Saling Kedip Dokumen Impor Gula

Reporter : -
Saling Kedip Dokumen Impor Gula
Ronny Risfyandi
advertorial

Manipulasi data dokumen BC 2.3 adalah modus klasik menyelundupkan komoditas yang dilarang. Dua orang sudah ditetap tersangka. Satu di antaranya Kepala Kantor Wilayah Bea Cukai Riau.

Seperti biasanya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengusahakan lagi impor gula demi menyambut kelangkaan jelang Ramadan dan Lebaran tahun 2020 tiba.

Baca Juga: Operasi Gempur 2024 di Wilayah Riau. 17 Juta Batang Rokok Ilegal Diamankan

Impor yang diizinkan saat itu adalah gula kristal mentah atau kasar (raw sugar) agar diolah di dalam negeri sebelum dipasarkan lagi dalam bentuk siap konsumsi alias gula kristal putih.

"Sebagai salah 1 langkah strategis untuk mengisi kekosongan stok dan menyeimbangkan harga gula di dalam negeri," alasan Wisnu Wardhana, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag, mengenai kebijakan impor dalam keterangan tertulis, pada Mei 2020 lalu.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 96/2019 tentang Perubahan Atas PMK nomor 27 tahun 2017 itu, Kemendag juga membantu importir agar mudah mencari produsen di negara asal dengan memangkas tarif bea masuk, dari Rp 550/kg atau minimal 10% menjadi hanya 5%, untuk produk gula kasar yang diambil dari India.

Sejumlah perusahaan kemudian berjajar menunggu antrian surat izin sebagai importir Perum Bulog, perusahaan induk logistik pangan berpelat merah yang mendapat mandat mengomando proyek pengadaan tersebut.

Tapi syaratnya, antara lain mampu memproduksi sekaligus menyetorkan sebanyak 20 ribu ton/bulan gula siap konsumsi kepada Perum Bulog. Empat perusahaan lalu ditunjuk sebagai rekanan, yang di antaranya adalah PT Sumber Mutiara Indah Perdana (SMIP).

Atas kerja sama ini, PT Sumber Mutiara Indah Perdana pun menerima fasilitas potongan bea impor melalui Kawasan Berikat dari Ditjen Bea Cukai Kemenkeu. Kawasan Berikat adalah tempat penimbunan barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah kembali.

Namun muncul masalah kemudian. Kendati jumlah impor terhitung melimpah, faktanya tak sedikit rumah tangga yang menjerit karena harga gula tak kunjung turun di pasaran. Produksi gula kristal putih alias siap konsumsi dari para importir tersendat.

Dalam catatan Kemendag, PT Sumber Mutiara Indah Perdana merupakan satu-satunya perusahaan yang gagal memenuhi komitmen perjanjian kerja. PT Sumber Mutiara Indah Perdana hanya menyetor 3,8 ribu ton sepanjang Mei 2020. Padahal, di periode yang sama, perusahaan yang memiliki pabrik pengolahan gula di Dumai, Provinsi Riau, itu telah mengimpor sebanyak 21,8 ribu ton.

"Persetujuan pengalihan PT SMIP belum dapat dipenuhi komitmennya secara keseluruhan kepada Bulog untuk menyalurkan 20 ribu ton," Wisnu berujar, yang buru2-buru menyambung kalimatnya, "Karena yang telah disalurkan baru sebesar 3,8 ribu ton."

Sekalipun sejak awal terdapat masalah, anehnya perjanjian kerja impor dengan PT Sumber Mutiara Indah Perdana terus berjalan hingga tahun 2023 lalu. Berpotensi merugikan negara, Kejagung memimpin komando penyidikan perkara ini jelang akhir tahun 2023 kemarin.

Baca Juga: Kejagung Sita Vila Rp 20 Mimiar Milik Hendry Lie

Beberapa penyidik langsung bergerak menuju kantor Kemendag untuk menelusuri jejak bukti. Di momen yang sama, beberapa pihak Bea Cukai yang disinyalir tahu dan terlibat diseret paksa menuju ruang pemeriksaan.

Merujuk berkas pemeriksaan, penyidik mendapat petunjuk adanya tindak pidana. Tidak lancarnya setoran hasil produksi PT masalah, anehnya perjanjian kerja impor dengan PT Sumber Mutiara Indah Perdana ke Bulog lantaran perusahaan ini disinyalir menjualnya langsung ke pasaran.

Ironisnya, barang dari India, Malaysia, dan Singapura yang diimpor PT masalah, anehnya perjanjian kerja impor dengan PT Sumber Mutiara Indah Perdana juga kebanyakan bukan berupa gula kasar, gula untuk produksi. Tapi langsung gula siap konsumsi. Pada tahun 2023 saja, misalnya, penyelundupan gula PT masalah, anehnya perjanjian kerja impor dengan PT Sumber Mutiara Indah Perdana itu kurang lebih mencapai 8,6 juta kg.

Impor ilegal ini, dalam pemeriksaan Kejaksaan, bisa lolos dengan modus klasik, mengakali sejumlah dokumen BC 2.3 alias dokumen administratif pra impor. Caranya memanipulasi data dokumen impor tersebut dengan melibatkan internal Bea Cukai.

Kejagung menetapkan Ronny Risfyandi, sebagai tersangka. Penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup dalam terlibatnya Kepala Kantor Wilayah Bea Cukai Riau itu, yang berperan dalam memberikan perizinan hal yang terkait Kawasan Berikat.

Dia terdeteksi mencabut keputusan pembekuan atas izin Kawasan Berikat milik PT Sumber Mutiara Indah Perdana, yang tujuannya supaya perusahaan tersebut bisa mendistribusi keluar-masuk gula, dengan membuatkan dokumen aspal (asli tapi palsu).

Baca Juga: Niat Pansos Malah Keceplosan Bongkar Aib Mertua

Izin itu akhirnya memudahkan PT Sumber Mutiara Indah Perdana mendistribusikan gula ilegalnya sebanyak 26 ribu ton, terhitung selama 2020-2023, ke beberapa daerah di Provinsi Sumatera dan Kalimantan. Yang lebih menyakitkannya, kegiatan ini dengan memanfaatkan fasilitas potongan bea.

Sebelum Ronny, Kejagung lebih dulu menetapkan pria berkacamata berisial RD sebagai tersangka. Dia merupakan Direktur PT Sumber Mutiara Indah Perdana.

RD, Direktur PT Sumber Mutiara Indah PerdanaRD, Direktur PT Sumber Mutiara Indah Perdana

Di samping izin keluar barang, menurut seorang penyidik yang mengetahui detail kasus ini sejak awal, RD memberi sejumlah uang kepada Ronny, untuk dibuatkan beberapa dokumen BC 2.3 palsu agar gula siap konsumsi ilegalnya, yang dia kemas dengan karung gula produksi, bisa masuk ke Kawasan Berikat.

Dia melakukan penggantian karung kemasan seolah-olah telah melakukan importasi gula kristal mentah untuk dijual ke pasar dalam negeri.

Audit internal Bea Cukai menyebutkan bahwa dari rekayasa dokumen itu, negara mengalami kerugian sekitar Rp 350 miliar lebih hanya pada tahun 2023 saja. Setelah 2 tersangka, Kejaksaan masih terus memeriksa beberapa saksi. Penyidik mendapat isyarat masih ada sejumlah orang yang berperan. (*)

Editor : Ahmadi