Kontroversi Suami yang Dihukum 5 Tahun Penjara Setelah Mencabut Ventilator Istrinya

Reporter : -
Kontroversi Suami yang Dihukum 5 Tahun Penjara Setelah Mencabut Ventilator Istrinya

“Sayang, beristirahatlah dengan tenang. Akan kutanggung semua dosa ini." Demikian kata suami.

7 April 2021, di ruang ICU (Intensive Care Unit) di salah satu rumah sakit. Seorang laki-laki berusia 60 tahun, mencabut ventilator untuk membantu istrinya yang mengalami koma agar bernapas. Laki-laki itu merasa tidak mampu membayar biaya rumah sakit. Lalu Pengadilan memutuskan tindakan tersebut sebagai pembunuhan dan menjatuhi hukuman 5 tahun penjara.

Baca Juga: Kronologi Pembunuhan Mahasiswa di Kos Mande

Peristiwa ini bermula pada tahun 2019. Seorang suami yang bekerja di convalescent hospital di Gimcheon-si, Gyeongbuk, menerima kabar bahwa sang istri (56 tahun) yang juga bekerja di rumah sakit yang sama, pingsan di sebuah ruangan kosong sekitar pukul 13.00.

Sang istri segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Meski telah menerima penanganan, dokter masih belum mengetahui penyebab pingsannya sang istri. Sang istri yang kesulitan bernapas pun dipindahkan ke rumah sakit di Daegu yang memiliki ventilator.

Kepada sang suami, pihak rumah sakit berkata, “Kecil kemungkinan istri Anda bisa selamat.”

Pihak rumah sakit pun meminta sang suami untuk bersiap dengan kemungkinan terburuk. Dua hari kemudian, sang suami memindahkan istrinya ke rumah sakit di Cheonan, tempat putra mereka tinggal. Sang suami meminta staff medis untuk melepas ventilator yang membantu sang istri untuk bernapas. Pihak rumah sakit pun menolak.

Mereka menjelaskan bahwa mereka tetap harus mengikuti Undang Undang mengenai penanganan pasien untuk memperpanjang kelangsungan hidup, sehingga tidak bisa mencabut ventilator begitu saja.

Empat hari kemudian, sang suami mengirim pesan pada anaknya, “Mari kita biarkan Ibu beristirahat dengan tenang. Biar Ayah yang menanggung semua dosa ini.”

Setelahnya, sang suami masuk ke kamar tempat sang istri dirawat.

Ia pun berkata, “Sayang, istirahatlah dengan tenang. Biar aku yang menanggung semua dosa ini.”

Usai berkata demikian, ia mencabut ventilator sang istri. Sang istri pun meninggal dunia. Pihak rumah sakit melaporkan tindakan sang suami tersebut.

Saat diinvestigasi oleh Polisi, sang suami mengungkapkan, “Setelah istri saya masuk ICU, hidupnya bergantung pada ventilator. Saya tahu, kemungkinannya untuk selamat sangat kecil. Saya juga tidak sanggup lagi membayar biaya rumah sakit.”

Kasus tersebut dibawa ke "meja hijau", karena sang suami secara sadar mencabut ventilator yang menjadi penyebab kematian sang istri.

Baca Juga: Resmob Polres Minahasa Selatan Tangkap Pelaku Pembunuhan di Desa Lindangan

Pada persidangan pertama, di depan hakim, sang suami berkata, "Saya dan istri saya berjanji untuk menelan semua kepahitan. Kami bersumpah tidak menerima perawatan untuk memperpanjang hidup jika memang sudah tiba waktunya kami untuk pergi. Istri saya berkali-kali berkata demikian.”

Sang suami juga berkata, jika istrinya harus dirawat selama seminggu, ia mesti membayar KRW 2,5 juta untuk perawatan sang istri (sekitar Rp 29,5 juta). Itu artinya, ia mesti membayar KRW 200-300 ribu per hari (sekitar Rp 2,3-3,5 juta). Ia berkata bahwa ia tidak mampu secara finansial membayar hal tersebut.

Meski begitu, Jaksa Penuntut mengungkapkan bahwa perawatan yang dimaksud dalam Undang Undang hanya memakan waktu satu minggu. Ada cara legal untuk menghentikan perawatan tersebut (untuk mengakhiri hidup sang istri karena alasan apapun).

Mencabut ventilator sang istri dengan gegabah pada hari keempat dengan alasan kecil kemungkinan istrinya untuk selamat, padahal tenaga medis belum sempat melakukan pemeriksaan lebih lanjut tidak dapat dibenarkan.

Kesembilan Hakim yang hadir pada saat itu memutuskan bahwa sang suami bersalah. Sang suami pun mendapat hukuman 5 tahun penjara.

Sejak Februari 2018, Pemerintah Korea telah mengeluarkan aturan mengenai perawatan untuk memperpanjang kelangsungan hidup. Pasien dapat menolak untuk menerima perawatan atau menghentikan perawatan.

Baca Juga: Tindaklanjut Kasus Kematian Remaja di Kecamatan Driyorejo, Kapolri Utus Itwasum Polri

Perawatan yang dimaksud meliputi:

- resusitasi kardiopulmoner
- hemodialisis
- pemberian obat anti-kanker
- penggunaan ventilator
- alat bantu hidup di luar tubuh
- transfusi darah
- pemberian obat penurun tekanan darah pada pasien yang sakit parah dengan kesempatan hidup kecil.

Pasien bisa menolak secara langsung, atau untuk berjaga-jaga, menuliskan keinginannya dalam bentuk dokumen. Siapapun yang berusia 19 tahun ke atas dapat melakukan hal tersebut.

Jika kondisi pasien tidak memungkinkan untuk bicara, atau tidak ada dokumen yang menyatakan keinginan pasien, maka konfirmasi dari 2 dokter dan 2 anggota keluarga dibutuhkan.

Berdasarkan data, per Agustus 2024, ada 2.5 juta orang di Korea yang telah menuliskan dokumen yang menyatakan mereka menolak perawatan untuk memperpanjang kelangsungan hidup. (*)

*) Source : Bintang (X : @tang_kira)

Editor : Syaiful Anwar