar rekaman CCTV yang menunjukkan Rois berjalan sendirian.
Apa jangan-jangan memang benar yg dikatakan para saksi? Tapi yg masih mengganjal, bagaimana cara Rois sampai di jalan tol itu?
"Terus ini, Bang.. Coba lihat dulu video ini. Ini saya baru dapat pas abang perjalanan ke sini tadi.”
Amad menyela saya yang sedang memperhatikan layar monitor. Dia membuka galeri handphone dan menunjukkan sebuah video rekaman CCTV yang berlatar jalan tol.
Tangkapan layar CCTV saat Rois berjalan sendirian di tol
Nampak dalam video itu, Rois terlihat berjalan menyusuri sisi tepi dalam jalan tol pada pukul 23.49 WIB. Rois berjalan dari arah akses masuk jalan tol menuju arah TKP ditemukannya korban.
Memang video itu tidak mencakup lokasi TKP. Tapi, TKP itu hanya berjarak 200m setelahnya.
Terjawab sudah. Ternyata Rois memang tidak melewati sisi curam samping jalan tol. Rois menyusuri jalan tol dari akses masuk sampai ke TKP ditemukannya dirinya.
Memang awalnya, kecil kemungkinan itu terjadi. Tapi keterangan saksi sebelumnya dapat menjelaskan alasan semua itu. Berarti sekarang, saya tinggal menunggu hasil otopsi dari dokter.
Saya harus dapat penjelasan juga atas luka lurus terbuka sepanjang 13 cm di kepala bagian dahi sebelah atas korban. Luka yang awalnya saya sangka sebagai akibat dari sabetan benda tajam.
Sembari menunggu hasil otopsi, saya pun berandai membahas kemungkinan asal usul luka lurus itu. Luka lurus pada tubuh memang identik dengan luka akibat senjata tajam. Berbeda dengan jenis luka akibat benda tumpul atau kecelakaan yang berkarakter tidak beraturan. Makanya, awalnya kami ragu untuk menentukan itu sebagai kecelakaan.
Tapi kalau ditelaah lagi, luka itu terjadi pada dahi, sebuah bagian tubuh dimana lapisan dermis langsung berbatasan dgn tengkorak kepala. Benturan keras benda tumpul padanya, bisa saja mengakibatkan luka lurus.
Ting. Ting. Ting.
Lamunan saya tiba-tiba disela oleh pesan masuk dari anggota yang berjaga di rumah sakit. Terlihat beberapa foto kegiatan otopsi dan surat yang menyatakan hasil otopsi. Nah.. Hasil ini yang saya tunggu-tunggu. Langsung saja saya membaca hasil otopsi itu.
Pada korban ditemukan belasan luka baik lecet, memar, atau robek. Korban mengalami patah tulang iga pd beberapa ruas, robekan pd jantung, dan pendarahan pada otak.
Di akhir, dokter menyimpulkan kalau Sebab Kematian adalah kekerasan tumpul pada kepala sehingga korban mati lemas. Ah..Terjawab sudah.
Asumsi di awal yang selama ini mengganjal dapat terjawab oleh serangkaian temuan fakta. Keberadaan korban di jalan tol dapat terjawab oleh keterangan saksi & video CCTV. Korban tidak dirampok atau dibuang, tapi berjalan sendiri ke TKP tanpa ada yang mengikuti.
Luka pada dahi korban yang awalnya disangka sebagai akibat benda tajam, ternyata diperoleh akibat benturan benda tumpul. Hal itu bisa saja terjadi akibat benturan oleh kendaraan yang lewat dalam kecepatan tinggi.
Akhirnya, tiba waktunya saya menutup hasil penyelidikan ini. Korban yang ditemukan meninggal di Tol Sumo pagi tadi bukanlah korban pembunuhan, melainkan korban kecelakaan.
Setelah ini, penanganannya akan saya limpahkan ke unit laka lantas Satlantas.
Hari yang panjang dan melelahkan. Tapi, pengalaman ini tentu memberikan suatu pelajaran bagi saya dan tim.
Opini akan selalu menjadi asumsi tanpa adanya bukti. Dan menilai sesuatu hanya berdasarkan asumsi tentu akan membawa pada suatu kesimpulan yang tidak valid.
Saya sajikan cerita di hari Minggu ini sebagai pelengkap masa rehat. Satu hari santai di antara hari lain yang penuh semangat.
Atur langkah,
Atur nafas,
Atur tenaga.
Sampai bertemu lagi,
Kijang-1 Ganti.
*) Penulis : Kompol Tiksnarto Andaru Rahutomo (Kasatreskrim Polresta Sidoarjo)
Editor : Bambang Harianto